PART 5 - Racun yang Gagal

1895 Kata
"Lepaskan aku! Lepaskan aku, Berengsek!" teriak Raline ketika sadar apa yang tengah mereka lakukan. Arie sudah melepaskan ciumannya karena gagal membuat Raline membuka mulut, tapi laki-laki itu tetap menahan pinggang Raline dengan tangannya. Laki-laki itu mendekatkan wajah mereka hingga Raline bisa merasakan hembusan napasnya. Dua perempuan yang ada di ruangan itu sudah menghilang entah kapan. Hanya ada mereka berdua di ruangan itu dan kenyataan itu membuat Raline semakin tegang. "Apa kau akan tidur denganku jika aku memberimu lima puluh juta sekarang?" tanya Arie dengan wajah serius. Raline menatap mata laki-laki itu, mencari sedikit saja penyesalan atas perkataannya, tapi Raline tidak menemukan apapun. "Berapapun uang yang kau berikan, kau tidak akan bisa membeliku, Ba-jingan!" "Benarkah?" Arie tersenyum miring jahat yang tak sempat Raline lihat sebelumnya. "Kalau kau tidak ingin bayaran, maka aku akan memperkosamu di sini. Lihatlah, ruangan ini! Aku hanya perlu menguncinya untuk membuatmu terkurung di sini bersamaku." Laki-laki itu mendorong Raline hingga terduduk di kursi dan berniat menciumnya kembali. Tapi Raline meludahi wajah Arie hingga membuatnya sangat marah. Matanya menggelap seiring tangannya menyentuh ludah Raline di wajahnya. Raline segera menjauhkan dirinya. "Apa yang kau lakukan?" tanya Arie dengan wajah penuh amarah. "Kau pantas mendapatkannya. Aku akan melaporkanmu pada polisi karena hampir memperkosaku," kata Raline. Arie mencengkram tangan Raline kuat hingga perempuan itu kesakitan. "Melapor polisi? Tak perlu polisi - apa ada orang yang percaya bahwa aku memperkosamu di sini? Sedangkan kau sendiri perempuan ja-lang dan pekerjaanmu memang untuk memuaskan tamu di sini? Siapa orang yang akan lebih dipercaya?" Raline menjauh dan berdiri di pojok. Melihat Arie membersihkan wajahnya dengan tisu di meja. Laki-laki mendekati pintu ruangan dan berkata, "Aku akan membersihkan wajahku dan kembali untuk menghukummu. Kau akan mendapatkan balasan setiap ucapan dan tindakanmu padaku. Tak terkecuali dan aku akan menggandakannya berkali-kali lipat," kata Arie lalu membuka pintu dan mengunci pintunya dari luar. Raline menggunakan kesempatan itu untuk menaruh racun yang ia simpan di lipatan gaunnya. Perempuan itu menaburkan racun berupa serbuk putih itu di gelas Arie dan juga ke botol minuman Arie yang hampir setengah. Tidak ada orang lain di ruangan itu, meskipun Raline menaruh racun di botol minuman, tidak ada yang akan meminumnya, kecuali Arie. Raline sedang menyembunyikan sisa racun di belahan da-danya ketika Arie membuka pintu dan melihatnya dengan pandangan aneh. "Apa yang kau lakukan?" tanya Arie. Raline menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi. Mencoba menahan kebenciannya dan bersikap lebih jinak pada Arie. Apapun yang terjadi, Arie harus meminum alkohol itu. "Kemarilah, kita bisa membicarakan kembali soal hargaku," kata Raline. Arie tersenyum penuh kemenangan. Laki-laki itu duduk di tengah kursi, agak jauh dari Raline. Rambutnya sedikit basah karena habis mencuci muka. Arie menyugar rambut hitamnya yang basah itu ke belakang dan menatap Raline. "Jadi, hanya sebatas ini kau mempertahankan harga dirimu?" tanya Arie. Raline berusaha tidak terpengaruh dengan ucapan Arie dan menggeser tubuhnya ke mendekati laki-laki itu. Raline mencondongkan wajahnya pada Arie dan meletakkan jemarinya tepat di atas lutut laki-laki itu. Dengan nada suaranya yang ia buat semenggoda mungkin, Raline berbisik di telinga Arie, "Berapa kau akan membayarku untuk memuaskanmu, Tampan?" Seketika Arie meletakkan tangannya di leher dan pinggang Raline. "Aku akan membayar berapapun yang kau mau jika kau mau melakukannya di sini. Sekarang!" kata Arie dengan nada rendah. Raline menjauhkan wajahnya, mengambil napas panjang karena sedari tadi ia menahannya. Dengan gerakan yang ia buat senatural mungkin, Raline mengambil botol minuman dan menuangkannya ke dua gelas yang ada di meja. Raline memberikan satu gelas kepada Arie dan tersenyum penuh kemenangan ketika laki-laki itu menerimanya. "Minumlah dulu bersamaku. Kau terlalu terburu-buru, Arie," kata Raline. Raline mengangkat gelasnya ke dekat bibirnya dan berhenti ketika melihat Arie melakukan hal yang sama. Gelas Arie hanya berjarak kurang dari lima sentimeter dari bibirnya ketika pintu ruangan itu terbuka dan Arie meletakkan gelasnya kembali. "Paman?" panggil Arie. "Aku menemui Orwel dan dia berkata kau ada di ruangan ini," kata seseorang. Suara itu - sangat tidak asing. Raline memutar kepalanya melihat siapa yang datang mengganggu rencananya. Dan matanya membulat sempurna ketika melihat seseorang berdiri di pintu. Lonan - pamannya, suami Alexa, adik dari Edward Bastiaan. Lonan - cinta pertama Raline yang selalu berada di kepalanya selama ini. Lonan - satu-satunya keluarga Bastiaan yang begitu baik padanya dulu. Pria itu sama sekali tidak berubah. Sepuluh tahun tidak mengubah apapun pada dirinya. Lonan masih terlihat muda di umurnya yang ke 35 tahun. Dengan senyum hangatnya yang selalu membuat Raline kecil terpukau, Lonan mendekati Arie dan duduk di sampingnya. Pria itu mengalungkan lengannya di leher Arie dan mengacak-acak rambut Arie. Mereka terlihat sangat dekat dan Raline tidak menyukainya. Lonan akan selalu menjadi malaikat bagi Raline - sedangkan Arie akan menjadi i-blis baginya. Bukankah malaikat dan i-blis harusnya tidak sedekat itu? "Kau masih tidak berubah. Sudah kubilang kurangi kegiatan penuh dosamu ini," kata Lonan. Arie menjauhkan tubuhnya, merasa tidak nyaman dengan pelukan Lonan. Laki-laki itu seperti tidak suka Lonan memperlakukannya seperti anak kecil. "Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini? Kalau Bibi Alexa mengetahui kau datang ke klub lagi, dia akan marah besar!" Lonan tersenyum kecil, "Alexa sedang keluar negeri untuk berlibur dengan teman kuliahnya. Kau tidak tahu?" Arie menggeleng sebagai jawaban. "Karena itulah kau harus pulang. Sampai kapan kau akan tinggal di hotel dan membuat ayahmu uring-uringan di rumah?" Arie tidak menjawab dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Raline meletakkan minumannya ke meja, kecewa karena rencananya akan gagal. Arie tampak tak ingin menyentuh minumannya lagi. Apalagi dengan kehadiran Lonan di tempat ini, bagaimana jika Lonan juga ingin minum alkohol itu? Raline merasa tangannya bergetar membayangkan kemungkinan itu. Perempuan itu terbangun dari kegelisahannya ketika Lonan berbicara padanya, "Kau boleh pergi, Nona. Aku akan membawa Arie pulang," katanya. "Kata siapa aku akan pulang?" Arie menarik tubuh Raline lebih dekat padanya. "Urusanku dengan perempuan ini belum selesai. Kau saja yang pergi. Kenapa kau suka sekali menggangguku?" Lonan tersenyum kecil dan melihat Raline dari ujung kaki sampai ujung kepalanya. Tatapan yang sering ia dapatkan sejak kembali ke negara ini. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengambil botol minuman di depannya. Botol yang sudah dimasuki racun oleh Raline. Pria itu memasukkan alkohol itu ke gelas di depannya. Raline semakin panik. Lonan sudah mengangkat gelas itu mendekati bibirnya dan Raline tidak bisa berpikir jernih lagi. Ia tidak mungkin membiarkan cinta pertamanya mati karena racun sialan itu. Raline melepaskan diri dari pegangan Arie dan berjalan mendekati Lonan. Saat di depan Lonan, Raline pura-pura tersandung dan jatuh menimpa pria itu sampai gelas yang dipegangnya jatuh ke lantai dan membasahi kemeja Lonan. Posisi dirinya sangat tidak menguntungkan karena Raline persis berada di atas tubuh Lonan. Dengan kakinya membelah kaki Lonan dan tangannya menyentuh da-da pria itu. "Ma-maafkan aku," kata Raline terbata-bata. Pria di depannya sama terkejutnya dengan Raline. Lonan terlihat tidak nyaman, Raline bisa merasakan tubuh pria itu menegang. Dadanya berdebar lebih keras di bawah tangannya dan pria itu mulai meletakkan tangannya di pinggang Raline dengan ragu-ragu. Raline berusaha melepaskan dirinya saat sebuah tangan menarik tubuhnya dengan kuat. Raline tersentak oleh tarikan kuat Arie yang kini menatapnya dengan tajam. Laki-laki itu berdiri dan mendorong Raline dengan kuat hingga hampir terjatuh di kursi. Arie tampak sangat marah dan Raline tak tahu apa yang laki-laki itu pikirkan. "Kau pikir apa yang kau lakukan?" tanya Arie dengan nada tajam. Raline mencoba merapikan gaunnya dengan tangan bergetar, "Aku minta maaf. Aku tak sengaja jatuh," kata Raline. "Kau pikir aku percaya dengan alasan konyolmu itu? Kau sengaja melemparkan tubuhmu pada Lonan! Aku melihatnya sendiri, Ja-lang!" Raline merasa sangat terluka oleh