Raline berada di luar klub malam sendiri. Dengan berbagai pandangan tertarik dari beberapa pria yang melewatinya. Raline memeluk dirinya sendiri, menyesal kenapa ia tidak membawa jaket hari ini. Ia tidak tahu akan pulang tengah malam yang dingin seperti ini. Sudah dua puluh menit ia di depan klub malam itu, tapi belum ada taksi yang lewat.
Sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan Raline. Jendela mobil itu terbuka dan Lonan memanggil Raline, "Hei - maaf aku tidak tahu namamu. Apa kau akan pulang?" tanya pria itu.
Raline mengangguk, merasa sedikit debaran di dadanya ketika Lonan berbicara dengannya.
"Sepertinya tidak ada taksi yang masuk ke sini. Apa kau ingin pulang bersama kami?" tanya Lonan lagi.
Raline mencondongkan sedikit tubuhnya, sekilas melihat Arie duduk di kursi belakang mobil Lonan. Raline sebenarnya ingin menerima ajakan Lonan dan bisa melihat pria itu lebih lama, tapi melihat Arie di dalam mobil itu membuatnya berpikir ulang. Raline tidak ingin berdebat lagi dengan Arie.
"Tidak perlu. Aku tidak ingin mencari masalah dengan keponakan Anda lagi," kata Raline.
Lonan tersenyum lebar hingga lesung pipinya yang manis terlihat, "Arie sedang mabuk berat. Ia tidak akan sadar ada kau di mobil ini. Ayo, masuk saja. Aku tidak bermaksud apapun padamu, hanya ingin meminta maaf karena telah membuatmu dipecat dari pekerjaanmu malam ini," kata Lonan.
Karena tidak ingin mengecewakan Lonan, Raline akhirnya mengangguk dan membuka pintu mobil Lonan. Raline duduk di sebelah Lonan, melirik Arie yang bersandar tak sadarkan diri di kursi belakang.
"Dimana kau tinggal?"
"Aku menginap di Hotel Canaya beberapa hari ini."
Lonan mengerutkan keningnya heran, "Kebetulan macan apa ini? Kau satu hotel dengan Arie? Beberapa hari ini Arie juga tinggal di sana."
Berita baru. Raline tidak tahu bahwa ia satu hotel dengan Arie. Mungkin ia bisa menjadikan kesempatan ini untuk melanjutkan rencananya yang tertunda tadi. Raline melirik Arie yang tengah tertidur pulas di kursi belakang. Arie tertidur seperti bayi dan sangat tenang. Tidak ada kebencian, kemarahan, dan ekpresi menyebalkan lainnya ketika laki-laki itu menutup mata. Sangat damai dan tanpa dosa. Raline tanpa sadar tersenyum kecil melihat laki-laki itu terlelap.
"Hotel itu sangat mahal. Kenapa kau perlu bekerja di klub malam jika kau bisa menyewa hotel semahal itu?" tanya Lonan.
Suara Lonan mengalihkan pandangannya dari Arie. Raline mengutuk dirinya sendiri karena sempat memuji anak i-blis itu ketika tidur.
"Aku mendapat tiket gratis untuk menginap di sana dari salah satu penyandang dana kuliahku. Mereka tahu aku tidak memiliki tempat tinggal dan membiarkanku tinggal di sana beberapa hari," kata Raline, berharap Lonan mempercayai kebohongannya.
Lonan mengangguk pelan, tak ingin bertanya lebih jauh soal itu. "Maafkan keponakanku atas tindakannya tadi. Dia memang suka membuat masalah, tapi dia tak seburuk yang kau pikir."
Raline memutar kepalanya. Tak percaya dengan perkataan Lonan. Meskipun baru dua hari ia mengenal Arie Bastiaan, Raline sudah bisa menilai laki-laki itu. Arie tak lebih baik dari ayahnya - sama-sama laki-laki kasar, suka kekerasan, memaksakan pendapatnya, keras kepala, dan jahat. Arie benar-benar menunjukkan anak dari Edward Bastiaan. Mereka tidak jauh berbeda, sama-sama jahat, kecuali ketika tidur seperti sekarang.
"Aku akan berbicara dengan Arie dan membantumu mendapatkan pekerjaanmu kembali. Kau tidak perlu khawatir. Arie bukan laki-laki yang pendendam," kata Lonan lagi.
