05-YOU DRIVE ME SO CRAZY

1312 Kata
Happy reading  Nay tak bisa melakukan apa pun, ia hanya menurut saja ketika tubuhnya dimasukkan ke dalam sebuah mobil. Nay tak yakin pria yang membawanya ini pria baik-baik atau bukan, tapi setidaknya sekarang ia bisa keluar dari tempat mengerikan itu. Nay terkejut ketika pria di sebelahnya ini meraih dagunya. Membenturkan tatapan mereka dalam jarak yang begitu dekat. Mata tajam itu mengunci maniknya. Nay merasa sulit bernapas. Ia ingat mata ini. Pria yang kakinya berdarah saat naik bus, juga orang yang menodongkan sebuah pistol ke sopir taksi yang tengah ia tumpangi. Ya, dia pemilik mata itu. "Siapa kau?" Pertanyaan itu membuat Nay tersentak. Bukan nada membentak tapi tajam dan menekan. Seperti pertanyaan itu mampu menentukan nasibnya selanjutnya. Nay bergidik ngeri menatap pria di hadapannya. Lidahnya sampai kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan Justin. "Apa yang sudah kaulakukan padaku?" Tubuh Nay bergetar saat merasakan tekanan dari jari-jari besar itu di dagunya. Nay juga tak tahu apa yang sudah ia lakukan pada pria ini hingga membuatnya marah. Nay merasa tak melakukan kesalahan apa pun padanya. "Jawab aku!" Kali ini Nay sangat kaget karena Justin membentaknya. Jemari Nay saling bertaut dalam pangkuannya karena takut. "A-aku tak tahu apa mak-maksudmu," ucapnya pelan. Justin mendesah keras. "Berhentilah." Nay menatapnya bingung. "Berhenti menggigit bibirmu!" ucapnya dengan nada frustrasi. Nay langsung melepaskan bibir bawahnya dari gigitan gugupnya tadi. "Ma-maaf. Maafkan a-aku." Hanya itu yang bisa Nay ucapkan walau ia tak sepenuhnya mengerti maksud ucapan Justin. Nay terkejut ketika tiba-tiba Justin menyentuh bibir bawahnya dengan ibu jari. Gadis itu menyentuh pergelangan tangan Justin yang menyentuh wajah Nay kemudian Nay berpaling, tak rela orang asing menyentuhnya seintim itu. "Sial!" umpatan frustrasi itu terdengar oleh Nay, "kau membuatku gila." Nay bingung. Ia tak mengerti keadaan saat ini. Ia benar-benar tak paham dengan apa yang sedang terjadi. "Aku ingin sekali menyentuhmu, tapi ada perasaan sialan yang terus menahanku." Nay merasa pria ini begitu b***t saat mengatakannya. Mereka tak saling mengenal tapi Justin dengan gamblang mengatakan ingin menyentuhnya. Tanpa risih sedikit pun. Nay menepis tangannya dengan cepat dan berbalik nyaris membuka pintu mobil tapi lengannya segera tertarik ke belakang oleh Justin. Kini jarak mereka semakin dekat. "Kenapa? Kenapa aku tak bisa menyentuhmu padahal aku sangat ingin?" Justin menahan bahu Nay agar tak beranjak sedikit pun dari sana. Nay membulatkan matanya mendengar pertanyaan vulgar dari pria di hadapannya. "K-kau-" "Aku yakin kau masih virgin," potongnya cepat. Ada seringai mengerikan di ujung bibirnya dan Nay patut waspada. "To-tolong biarkan a-aku per-gi." Nay begitu gugup mendapat tatapan mematikan darinya. "Pakai seatbelt-mu. Akan kuantar." Justin menarik diri dan segera melajukan mobilnya. Mau tak mau Nay memakai seatbeltnya seperti yang Justin perintahkan. "Siapa namamu?" tanyanya sembari melirik Nay yang terus menggenggam sabuk pengaman di depan dadanya. "Nay- maksudku ... Nayna." "Oh," gumam Justin pelan. "A-aku merasa pernah bertemu denganmu sebelumnya." "Benar, tiga kali." "Tiga? Kau orang di bus dan di taksi saat itu? Lalu yang satu di mana?" "Di club. 2 bulan lalu." "Aku ... tidak ingat. Siapa namamu?" Justin melirik Nay untuk mempertimbangkan ia harus memberitahukan namanya atau tidak sebentar. "Justin. Saat itu kau bersama dengan wanita yang sedang mabuk. Itu pertama kalinya aku melihatmu. Dan ... aku merasa kau gadis baik-baik." "Dan kamu?" "Apa?" tanya Justin menoleh pada Nay. "Kau bukan pria baik-baik?" "Tentu saja." "Aku juga berpikir begitu setelah mengingatmu tadi. Aku selalu melihatmu dalam keadaan terluka jika bertemu. Ini pertama kalinya kau terlihat baik-baik saja." Nay tak melihat bahu kanan Justin yang berdarah karena terserempet peluru. "Aku selalu baik-baik saja walau aku bukan pria baik. Dan aku berharap ini pertemuan terakhir kita." "Aku juga berharap begitu. Kau benar-benar mengerikan jika aku boleh jujur."  *** Justin mengantar Nay sampai di depan rumahnya tanpa bertanya lagi di mana alamat Nay karena Justin pernah ke sana. Nay segera keluar dari mobil Justin saat mereka sampai. "Terima kasih. Mungkin saat ini kau sedang menjadi pria baik. Aku berhutang padamu." "Jangan berhutang atau kau harus membayarnya. Dan kita akan bertemu lagi kalau kau ingin membayarnya," ucap Justin datar kemudian mobilnya melaju, meninggalkan rumah Nay dengan embusan napas kasar dari gadis itu. Justin harus segera kembali ke club karena pertarungan sengit antara Darken Rufs dan Sacco belum berakhir. Bahkan masih sangat awal. "Pria gila macam apa yang baru saja kutemui?" gumam Nay kemudian segera masuk rumah. Nay melihat jam dinding. Pukul 1 dini hari. Nay menghidupkan ponselnya kemudian mencoba menghubungi Nadia. Suara seorang pria menyahut. Nay tahu betul siapa pemilik suara ini. "Di mana kalian?" tanya Nay ketus. "Di apartemenku." "Sudah kuduga. Antarkan Nadia ke rumahnya, Nathan!" ucap Nay tajam. "Atau ke apartemennya saja!" "Nadia sudah tidur. Aku butuh waktu untuk menjelaskan semuanya pada Nadia, Nay. Besok pagi setelah aku menjelaskan semuanya pada Nadia, aku akan mengantarkannya ke kampus. Tenang saja, aku takkan macam-macam." "Takkan macam-macam? Kau pikir aku tak tahu kenapa kau mencampakkan Nadia, huh! Kau bersama wanita lain-" "Tidak seperti itu, Nay. Aku memang bukan pria suci. Ayolah, aku hanya tidak ingin melakukannya pada sahabatmu ini karena aku mencintainya." "Pembelaan macam apa itu! Kau meniduri wanita lain dengan alasan tidak bisa meniduri Nadia, begitu? Kau ini bodoh sekali! Sekali b******k tetaplah seorang b******k! Seharusnya kau bisa menahannya sampai kalian menikah! Atau secepatnya saja kau menikahi Nadia bodoh itu. Bukan malah mencari jalang untuk pelampiasan! Nadia terlalu tulus untuk pria-" "Nay!" potong Nathan gemas, "kau tak mengerti!" "Jangan jelaskan apa pun pada Nadia. Dia pasti akan dengan bodohnya kembali memaafkanmu! Kembalikan Nadia sekarang juga!" "Oh, kau ini benar-benar! Sahabat macam apa-" "Aku tak peduli! Kirimkan alamat apartemenmu. Biar aku yang- hey! Nathan Dominick! Mati kau besok!" umpat Nay kesal saat sambungan diputus oleh Nathan begitu saja. Nay melempar ponselnya dengan jengkel. Lalu suara pintu yang diketuk membuat jantung Nay berdegub dengan begitu kencang. "Ju-Justin," gumamnya khawatir jika yang datang sepagi ini adalah Justin. Nay benar-benar takut padanya. "Nay!" Nay bernapas lega saat mendengar suara Delon di depan sana. Dengan cepat Nay membukakan pintu. Tak tahu apa yang terjadi, keduanya langsung berhambur di pelukan pasangannya. Delon memeluk Nay dengan begitu erat sembari mendaratkan kecupan-kecupan kecil di kepala Nay. Sedangkan Nay begitu nyaman ada di dalam dekapan kekasihnya. Rasa takutnya melebur begitu saja dengan kedatangan Delon. "Kamu baik-baik saja?" Delon merenggangkan pelukan mereka dan melihat tubuh Nay secara teliti. Memastikan bahwa kekasihnya baik-baik saja. "A-aku baik-baik saja." "Ya Tuhan, Nay, aku sangat khawatir saat melihat panggilan darimu. Saat aku balik menghubungimu, nomormu tidak aktif. Kau habis dari mana? Kenapa memakai jaket?" Nay bingung harus bagaimana menjelaskannya pada Delon. Kejadian baru saja, membuat Nay cukup lelah dan ketakutan. "Nayna, aku bertanya padamu." "Delon." "Ya?" "Tidak. Maksudku aku baru saja bertemu Nadia." "Sepagi ini?" tanya Delon tak habis pikir. "Seharusnya kau menungguku menghubungimu, Nay. Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?" "Aku hanya takut Nadia-" "Dia lagi." Delon berucap kesal. "Dia selalu merepotkanmu dan membuatmu dalam bahaya. Ini tidak bisa dibiarkan. Dia semakin keterlaluan, Nay." "Delon, kamu tahu aku sangat menyayangi Nadia. Kami seperti saudara." "Aku tahu. Aku sangat tahu hal itu. Dengarkan ideku yang pernah kusampaikan padamu waktu itu-" "Tidak bisa, Delon. Bagaimana jika terjadi apa-apa pada Nadia saat sedang mabuk? "Hanya sekali, Nay. Biarkan dia di sana sampai pagi dan cobalah tak peduli. Aku yakin Nadia akan berhenti pergi ke tempat itu. Pikirkan keselamatanmu juga. Bahkan ini sudah pagi dan kamu baru sampai. Kamu membuatku khawatir, Nay." "Baiklah, aku akan minta kamu menemaniku jika ini kembali terulang. Kamu bisa menjagaku." "Ini sudah kesekian kalinya kamu mengatakan hal yang sama. Tapi apa, aku selalu kecolongan. Aku tahu Nadia sangat sering pergi ke club dan kamu hanya sesekali minta aku menemanimu. Kaupikir aku tidak tahu? Nay, mengertilah kekhawatiranku. Aku tidak bisa membiarkanmu selalu dalam bahaya seperti ini. Aku sangat mencintaimu." Nay merasa bersalah melihat wajah frustrasi Delon. "Maafkan aku." Delon kembali memeluk Nay agar rasa cemasnya berkurang. "Syukurlah kamu baik-baik saja. Lain kali kamu harus memastikan ada aku yang akan menemanimu ke club untuk menjemput Nadia." "Aku mengerti." Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa vote dan komen gengs.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN