Johana masih terdiam, padahal ia berusaha tetap kuat melewati ini semua dengan ikhlas meski tertatih. Satu dua hal berlalu, tiga empat dan selanjutnya takdir akan menyinggung apapun yang masih menjadi rahasia. Lelah yang tak berkesudahan. Rindu yang tak kunjung sembuh. Hingga kematian yang memicu mengosongkan kalbu. Sepersepuluh dari manusia mungkin lebih suka menyembunyikan luka hatinya. Johana termasuk dalam hitungan dan memilih untuk bungkam.
"Aku selalu tau apapun yang kamu lakukan dalam tiga tahun belakangan ini." Imbuh Candra tersenyum licik.
Akan tetapi, Johana diam bergeming. Tak bersuara dan menatap kosong ke depan. Hanya tersisa rasa kesal yang semakin menggerogoti hati gadis itu. Apakah semua orang kaya selalu tengil seperti Candra? Mereka melakukan apapun sesuka hati dan meremehkan orang lain. Apakah semua pria sama saja? Mempermainkan hati perempuan seolah itulah barang yang paling mudah untuk disingkirkan.
"Aku tau kamu masih sayang aku."
"Tidak!" Akhirnya Johana berseru.
"Aku benci kamu mulai sekarang dan seterusnya." Sambung Johana, rahang gadis itu mengeras sembari mengepalkan kedua tangannya. Sedangkan Candra dengan santainya hanya menarik sudut bibir kanannya licik. "Kamu ditakdirkan untuk aku, Jojo. Kemanapun kamu berlari, aku akan selalu mencapaimu. Pernah dengar kalimat Tak perlu berlari, cukup berjalan. Bukankah semakin kencang orang berlari, semakin tidak hati-hati?"
Alih-alih mendengarkan ocehan Candra, Johana menatap Candra tajam. Mata Johana seolah akan keluar dari tempatnya. Mengutuk Candra akan menjadi satu hal yang akan ia lakukan terlebih dahulu setelah ia sudah mencapai apa yang ia inginkan.
Candra mengernyitkan dahinya. "Ada apa? Apakah aku semakin tampan?"
"Cuih." Johana meludah kasar.
Candra sedikit terkejut atas tindakan Johana yang terbilang sangat tidak sopan. Namun, ia tidak akan mempermasalahkan hal tersebut. Johana hanya perlu melampiaskan rasa kesalnya pada Candra. Candra pun menyadari jika selama ini bukan hanya dirinya yang menderita. Gadis itu jauh lebih menderita daripada dirinya.
Johana menatap Candra datar. "Aku gak akan sudi kerja disini. Apalagi dengan kamu sebagai atasannya."
"Permisi." Pamit Johana membuka pintu dan lagi-lagi dicegah oleh Candra.
Candra memeluk Johana dari belakang. Kedua tangannya terkunci melingkar pada pinggang ramping gadis itu. Melihat hal itu, Johana langsung meronta-ronta sambil berusaha melepaskan tangan Candra yang melekat seperti lem pada pinggangnya tersebut. "Lepasin!"
"Enggak."
"Kalo kamu gak mau lepasin, aku bakal teriak." Ancam Johana.
Alih-alih dilanda kepanikan dan melepaskan Johana. Candra justru tersenyum licik lalu meletakkan dagunya pada baju kanan Johana, membuat deru napas pria itu terdengar jelas di telinganya. "Ruangan ini kedap suara, silahkan kalau mau berteriak."
"Sialan!" Umpat Johana kesal.
"Kamu udah pandai mengumpat sekarang ya."
"Bukan urusanmu. Lepasin aku." Pekik Johana menggertak dan tetap berusaha melepaskan diri.
Tenaganya yang tidak sebanding dengan tenaga pria justru membuatnya semakin merasa lelah. Akhirnya ia putus asa dan menyerah. "Baiklah, apa maumu sekarang?"
"Bekerjalah di sini supaya aku selalu bisa mengawasimu."
"Untuk apa aku diawasi? Kamu bukan orang tuaku. Aku pun juga bukan anak kecil yang bertindak sembrono dan sesuka hati." Sahut Johana tetap membiarkan Candra memeluknya dan berucap tepat di sebelah telinganya.
"Aku akan mengawasimu jikalau ada orang yang ingin melukaimu."
"Aku bisa menjaga diriku sendiri. Tidak perlu repot-repot." Johana bersikukuh menolak Candra. "Jadi tolong lepasin aku dan mari kita bicarakan ini secara baik-baik."
Candra menghela napas panjang. Dengan berat hati, ia melepaskan pelukannya. Alih-alih mendapat sambutan baik dari gadis yang dicintainya, Candra justru mendapat satu tamparan kencang tepat di pipi sebelah kanannya.
"Kamu pikir aku Johana 3 tahun yang lalu? Kamu salah besar. Aku adalah Johana yang akan selalu membencimu. Selamat tinggal."
Candra menggigit bibirnya, merintih kesakitan sembari memegang pipi kanannya.
Suara pintu terbanting cukup keras, menandakan bahwa gadis itu benar-benar sangat marah kepadanya. Namun di detik berikutnya, Candra tersenyum licik. "Kemana pun kamu pergi, aku pasti akan mendapatkanmu, Johana Gamalria."
***
Johana menghentakkan kakinya kesal. Takdir buruk telah terjadi. Ia bertemu dengan Candra yang membawa alasan tak masuk akal dan juga ia harus mencari lowongan pekerjaan lagi. Padahal ia berharap akan lolos interview lalu bekerja seperti yang ia bayangkan.
"Arghhhhhhh," Teriak Johana saat di trotoar jalan.
Banyak pasang mata yang melihatnya aneh. Mereka mungkin menganggap Johana seperti orang gila, tapi memang kenyataannya gadis itu tampak berantakan dan tak terurus.
Johana mengacak-acak rambutnya kasar. "Sialannnn!"
"Candra sialan!"
"Candra b******n!"
"Dunia ini sialan! Semua manusia kejam. Dunia ini tidak adil. Aku benci kehidupan ini." Umpat Johana mengutuk apa yang membuatnya terluka. Namun menit berikutnya, ia menghela napas berat. Terbesit satu pikiran yang membuatnya sedikit lebih tenang. Ia ingat pesan ayah jika kamu merasa tidak bahagia, berarti kamu masih lupa caranya untuk bersyukur. Apakah hari ini ia sudah bersyukur?
Langkah Johana semakin gontai. Sorot matanya menelusuri setiap insan yang berkeliaran.
Seharusnya ia bersyukur bisa menikmati udara segar, bisa makan seadanya, bisa merasakan cahaya matahari, dan bisa berjalan menggunakan kaki ketika pandangannya melihat seorang yang tengah duduk di kursi roda dan dibantu yang lainnya untuk menggerakkan kursi.
Langkah Johana semakin mantap entah tujuan mana yang akan ia tempuh.
Sesekali senyumnya merekah saat melihat seorang ayah yang membelikan sebuah balon untuk anaknya. Mereka tampak begitu bahagia, lalu seorang wanita menghampiri keduanya yang Johana yakin itu adalah ibu anak tersebut. Mereka bercengkrama ria. Manusia memiliki banyak cerita begitu pun duka, namun separuh dari mereka lebih suka memendam apa yang dirasa.
"Woi!" Teriak seseorang sembari menyalakan bel motor dari belakang.
Johana sontak menoleh ke sumber arah itu.
"Apa?" Sahut Johana sambil memutar kedua bola matanya malas.
"Kok lesu gitu? Katanya mau wawancara kerja."
"Udah."
"Gimana hasilnya?" Tanya orang itu bersemangat. Johana tak berniat untuk menjawab. Ia mengacuhkan orang tersebut dengan melanjutkan langkah kakinya pasrah.
"Hana!"
"Oyyy!"
"Apa sih, Fa?" Pekik Johana mengerutkan dahi emosi.
Dafa langsung bungkam. "Maaf, tapi kamu kayaknya lagi gak baik-baik aja."
"Emang."
"Ada masalah?"
Johana menghela napas panjang. "Daripada kamu ngoceh mulu, mending tawarin aku buat naik motormu terus ajak aku jalan-jalan. Aku capek banget hari ini." Ucap Johana tanpa mengode seperti biasanya.
Dengan sigap, Dafa menghentikan mesin motornya dan mempersilahkan Johana untuk naik.
"Silahkan tuan putri pemalas."
"Aku bukan pemalas, kau tau?" Tukas Johana memukul kepala Dafa sebelum akhirnya memakai helm yang diberikan pria itu tadi.
Selama di perjalanan, Johana hanya menghela napas berat seperti membawa beban yang banyak. Dafa pun tak mau mengganggu Johana untuk saat ini setelah ia melihat tampang gadis itu seperti gembel.
"Aku ketemu Candra." Ucap Johana tiba-tiba.
Dafa sontak mengerem motornya secara mendadak saat mendengar pernyataan Johana. Meskipun hembusan angin lebih kencang daripada suara Johana, akan tetapi Dafa mampu mendengarnya.
Johana memukul helm Dafa cukup keras. "Fa, apa-apaan sih kamu?"
Beberapa kendaraan di belakang Dafa juga ikut mengerem mendadak. Tak lupa mereka mengumpat kesal. Untung saja tidak terjadi kecelakaan beruntun.
"Bisa nyetir gak sih?" Teriak pria berbadan kekar yang kini menyalip motor yang dikendarai mereka berdua.
Dafa menganggukkan kepala menyesal, "sorry bang."
"Lain kali hati-hati, bang!" Teriak pria tadi.
Akhirnya Dafa menepikan motornya di pinggir jalan. "Serius? Kamu ketemu dia? Dimana?"
"Aku ceritain ntar aja, sekarang beliin aku cilok dulu. Yuk!" Tukas Johana menepuk bahu Dafa.
Dafa menghela napas panjang dan menyetujui ajakan Johana.