8.

1018 Kata
Leon menatap bingung balita kecil di depannya yang tiba-tiba kini menangis kencang. Pria harimau itu tidak merasa dirinya telah melakukan kesalahan terhadap balita itu. Bahkan menggigit pun dirinya tidak. Namun entah kenapa balita itu menangis lagi di depannya.   “Hmfff!” Leon mendengus jengah menatap makhluk kecil itu. Yang dilakukannya hanya menangis seharian di depannya, selain tertawa tanpa sebab. Pria harimau itu mengulurkan satu kaki depannya untuk mendorong tubuh kecil itu. Membuat balita itu menjadi tengkurap. Tangisnya belum berhenti.   Sekali lagi Leon mendorong tubuh kecil itu dan membaliknya menjadi telentang kembali. Leon merasa bosan mendengar suara tangisan bayi itu. Pria harimau itu mulai melakukan kebiasaannya sebelum menyantap makanannya. Mempermainkan buruannya terlebih dahulu. Karena itu, Leon membolak-balikkan tubuh balita itu, sehingga membuat balita itu tanpa sadar menghentikan tangisnya kembali karena merasa bingung dengan apa yang tengah dilakukan pria harimau itu padanya saat ini.   Kejadian itu tidak berlangsung lama, karena kemudian Leon dikejutkan oleh semburan air dari dalam sungai. Leon menoleh ke belakang dan dengan sigap memasang kuda-kuda bertarungnya. Percikan air sungai beberapa ada yang mengenai wajah balita itu, hingga membuat balita itu mengerjapkan kedua kelopak matanya beberapa kali, sebelum kemudian mendongakkan kepalanya demi untuk memerhatikan seekor ular besar yang tiba-tiba muncul dari dalam sungai, dan kini tengah berdiri menegakkan setengah tubuhnya menatap Leon yang juga tengah menatap ke arahnya.   Juluran lidah panjangnya disertai desisan khas ular yang cukup keras membuat perhatian balita tersebut menjadi fokus kepadanya. Moncong ular itu menurun dan mendekati Leon yang masih diam di tempat memerhatikan dirinya. Semakin turun dan mulai merayap menaikkan seluruh tubuh besarnya ke permukaan secara perlahan. Leon semakin bisa melihat betapa besarnya tubuh ular Anaconda itu. Sepertinya ular itu sudah berusia tua. Ukuran panjangnya kira-kira Leon prediksi mencapai sekitar 12 meter. Hampir sama seperti panjang ular jenis Titanoboa. Tunggu, atau jangan-jangan ular ini memang berjenis Titanoboa? Pikir Leon sibuk menebak-nebak dalam hati.   Ukuran tubuh ular itu tanpa sengaja mengingatkan Leon pada ukuran tubuh ular Servantess atau biasa dipanggil Evan, teman ularnya di markas. Karena pada dasarnya Evan sendiri merupakan seekor ular besar yang telah hidup ratusan tahun lamanya, dan telah melakukan pertapaan demi menjadi seorang manusia seperti sekarang.   Mungkin saja ular di depannya itu merupakan salah satu teman atau bahkan masihlah kerabat Evan. Leon menyeringai geli mendapati pikiran konyolnya mengenai ular itu. Yah, lagi pula mau dia ular biasa atau ular kenalan Evan, Leon merasa tidak perduli. Apa yang ada di hadapannya adalah urusan Leon sendiri.   Jika ular itu atau pun makhluk lainnya berani mengganggu Leon, maka tentu pria harimau itu akan merasa senang hati menghadapi mereka semua. Sementara itu, ular besar di depannya itu kini mulai bergerak kembali merayap ke sekitar, bermaksud mengitari tubuh Leon sekaligus balita di dekatnya.   Gerakannya begitu tenang dan halus. Terlihat pelan namun pasti, hingga tidak lama kemudian Leon sekaligus balita itu sudah berada dalam lingkaran tubuh besar ularnya. Nampaknya ular itu bermaksud membelit tubuh mereka berdua sekaligus. Leon mendengus remeh menyadari tak tik yang dilakukan ular tersebut. Begitu licin dan tidak terlihat. Memperdaya lawannya dengan tatapan matanya yang tajam nan liar, sementara tubuhnya sibuk bergerak mengurung buruannya dalam diam. Sehingga buruannya tidak menyadari bahwa saat ini pintu keluar telah ditutup oleh tubuh besar makhluk melata itu. Benar-benar mirip seperti kebiasaan teman ularnya, Evan, yang suka memperdaya korban-korbannya.   “Cih, ternyata kau tidak ada bedanya denganku. Begitu rakus akan daging buruan, dasar Ular!” gerutu Leon yang masih bersikap tenang memerhatikan pergerakan dari tubuh ular besar itu di sekitarnya. Bisa dirasakannya, luas lingkaran yang dibuat oleh ular tersebut semakin menyempit di sekitarnya. Leon menyadari bahwa ular itu kini tengah memerhatikan balita di sampingnya itu dengan lekat. Nampaknya ular tersebut juga tertarik dengan balita yang dibawanya itu. "Apa?! Kau menginginkan balita itu juga huh?! Jangan harap kau bisa mendapatkan daging seenak bocah itu dariku! Dia adalah milikku, ingat itu! Dasar ular tidak tahu diri!" ancam Leon dengan kesal. Begitu juga dengan balita di dekatnya yang kini tengah asik memerhatikan dengan lekat corak-corak gambar yang melukisi tubuh besar ular tersebut. Seperti biasa, tidak ada raut wajah ketakutan di wajah menggemaskannya itu. Yang ada hanyalah raut wajah penuh akan rasa ingin tahu dan penuh antusias yang nampaknya tiada habisnya dari balita kecil itu.   Melihat tubuh besar dengan corak aneh di sekitarnya yang semakin bergerak mempersempit jarak di antara mereka, membuat balita kecil itu merasa ingin menyentuh kulit ular itu. Dan hal itu tentu langsung dilakukannya. Balita itu mengulurkan tangan kecilnya mendekati tubuh ular itu yang masih bergerak perlahan mempersempit jarak ruang di antara mereka.   “SSHHH ...!” Desisan keras yang kembali keluar dari mulut ular itu berhasil mengagetkan balita itu. Tangannya yang hampir menyentuh daging berjalan ular itu kembali ditariknya. Kini fokusnya beralih pada kepala ular itu. “Ehe he ... eum ... ba ba!” Celoteh balita itu kemudian yang lalu melempar tawa lebarnya pada ular besar itu. Kedua tangannya saling bertautan dengan gelisah, dengan pandangan mata yang sesekali kembali menoleh ke arah tubuh besar ular tersebut. Menandakan bahwa balita itu benar-benar penasaran dan ingin sekali menyentuh tubuhnya.   Leon hanya melirik tidak perduli balita itu yang kembali berceloteh seenaknya. Sejujurnya celotehan balita itu cukup membuat perhatiannya teralihkan dari ular tersebut, dan itu sangat mengganggu pikiran Leon. "Bisakah kau diam saja, makhluk Kecil? Kau benar-benar mengganggu konsentrasiku, kau tahu ha?!" keluh Leon kemudian terhadap balita itu. Mendengar suara Leon membuat Balita itu menoleh ke arahnya dengan wajah polosnya. Lalu kemudian balita itu tersenyum riang dan tanpa diduga kemudian beralih merangkak ke depan, mendekati moncong ular tersebut dengan penuh antusias. Jiwa manusia Leon langsung melotot terkejut dan tidak percaya melihat tingkah laku balita itu yang justru dengan senyuman lebar mendekati moncong ular itu. "Apa dia pikir, ular itu adalah temannya? Dasar bocah gila!" gumam Leon yang masih tidak percaya melihat tingkah laku ajaib balita itu. Dan melihat balita tersebut tengah merangkak mendekat ke arahnya membuat ular tersebut langsung menegakkan tubuh atasnya dengan mantap. Terdengar desisan ularnya sekali lagi yang menunjukkan betapa tidak kalah antusiasnya ular itu saat ini. Seperti ular itu merasa tengah diberikan daging lezat secara cuma-cuma tepat di depannya. Detik kemudian ular itu langsung membuka mulutnya lebar-lebar dan langsung menurunkan moncong ularnya untuk menyantap tubuh balita itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN