Tamara tidak bekerja hingga jam pulang kantor dan segera meninggalkan kantornya setelah mendapat pemberitahuan pemecatan. Masih terngiang-nginang di kepalanya perkataan kepala bagiannya
“Mulai besok kamu gak bekerja disini, kamu dipecat!”
“Kenapa Pak?”
“Apa kamu yakin tidak membuat masalah disini?”
“Hmm…”
“Kamu tadi membuat masalah di depan CEO. Astaga Tamara, bisa-bisanya kamu seceroboh itu. Sekarang bersihkan barang-barangmu dan pergi dari sini secepatnya”
“Baik pak.”
“Besok, kamu akan ke Jakarta ke kantor pusat. Kamu harus menemui CEO kita.”
“Untuk apa pak?” tanya Tamara tidak mengerti.
“Mungkin saja kamu akan dipenjara atau dimintai ganti rugi mengotori jasnya. Entahlah, saya gak tahu itu. Itu masalah kamu lah, bukan urusan saya.”
“Dan ingat, ijazah SMA dan kuliah kamu masih saya tahan. Saya harus memastikan kamu datang besok ke kantor pusat.”
“Baik pak!”
Sepanjang jalan pulang Tamara memikirkan berbagai cara untuk menghindari dirinya untuk ke Jakarta besok. Toh kalau ijzahnya tertahan masih ada ijazah SMP, cukup untuk mencari bekerja sebagai OB, pikirnya. Enak saja dirinya harus mengumpankan dirinya ke lubang buaya. Dipenjara dan dimintai ganti rugi sama menyeramkannya. Lebih baik dia kabur saja.
Tapi andaikan dia kabur, kemana dia akan kabur, bukan tidak mungkin dia akan dilacak keberadaannya dan menjadi buronan. Memakai hoodie selamanya, bepindah-pindah tempat tinggal, memakai masker dan kaca mata hitam untuk menghindar terus-menerus. Banyak pikiran aneh dalam kepala Tamara sekarang. Dia harus memutuskan paling lambat sore ini. Naik bus dari Bandung menuju Jakarta membutuhkan lima jam perjalanan belum lagi mencari tempat tinggal.
“Kok pulang jam segini Teh?” tegur ibu Tamara melihat kedatangan putri pertamanya. Ibu Tamara guru matematika di sekolah dasar negeri, sedangkan Ayahnya bekerja di kelurahan. Keduanya adalah ASN, jadi kehidupan keluarga Tamara masih dalam golongan mampu, tapi masih hidup dalam kesederhanaan. Dia hanya punya adik laki-laki yang bersekolah di SMU.
“Ada urusan mendadak bu,” jawab Tamara lesu.
“Abah, Ambu, Tamara bisa ngomong gak?” tanya Tamara saat kedua orangtuanya duduk di sofa menonton televisi.
“Kenapa atuh, ngomong ajah.”
“Tamara harus ke Jakarta hari ini. Besok Tamara harus ke kantor pusat jam 9 pagi,” Tamara bukanlah gadis yang bebas dan juga terkurung tapi orangtuanya tidak akan memperbolehkan putrinya bepergian jauh tanpa alasan oleh karena itu dia harus mendapatkan ijin dari kedua orangtuanya.
“Ya udah atuh neng kalau urusan kantor, gak masalah yah kan Bah?” Tamara menyesali kenapa orangtuanya mengjinkan, setidaknya kalau orangtuanya menolak dia punya jawaban ketidakhadirannya.
“Iya Teh, gak masalah. Tapi kamu nginap dimana?” tanya Abah Tamara.
“Ada Abah, temen. Riris, temen kuliah Ara di Bandung, dia kan tinggalnya di Jakarta.”
Padahal sahabatnya-Riris belum dikabarinya. Andaikan dia tidak mendapat tempat tinggal, mungkin dia akan tidur di terminal dan menunggu hingga pagi. Uangnya cukup untuk menyewa penginapan tapi siapa yang jamin ini tidak akan berhari-hari, dia perlu berhemat.
“Yah baguslah. Terus berapa lama kamu disana?” tanya Abah Tamara lagi.
“Belum tahu Bah, mudah-mudahan sih lancar, sehari aja,” Tamara meyakinkan dirinya bahwa ini akan selesai dalam sehari, semoga saja dia tidak ditahan di sel dan bagaimana dia akan menjelaskan ke kedua orangtuanya.
“Ya udah, kalo gitu kamu berkemas sekarang. Biar Abah anterin kamu ke terminal.”
“Iya abah.”
Tamar menuju kamarnya, dan mencoba menelpon Riris sahabatnya.
“Halo”
“Halo Ris”
“Ini Ara”
“Araaaa!!!! Apa kabar lo!?”
“Kenceng amat sih teriaknya.”
“Eh gue mau ke Jakarta sore ini, bisa nginep di tempat lo gak?”
“Boleh, boleh banget. Aku kasih alamat rumah gue yah. Apa perlu gue jemput lo. Lo naik apa ke Jakartanya.”
“Naik bus.”
“Gue jemput di terminal yah.”
“Gak usah, gue bisa naik ojol.”
“Gila lo, itu malem kamu tibanya. Mau dibegal lo.”
“Ya udah deh, maaf merepotkan.”
“Gak sayang, selama gue di Bandung gue yang banyak berutang budi sama lo.”
“Ya udah. Sampai ketemu sebentar malem yah.”
“Okey!”
Tamara menutup panggilan teleponnya dan kembali memasukkan beberapa lembar baju kantorannya ke sebuah tas yang cukup besar untuk ditentengnya, peralatan mandi dan make upnya.
“Ambu, Ara pamit yah,” Tamara memeluk tubuh ibunya dengan erat seperti akan berpisah selamanya.
“Kamu baik-baik yah dek, jangan bandel,” pesan Tamara ke adiknya
“Iya Teh, santai aja. Bawa duit yang banyak,” pesan Tommy adek Tamara.
“Husttt, kamu tuh duit aja di otak” tegur Ibu Tamara dan memukul bahu anak laki-lakinya.
“Tau tuh kamu!” Tamara menoyor kepala adeknya. Abah dan Ambunya hanya menggeleng lucu melihat kelakuan kedua anaknya.
Tamara naik ke boncengan Abahnya, motor dinas Abahnya yang sudah sangat tua tapi masih dipakai dan dirawat Abahnya.
“Abah, Ara pamit yah,” pamit Tamara dan mencium tangan Abahnya.
“Iya nak, kamu baik-baik disana,” pesan Abah Tamara mengelus rambut putrinya lembut.
“Iya Abah, doain Ara yah,” sekali lagi hati Tamara sesak dan memikirkan kejadian apa yang kelak menimpanya. Semoga dia masih bisa pulang dan kembali ke keluarganya dengan selamat.
Bus akhirnya berangkat, Abah Tamara masih menunggu putrinya hingga bus yang ditumpanginya menjauh tetap melambaikan tangannya hingga mungkin tidak terlihat oleh putrinya. Sebagai Ayah dia bahkan ingin mengantar putrinya ke Jakarta dan memastikan dia tiba dengan selamat. Tapi dia telah lama menjadi pegawai teladan yang tidak pernah absen untuk ke kantor kecuali sakit parah hingga dia tidak bisa bangun, saat flu saja dia masih memaksakan dirinya ke kantor.
Sepanjang jalan Bandung menuju Jakarta, Tamara hanya melihat-lihat handphone-nya membuka semua media sosialnya. Tidak ada yang menarik, bosan dia memasang headsheet dan mendengarkan musik. Dia akhirnya tertidur.
“Neng, sudah tiba,” Tamara dibangunkan oleh kenek Bus.
“Oh iya pak,” Tamara terbangun dan mengerjapkan matanya melihat sekelilingnya semua sudah sangat gelap. Tapi ini diyakininya sudah tiba di terminal. Dia mengambil tas selempangnya dan tas pakaiannya dan turun dari bus.
Dia membuka handphone-nya dan menghubungi seseorang.
“Halo Ris.”
“Iya Ra.”
“Gue udah sampai di terminal.”
“Iya gue juga udah di parkiran.”
“Oh gitu. Oke gue keluar sekarang.”
“Okay”
Tamara celingak-celinguk dan mencari keberadaan temannya Riris, hingga dia lihat di ujung sana seseorang melambaikan tangan ke arahnya.
“Araaaaa!!!” Riris langsung berhambur memeluk Tamara.
“Ririiiiiiis!!!” mereka berpelukan dan melompat-lompat kegirangan dan mengacuhkan tatapan heran orang sekitarnya.
“Udah ayuk, itu mobil gue,” Riris mengambil alih tas jinjingan Tamara dan berjalan menuju mobil di parkirannya.
“Eh gue telpon ibu dulu yah kabarin mereka kalo udah tiba,” ucap Tamara saat mereka sudah di dalam mobil dan meninggalkan Terminal.
“Halo” Tamara menyalakan speaker handphone-nya, memperbolehkan Riris mendengarkan pembicaraannya.
“Halo, iya Teteh.”
“Ambu belum tidur kan, Ara takut ganggu”
“Belum nak. Kamu udah tiba?”
“Iya Ara kabarin ibu, Ara udah tiba di Jakarta, udah ketemu juga sama temen Ara Riris.”
“Ambu!!!…Riris kangen," kali ini Riris yang berbicara tapi tetap fokus menyetir mobilnya.
“Nak Riris, Ambu juga kangen.”
“Jangan khawatir Ambu, ada aku yang jagain putri kesayangan Ambu.”
“Terima kasih banyak nak Riris. Kamu main dong ke Bandung.”
“Iya Ambu, Riris sibuk bekerja nanti ada waktu lowong Riris ke sana deh, rindu masakan Ambu.”
“Iya Ambu tunggu.”
“Okey Ambu istirahat aja, Ara tutup telponnya yah.”
“Iya nak, kasih tahu nak Riris, salam sama kedua orangtuanya. Ada oleh-oleh sedikit di tas pakaian kamu. Emping buat orangtua Riris."
“Iya Ambu.”
“Makasih Ambu, ngerepotin.”
Tamara menutup panggilan teleponnya dan kembali fokus menyusuri jalan bercerita tidak ada habisnya dengan sahabat lamanya. Sebelum pulang ke rumah Riris, mereka sempat singgah ke warung makan untuk mengisi perut dan beristirahat kembali ke rumah.