Raline menggelengkan kepalanya, "Aku memang ingin keluar dari pekerjaan itu. Aku hanya sangat membutuhkan uang dan tidak bisa berpikir jernih sampai menerima pekerjaan di sana. Aku baru lulus kuliah dan tidak memiliki pengalaman kerja," jelas Raline.
Lonan menghentikan mobil ketika lampu merah, "Benarkah? Aku lihat juga kau berbeda dari perempuan-perempuan lain di sana."
Raline tersenyum, "Aku tidak pernah melakukan pekerjaan seperti itu sebelumnya."
"Jadi kau baru lulus kuliah? Kau mengambil jurusan apa?"
"Aku lulusan Yale University, jurusan ekonomi. Aku yatim piatu dan tidak memiliki siapapun di negara ini. Aku tinggal di panti asuhan sejak kecil dan mendapat beasiswa untuk kuliah di Inggris," kata Raline dengan kebohongan yang sudah ia rencanakan sebelumnya.
"Kau lulusan Yale? Kau bisa dengan mudah mencari pekerjaan di sini. Apa kau tertarik bekerja di Bastiaan Group?"
Raline tersenyum penuh arti. Lonan sudah masuk perangkapnya. Jika ia bekerja di Bastiaan Group, ia bisa lebih dekat dengan Arie dan Edward. Raline akan lebih mudah menjalankan rencananya.
"Kau menawariku pekerjaan? Benarkah?" tanya Raline dengan wajah berbinar palsunya.
"Benar. Kau bisa datang ke Bastiaan Group besok dan menyerahkan surat lamaranmu. Sedang ada banyak lowongan di divisi keuangan - " Lonan memutar kepalanya menghadap Raline. "Atau kau bisa menjadi sekretaris sementaraku? Aku sedang mencari sekretaris baru karena sekretaris lamaku sedang cuti hamil."
Sekretaris Lonan? Posisi ini bahkan di luar harapan Raline. Ia akan sangat menyukai pekerjaan itu, apalagi bisa melihat Lonan setiap hari.
"Aku akan sangat berterima kasih. Posisi sekretaris pastinya mendapat gaji yang lebih tinggi, bukan?" Raline mengerutkan keningnya sedih. "Aku membutuhkan banyak uang untuk membantu panti asuhanku dulu yang kini sedang kekurangan uang," kata Raline.
Lonan terlihat tersentuh dengan perkataan Raline, "Kau sungguh baik. Aku tak mengerti kenapa Arie bisa berpikir buruk tentangmu seperti tadi. Laki-laki itu pasti sudah salah paham."
"Tidak apa-apa. Perempuan yang bekerja di klub - memakai riasan tebal dan gaun pendek seperti ini - pasti semua orang menganggapku rendahan. Arie tidak salah."
"Sekali lagi aku minta maaf -" Lonan berhenti dan tertawa kecil yang anehnya membuat Raline ikut tertawa. "Bodoh sekali. Aku bahkan belum bertanya siapa namamu."
Tawa Raline semakin lebar, "Aku Raline. Namaku Raline Mora Maulvi," kata Raline sambil mengulurkan tangannya pada Lonan.
"Raline," lirih Lonan sambil menyambut uluran tangan Raline.
Tangan mereka menyatu dan Raline seakan tak ingin melepaskannya. Lonan masih memberikan rasa nyaman untuk Raline. Perasaan hangat yang telah hilang dari hidup Raline sejak ibunya meninggal. Raline merasa matanya memanas ketika mengingat ibunya. Dengan berat hati, Raline melepas tangannya dari genggaman Lonan dan menyeka air di sudut matanya. Raline kembali teringat sosok Lonan sepuluh tahun yang lalu.
Sepuluh tahun yang lalu...
"Sudah kubilang jangan memakai gaun di rumah ini! Kau adalah anak laki-laki keluarga Bastiaan! Beraninya kau menggunakan gaun seperti anak perempuan dan bermain boneka?" Edward mengambil boneka barbie yang dipegang Aletha dan mematahkan kepalanya. "Siapa yang memberimu mainan konyol ini?"
"Jangan! Jangan mengambil mainanku! Jangan merusaknya, Ayah! Itu pemberian Paman Lonan," kata Aletha sambil menangis di bawah kakinya.
Edward menendang Aletha hingga anak itu tersungkur di lantai, "Aku akan membakar semua mainanmu. Aku akan membakar semua gaun-gaun milikmu."
"Ayah..."
Edward mengambil tempat sampah dan mengambil mainan Aletha yang berserakan di lantai dan membuangnya ke tempat sampah. Pria itu memasuki kamar Aletha dan mengambil semua gaun-gaun Aletha. Gaun-gaun dan mainan yang sangat disukai Aletha karena pemberian pamannya yang sangat ia sayangi. Tidak ada yang memedulikan Aletha di rumah itu selain pamannya. Aletha menarik tangan ayahnya ketika pria itu mengambil korek api dan membawa barang-barang Aletha ke halaman belakang.
"Ayah, jangan membakar barang-barangku. Aku berjanji tidak akan nakal! Aku janji tidak akan memakai gaun dan bermain dengan boneka itu lagi, tapi jangan membakarnya, Ayah..." mohon Aletha pada ayahnya.
Edward tidak memedulikan Aletha dan membuang barang-barang anak itu ke tanah dan menyiramnya dengan bensin. Pria itu membakar barang-barang itu di depan Aletha.
"Lain kali, jika kau memakai gaun atau bermain boneka lagi, aku tidak hanya akan membakar barangmu, tapi juga dirimu, Arie!"
Aletha menghapus air matanya dan berteriak di depan Edward, "Ayah jahat! Kembalikan aku pada Ibu! Kau bukan ayahku! Kau i-blis! Kau jahat, Edward!"
Edward menarik tangan Aletha dengan kuat hingga membuat anak itu meringis kesakitan, "Apa yang kau katakan?"
"Kembalikan aku pada ibu! Aku ingin bertemu ibu!" ujar Aletha.
Edward mencengkram tangan Aletha semakin kuat, "Ibumu sudah menjualmu padaku, Anak Sialan! Ibumu sudah tidak peduli padamu lagi! Dia tidak akan kembali! Jadi jangan membicarakannya di hadapanku lagi atau aku akan membakarmu hidup-hidup! Dasar anak tidak tahu diri!" kata Edward sambil mendorong Aletha hingga terjatuh.
"Edward!"
Aletha melihat Lonan dan berlari mendekati pria itu. Aletha memeluk Lonan dengan erat, menangis di da-da pria itu. Sedangkan Lonan membawa Aletha dalam gendongannya. Pria itu mendekati Edward yang masih berdiri dengan wajah penuh kemarahan.
"Edward, bukankah kau sudah keterlaluan pada Aletha? Dia masih kecil, kenapa kau memperlakukannya seperti ini?"
"Lonan! Sudah kubilang jangan menyebut nama Aletha di depanku!"
"Tapi anak ini memang Aletha. Kenapa kau memaksakan Aletha menjadi Arie? Arie sedang koma, Edward! Aletha tidak bisa menggantikan Arie selamanya! Dia adalah anak perempuan!"
"Kau tidak perlu ikut campur dengan urusanku, Lonan! Anak itu akan tetap menjadi Arie sampai Arie sadar! Arie akan sadar dan aku akan membuang anak itu setelahnya!" Edward menarik tubuh Aletha dari gendongan Lonan. "Kembalikan dia padaku!"
Aletha semakin mengencangkan pelukannya pada Lonan. Tidak mau Edward menyentuhnya. Lonan menyadari keinginan Aletha dan menjauhkan Aletha dari Edward. "Aku akan membawa Aletha ke rumahku untuk sementara. Kau membuatnya ketakutan, Edward!"
Edward menatap tajam Lonan, "Kau suami adikku, tapi bukan berarti aku membiarkanmu melakukan hal seenaknya padaku, Lonan! Arie tak boleh meninggalkan rumah ini! Satu inci-pun tidak boleh!"
"Aletha adalah anakmu, Edward. Kenapa kau memperlakukannya seperti ini?"
"Dia anakku, itulah kenapa aku melakukan ini. Anak itu setidaknya harus berguna untukku."
"Edward!"
Edward menyugar rambutnya dengan kesal. Pria itu tidak begitu menyukai Lonan karena terlalu ikut campur dengan urusannya, terutama tentang Arie, tapi Edward tidak bisa menyingkirkan pria itu dengan mudah. Adiknya - Alexa, terlalu mencintai pria itu dan tidak akan membiarkan Edward menyentuhnya.
"Pukul tujuh malam Arie harus belajar piano, kau tidak boleh membawa anak itu pergi!" kata Edward lalu meninggalkan Aletha bersama Lonan.
Lonan menurunkan Aletha yang masih menangis. Anak dua belas tahun itu mengusap air matanya dan tidak berani menatap Lonan. "Maafkan aku, Paman. Gaun dan boneka yang Paman belikan untukku sudah hilang. Aku tidak bisa menjaganya. Aku harusnya menyembunyikan dari ayah. Maafkan aku," ucap anak itu di tengah tangisnya.
Lonan mengacak halus rambut Aletha, "Hei, tidak apa-apa. Paman akan membelikan gaun dan boneka baru untukmu. Paman akan membelikan banyak mainan baru untukmu, Aletha. Jangan menangis lagi. Anak cantik tidak boleh menangis," hibur Lonan.
"Paman Lonan tidak marah?"
"Kenapa Paman harus marah?"
Aletha memeluk Lonan dengan erat. "Aku tidak mau tinggal di rumah ini lagi. Aku ingin ikut Paman Lonan saja."
"Tidak bisa, Aletha. Kau harus tetap tinggal di sini. Paman akan bilang ke ayahmu agar tidak menyakitimu lagi. Paman berjanji." Lonan mengangkat jari kelingkingnya dan Aletha mengaitkan kelingking kecilnya ke jari Lonan. "Paman berjanji akan datang ketika ayahmu memarahimu. Paman akan selalu melindungimu. Kau percaya pada Paman, bukan?"
Aletha mengangguk semangat, anak itu tak lagi menangis. Aletha tidak melepaskan tangan Lonan sepanjang waktu. "Paman, kenapa kau menikahi Bibi Alexa?" tanya Aletha tiba-tiba ketika Lonan menemani Aletha membaca buku pelajarannya.
"Memangnya kenapa, Aletha?"
"Paman sangat tidak cocok dengannya. Bibi Alexa sangat jahat dan menakutkan sedangkan Paman sangat baik. Bukankah pria yang baik harus mendapatkan wanita yang baik juga? Kenapa Paman menikahi Bibi Alexa yang jahat?"
Lonan tersenyum kecil dan menyentuh puncak kepala Aletha. Hal yang selalu dilakukan pria itu ketika berada di dekat Aletha. Dan setiap Lonan melakukannya, Aletha menjadi malu dan menyembunyikan wajahnya dari Lonan.
"Banyak pertimbangan dalam sebuah pernikahan, Aletha. Kau akan paham ketika dewasa nanti," kata Lonan.
Aletha tidak setuju, "Kenapa banyak pertimbangan? Bukankah kita menikah karena kita mencintai orang yang ingin kita nikahi? Apa Paman mencintai Bibi Alexa?"
Lonan tidak menjawab dan hanya tersenyum kecil penuh arti pada Aletha. Anak perempuan itu kembali berkata, "Kalau aku mencintai Paman, apakah aku bisa menikahi Paman ketika aku dewasa nanti?"
Perkataan Aletha membuat Lonan tertawa dan mencubit pelan puncak hidung Aletha. Saat itu Lonan menganggap Aletha hanya anak kecil yang tidak tahu apa yang dikatakannya. Tapi Aletha sangat tahu apa yang dikatakannya. Aletha sangat menyukai Lonan dan ia tahu itu bukan perasaan sayang sebatas paman dan keponakan. Lonan adalah cinta pertamanya.
Cinta pertama Aletha.
Tapi bukan Raline. Raline tidak akan mencintai siapapun lagi selain dirinya sendiri.
"Terima kasih sudah mengantarku pulang," kata Raline.
"Besok jangan lupa datang ke Bastiaan Group. Aku menunggumu, Raline."
Raline mengangguk, "Aku akan datang dan menagih posisi asisten yang kau tawarkan," ucap Raline diakhiri dengan senyum kecil.
"Tentu saja." Lonan keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Raline. "Kau bisa pergi dulu ke kamarmu. aku akan mengantar Arie ke kamarnya," kata Lonan sambil membuka pintu Arie.
Raline mengangguk singkat, "Sampai jumpa, Lonan," ucap Raline lalu pergi meninggalkan dua pria itu.