pandangan Arie yang menatapnya sangat rendah. "Aku benar-benar terjatuh. Memangnya apa yang kau pikir aku lakukan?" tanya Raline. "Kau mencoba menggoda Lonan! Itulah yang kupikirkan! Dengan cara pintar yang juga kau lakukan tadi padaku! Berusaha menjadi perempuan baik-baik, tapi sebenarnya kau hanya perempuan ja-lang yang menginginkan uang kami!" Arie melempar gelas di depannya ke samping Raline hingga membuat perempuan itu tersentak. "Apa aku saja tidak cukup untukmu malam ini? Kau juga akan menggoda pamanku? Kau tahu Lonan sudah memiliki istri! Kau mendengar pembicaraan kami dan kau tetap menggodanya setelah tahu ia sudah menikah?" teriak laki-laki itu. Lonan menarik lengan Arie, "Arie, kau berlebihan! Dia tidak sengaja terjatuh di depanku. Kenapa kau memarahinya seperti ini?" "Diamlah, Lonan! Dia adalah perempuan paling rendahan yang pernah aku temui! Dia harus mendapat hukuman." Arie melepaskan lengannya dari genggaman Lonan dan mendekati Raline yang berdiri kaku di ujung ruangan. "Kau tahu aku sangat tidak suka ketika perempuan yang sudah berada di tanganku lari ke laki-laki lain. Kau pikir bisa mendapatkanku dan pamanku secara bersamaan?" ujar Lonan. Raline menggeleng pelan. Perempuan itu mencoba melepaskan tangannya ketika Arie menariknya. "Kemana kau membawaku?" tanya Raline. Arie menarik tangan Raline dan menyeretnya keluar ruangan VVIP itu. Arie membawa Raline ke lantai satu klub yang sudah ramai dan penuh suara musik yang keras. Banyak orang menari mengikuti musik dari DJ bertelanjang da-da di tengah ruangan. Arie menarik tangan Raline membelah orang-orang itu dan masuk ke ruangan gantinya tadi. Melempar Raline kepada Orwel yang sedang berbicara pada seorang perempuan. "Ada apa, Tuan Arie?" tanya Orwel. "Pecat perempuan itu atau aku tidak akan datang ke tempat ini lagi!" kata Arie dengan tegas. Orwel sangat kaget. Pria itu menatap Raline dengan penuh kemarahan. Tak menyangka perempuan yang sangat ia harapkan itu membuat masalah di hari pertama kerjanya. Apalagi masalah dengan Arie Bastiaan. Namun, Orwel berusaha tidak memperlihatkan kemarahannya dan bersikap tenang ketika melihat Arie. "Apa kesalahan yang dilakukan gadis saya, Tuan?" "Perempuan ja-lang itu berani menggoda pamanku di saat dia bersamaku! Apa kau tidak memberitahunya bahwa aku paling benci perempuan yang melirik laki-laki lain saat bersamaku? Pecat dia sekarang atau aku akan menghancurkan bisnismu ini, Orwel!" Orwel melirik Raline dengan penuh kemarahan, sedangkan Raline hanya memasang wajah datar - tidak peduli ia akan dipecat atau tidak. Racun yang ia masukkan ke minuman Arie tadi adalah satu-satunya yang ia bawa dan Raline tidak bisa menggunakan cara itu lagi untuk membunuh laki-laki itu. Raline memutar kepalanya ketika pintu kembali terbuka dan Lonan masuk dengan tatapan meminta maaf pada Raline. Pria itu seperti sangat bersalah pada Raline. Membuat Raline ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja. "Arie, sebaiknya kita pergi dari sini," ajak Lonan pada keponakannya itu. "Tidak bisa! Aku harus memastikan perempuan ini terusir dari klub ini! Dia sudah membuatku sangat marah hari ini!" Raline mengambil tasnya di loker dan merapikan barang-barangnya. Perempuan itu kembali kepada Orwel dan berkata, "Aku akan pergi, Orwel. Aku tidak ingin kau kehilangan pe-langgan terbaikmu yang ternyata seorang ba-jingan itu. Aku lebih baik pergi daripada berurusan dengan laki-laki menyebalkan yang suka merendahkan orang lain seperti dia," kata Raline sambil melirik Arie yang semakin menatapnya tajam. "Raline! Apa yang kau katakan? Minta maaf pada Tuan Arie sekarang!" teriak Orwel dengan suara femininnya. Raline mendekati Arie, menjijitkan kakinya sehingga wajahnya sejajar dengan laki-laki itu. Raline menatap mata laki-laki itu tak kalah tajam darinya. "Sudah puas? Aku akan pergi dan semoga kita tidak bertemu lagi, Tuan," kata Raline tepat di telinga Arie. Raline bisa merasakan ketegangan di antara mereka dan perempuan itu segera menjauh. Tak ingin ia merasakan lagi sensasi aneh ketika menatap mata laki-laki itu. Raline pergi dan berjalan melewati Lonan yang masih menatapnya dengan rasa bersalah. Raline tersenyum singkat pada pria itu. Senyum yang tulus. Senyum dari Aletha yang dulu sempat menyukainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN