Bagian 2

1363 Kata
"Apa kabar sayang?" Itu Candra Athanasius. Pria yang berada di hadapannya dan baru saja mencium keningnya tanpa izin. Candra menyapanya dengan santai seolah tak terjadi apa-apa antara keduanya. "Apa yang kamu lakuin disini?" "Mewawancaraimu." Sahut Candra duduk di atas meja sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Pria itu tersenyum lebar seolah menemukan apa yang telah ia cari selama ini. Sedangkan Johana mati-matian menahan diri agar tidak menjatuhkan air matanya. Rasa bahagia, sedih, kecewa, terharu bercampur menjadi satu. Namun apalah daya, hatinya terlalu rapuh. Air mata gadis itu mengalir deras tanpa diminta. Ia sangat merindukan Candra. Yang menyebabkan rindu begitu berat adalah ketika kau merindukan yang bukan milikmu. Satu pertanyaan yang sekarang terlintas di otak Johana ialah bagaimana mungkin Candra masih mengenalinya sementara tiga tahun yang lalu pria itu mengalami amnesia dan tidak mengenali Johana sama sekali. "Ka—kamu masih mengenaliku?" Johana menanyakan hal tersebut dengan gugup. Takut nantinya jawaban Candra benar-benar membuat Johana kecewa. "Tentu, sayang." "Pasti kamu mau nanyain kenapa aku masih inget kamu, kan? Sini duduklah terlebih dahulu. Aku akan menceritakan semuanya." Sambung Candra langsung duduk di kursi yang ia tempati tadi. Sedangkan Johana menggelengkan kepala cepat. "Aku dengerin dari sini." Johana memilih berdiri di dekat pintu yang masih tertutup. Sementara Candra menghela napas panjang, membiarkan gadis itu tetap di sana. "Aku pura-pura amnesia." "APA?!" Seru Johana melotot tak percaya. Satu kalimat yang dilontarkan oleh Candra berhasil membuat hati Johana terpukul seketika. "Aku sengaja ngelakuin hal itu biar papaku gak macem-macem sama kamu dan keluargamu. Aku ngelakuin semuanya biar kamu bisa hidup tenang tanpa harus memikirkan perselisihan keluargaku." Johana mati-matian menahan emosinya agar tidak meluap begitu saja. "Aku selalu memantau kamu dari jauh, Jo." "CUKUP!" Teriak Johana langsung menutup kedua telinganya saat Candra memanggilnya dengan sebutan Jojo, itu panggilan kesayangan antara mereka berdua. Jojo dan Caca. Hanya mereka berdua yang menggunakan panggilan tersebut. "Dengerin penjelasanku dulu, Jo. Aku ngelakuin itu biar kam— "Jangan panggil aku pake nama itu!" Bentak Johana keras. "Aku muak denganmu." Imbuhnya. "Kamu pikir dengan cara pura-pura amnesia, bisa bikin hidupku tenang? Enggak! Tiga tahun belakangan ini aku pun pura-pura bahagia. Aku berusaha keras ngelupain kamu yang dengan seenaknya bisa lupain aku. Kamu pikir aku bahagia, hah? Aku mati-matian membunuh rasa rinduku. Tapi dengan santainya, kamu tiba-tiba muncul di depanku tanpa rasa bersalah, seolah gak terjadi apa-apa." Johana terisak. Air mata gadis itu mengalir terus menerus setelah membendungnya sekian lama. Tapi tak lama kemudian, ia langsung mengusap wajahnya secara kasar. Air mata ini tidak ada artinya. Ia dibohongi semudah itu oleh pria yang selama ini ia rindukan. Sementara Candra sontak berdiri saat melihat reaksi dari Johana yang terlihat sangat frustasi dan tertekan. Ia segera menghampiri Johana dan ingin memeluk erat tubuh gadis mungil tersebut. "Stop!" "Berhenti disana. Jangan mendekat!" Cegah Johana dengan lantang. Tangan kanan gadis itu mengisyaratkan Candra untuk tidak melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi bukan Candra jika tidak melanggar perintah tersebut. Perlahan Candra berjalan mendekati Johana yang kini menutup wajah dengan kedua tangannya. Tangisan gadis itu semakin kencang dan terasa sangat menyakitkan apabila didengar. Untung saja ruangan ini kedap suara, jadi para karyawan yang sedang melintas di depan ruangan tersebut tidak dapat mendengar obrolan mereka berdua. Tanpa basa basi, Candra kini sudah berdiri di depan Johana dan langsung memeluk erat gadis itu. "Maaf. Maafin aku. Aku gak bermaksud nyakitin kamu. Aku pengen kamu gak hidup menderita karena ulah papaku. Aku pengen— Kalimat Candra terpotong lagi bersamaan dengan satu dorongan keras yang Johana buat. "Aku tidak perlu maafmu." "Aku tidak jadi melamar kerja disini. Terima kasih." Sambung Johana sambil memegang gagang pintu. Akan tetapi Candra menarik tangan Johana dan menghentikannya. "Dengarkan aku, sayang. Aku mohon." "Aku bukan pacarmu! Aku hanyalah orang asing di kehidupanmu." Bentak Johana seolah sudah membekukan hatinya. "Kamu masih pacarku. Aku gak pernah mutusin kamu, pun sebaliknya." Jawaban Candra berhasil menohok Johana. Memang benar jika tak ada satu pun dari mereka yang mengucapkan kata putus. Akan tetapi, Johana sudah mengucapkan selamat tinggal kepada Candra sekaligus berpamitan untuk pergi dari kehidupan pria itu. "Aku udah bilang selamat tinggal, dan artinya kita udah putus." "Benarkah? Terus— kamu bisa jelasin ini? Atau ini?" Ucap Candra sudah menyiapkan layar ponselnya yang menunjukkan foto dimana ada sebuah buku bertuliskan curhatan Johana saat masih kuliah. Kedua bola mata Johana terbelalak tak percaya. Bagaimana bisa Candra menemukan secarik kertas itu? Johana pun ingat betul saat dimana ia sangat merindukan Candra dan memilih untuk pergi ke perpustakaan sambil mencoret-coret sebuah kertas tentang apa yang ia rasakan. "It— itu udah lama. Gak perlu bahas masa lalu yang gak berarti." "Benarkah?" Candra mengangkat salah satu alisnya sambil tersenyum misterius. "Gimana kalo yang ini?" Tanya Candra kini menunjukkan sebuah video dimana Johana menangis di warung sate pada malam Sabtu lalu. Flashback "Bang, sate satu. Es teh satu. Bumbunya yang pedes ya." Ucap Johana tersenyum simpul lalu bergegas memilih tempat duduk. "Siap neng." Sahut penjual sate tersebut tanpa menoleh. Sorot mata Johana menelusuri seluruh tempat ini, tampaknya tidak ada yang berbeda. Masih sama seperti 3 tahun yang lalu, saat dimana seorang pria duduk bersebelahan bersamanya seperti dahulu kala. Johana menghela napas berat. Mengingat cuplikan kenangan yang masih membekas. Dan itu tampak masih seperti nyata. Pria tersebut seringkali menuai candaan yang menurut orang lain mungkin terasa aneh. Akan tetapi bagi Johana, setiap kata yang dilontarkan oleh pria itu sangatlah bermakna, layaknya diksi senja yang dikumandangkan penyair-penyair gila kata. Johana tersenyum kecil saat mengingatnya hingga tak sadar pesanannya sudah ada di hadapannya. "Selamat menikmati." "Makasih banyak, bang." Ujar Johana tersenyum ramah. Mereka berdua saling bertatapan. Detik berikutnya, penjual sate itu sedikit terkejut saat melihat Johana. Tanpa berucap apapun, ia langsung duduk di depan Johana. Hal itu membuat Johana mengernyitkan dahi bingung. "Ada apa ya bang?" Tanya Johana. "Kayaknya saya pernah liat neng deh." "Tapi dimana ya?" Imbuh penjual sate tersebut sambil mengingat. Johana hanya diam menunggu reaksi penjual sate selanjutnya. "Oh iya! Saya baru inget. Eneng yang biasanya makan sate sama mas ganteng itu kan? Yang biasanya borong sate saya buat neng." Mata Johana sontak membulat sempurna. Bagaimana mungkin abang penjual sate ini masih ingat dengan dirinya dan juga Candra? Padahal Johana baru kali ini makan disini setelah 3 tahun berlalu. "Mas-mas yang mana ya bang?" "Masa gak inget? Padahal kalian paling rame sendiri kalo lagi makan disini." Sahut abang penjual sate tersebut. "Bukan saya itu. Ngaco ah si abang ini." Johana menggaruk tengkuknya pelan lalu tertawa terpaksa. "Ih beneran, saya ingat betul loh." "Bukan bang." Tukas Johana berpura-pura dan menyangkal supaya abang penjual sate itu tidak berlanjut mengintimidasinya. Raut wajah abang tersebut semakin serius sambil menatap lekat Johana. "Beneran eneng kok. Saya yakin. Kok tumben sendiri? Lama banget gak pernah mampir kesini. Apa kalian pindah rumah?" Johana menggelengkan kepala pelan. Gadis itu bingung harus menjawab apa. Ia berharap seseorang membantu dirinya dari interogasi abang sate yang terlampau penasaran. Johana juga sedang enggan untuk menjawab dimana, siapa, kapan, bagaimana, atau apapun tentang Candra. Pasalnya, ia tidak tahu menahu informasi tentang pria itu, atau lebih tepatnya Johana berusaha untuk tidak peduli. "Bang satenya bungkus 4." Teriak seorang pelanggan yang duduk di meja paling pojok kanan. "Siap bang!" Johana menghela napas lega. Penjual sate itu pergi untuk melayani pelanggan lain. Akhirnya Johana bisa menikmati makanannya tanpa merasa dicurigai. Namun, saat ia memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya. Ingatan Johana kembali ke masa lalu itu, dimana pertama kalinya ia dan Candra makan disini. Rasa bumbunya masih sama. Dagingnya empuk dan gurih. Terlebih lagi lontong yang terasa lembut di lidah menjadi ciri khas di warung ini. Tiba-tiba air mata Johana perlahan mengalir. Ia merindukan Candra dan juga tempat yang sering mereka datangi. Sesekali ia melihat keluar, para manusia masih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Namun Johana masih terjerat dengan kenangan indah yang sudah kadaluwarsa. Tak heran beberapa pelanggan langsung menyorotkan matanya pada Johana. Pasalnya, gadis itu menyantap satenya sambil terisak-isak kecil. Flashback End Johana sontak membelalakkan kedua matanya seraya mengambil alih ponsel Candra. Bagaimana bisa pria itu memiliki video tersebut? Apakah ada seseorang yang merekam dirinya saat itu lalu diunggah lah video itu ke sosial media? Candra menghela napas pelan, "kamu pikir aku dapet dari video-video yang viral di tik-tok gitu?" Johana bungkam, tak menjawab. Satu hal yang terlintas dalam otak Johana. Candra menyuruh orang untuk memantaunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN