09-Like a Doll

986 Kata
Maaf karena ngaret banget Happy Reading Justin berbalik, berjalan ke arah Nay yang masih tampak shock di tempatnya melihat Kris yang mungkin sudah tak bernyawa. "Kerja bagus, Nayna." Nay mengalihkan pandangannya pada Justin yang berjalan ke arahnya. Nay refleks mundur perlahan. "K-kau membunuhnya," lirih Nay tak percaya. "Aku, atau kau?" tanya Justin santai dan semakin mendekat. "Kau membunuhnya!" ucap Nay tajam. "Tanpa sadar, kamulah yang sudah membunuhnya, Nayna." Nay menggeleng, "Kamu gila! Kamu benar-benar psycho, Justin!" Justin tersenyum sinis, "Kalau saja kamu tak membiarkan tua bangka itu meminumnya, mungkin dia tak kan mati semudah ini. Tapi apa, kau memilih diam dan membiarkannya mati. Aku hanya berniat membunuhnya, tapi kamu yang benar-benar membunuhnya." Nay tak menjawab. Ia tak habis pikir pada dirinya sendiri. Nay baru sadar jika ia memang benar-benar membiarkan orang lain mati di hadapannya padahal Nay tahu minumannya beracun. Nay tadi hanya berpikir Kris adalah orang yang lebih jahat dari Justin. Jika saja Nay memberitahu Kris, belum tentu Kris akan membiarkannya pergi dari sini dengan selamat. Nay juga tak ada niat sedikit pun melancarkan aksi pembunuhan Justin ini. "Aku sudah memutuskan." Nay kembali menatap Justin. Tak mengerti dengan maksud ucapan pria itu. "Aku tadi membuat 2 keputusan. Jika kau menghalangiku membunuh Kris, aku akan melepaskanmu. Tapi jika kau mendukungku, kau mutlak menjadi milikku, Nayna." Nay terkejut lalu menggeleng cepat. "Kamu tidak bisa melakukan ini padaku! kau orang yang kejam! Aku tidak pernah mendukungmu. Aku hanya takut." Justin berjalan cepat untuk meraih dagu gadis itu. Mencengkramnya dengan kuat dan penuh emosi, "Tanpa persetujuanmu, aku bisa melakukan apapun padamu!” Nay mencoba melepaskan tangan Justin dari rahangnya tapi Justin semakin erat mencengkramnya. "Dengar! Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Tanpa terkecuali!" * * * Sudah 3 jam setelah Justin mengantarnya pulang, Nay hanya berdiam diri di kamarnya dan melamun. Beberapa panggilan masuk ke ponselnya tapi Nay seolah tak mendengar ponselnya berdering. Hingga pintu kamarnya dibuka seseorang dengan sedikit kasar lalu mengantarkan langkah tergesa ke arahnya. "Nay." Nay menoleh, "Delon." Nay langsung memeluknya saat pria itu tiba di hadapannya. "Sayang, ada apa? Kenapa tidak membalas pesanku? Sesuatu terjadi?" Nay mengangguk. Ia baru ingat, ia punya Delon yang bisa melindunginya dari apapun. Nay akan jujur padanya. "Aku takut," lirih Nay. "Apa yang kamu takutkan? Kenapa sampai membuatmu akhir-akhir menjadi aneh?" Delon merenggangkan pelukannya lalu menatap Nay lembut setelah duduk di sebelah gadisnya. Nay menggigit bibir bawahnya, bingung harus menceritakan ini pada Delon atau tidak. "Nay, kamu sangat gusar. Katakan padaku apa yang membuatmu takut," Delon mengusap kepala Nay agar lebih tenang. "Delon" "Iya, Sayang." "Ka-kamu tahu Draco Rufus?" Delon terkejut mendengar pertanyaan kekasihnya, "Nay, dari mana kamu tahu Draco Rufus? Itu gangstar berbahaya. Kamu berurusan dengan mereka?" "Kamu anggota Draco Rufus?" Nay balik bertanya. "Apa? Tidak tidak. Draco Rufus adalah musuh terbesar Escriva. Aku adalah anggota Escriva. Ada apa Nay? kenapa kamu bertanya tentang geng kejam itu?" "Kamu t-tahu ... Justin?" Delon membelalakkan matanya, "Nay, kau mengenalnya?" Nay mengangguk. "Nay. Ya Tuhan, seharusnya kamu tidak pernah mengenal mafia kejam seperti dia. Kau tahu, Justin Nicholas adalah Kris Draco selanjutnya. Bahkan ia lebih kejam dari Kris, pimpinan Draco Rufus." Dan aku hari ini melihat Justin membunuh ketuanya sekaligus pamannya yang sudah merawat Justin sejak orang tuanya meninggal. Ucap Nay dalam hati. "Lalu, apa dia menyakitimu?" tanya Delon khawatir. Nay menggeleng cepat, "Aku takut. Dia terus datang padaku. Dia bisa masuk ke rumah ini kapanpun." "Apa!?" Delon lebih terkejut lagi. "Dia masuk ke rumahmu?" Nay mengangguk, "Dia bilang aku miliknya." Tanpa Nay sadari, kedua tangan Delon sudah terkepal penuh emosi. Dalam batin pemuda itu sudah terlontar sejuta umpatan untuk Justin. "Aku takut, Delon. Dia semena-mena padaku." Delon menangkup wajah Nay. "Tinggallah bersama Ibumu dulu, Nay. Sebelum aku bisa menghentikan Justin, lebih baik kamu bersembunyi ke rumah orang tuamu dulu. Jangan keluar rumah termasuk pergi ke kampus. Jangan menceritakan hal ini pada siapapun termasuk Ibumu." Nay mengangguk patuh, "Tapi berjanjilah untuk selalu baik-baik saja." Delon tersenyum, emosinya seketika tergantikan rasa hangat karena kekhawatiran Nay padanya, "Aku akan baik-baik saja, Sayang, tidak perlu khawatir. Kamu yang seharusnya berhati-hati. Hubungi aku segera jika sesuatu terjadi." Nay mengangguk lagi, "kapan aku harus pindah?" "Besok. Saat kamu akan ke kampus. Kita buat seolah kamu pergi ke kampus padahal kamu pulang ke rumah orang tuamu. Jangan bawa apapun untuk pindah. Hanya tas biasanya yang kamu bawa ke kampus saja." "Aku mengerti." "Sekarang, istirahatlah. Aku akan pulang." Nay mengangguk, "Hati-hati." Nay membaringkan tubuhnya dan Delon menarik selimut untuknya. "Mimpi indah cantik," Delon memberikan kecupan kecil di kening Nay. "Kamu juga," balas Nay. Delon melempar senyum pengantar tidur lalu meninggalkan kamar kekasihnya. * * * Drrtt Drrtt Justin membuka matanya mendengar getaran di ponselnya. Pria itu menurunkan kakinya dari atas meja kerja lalu meraih ponselnya untuk melihat pesan yang masuk pada pukul 1 dini hari seperti ini. Bahkan ia belum genap 2 jam tertidur di ruang kerjanya. Justin refleks berdiri saat melihat pesan gambar yang baru saja masuk itu. "Sialan!!" Brakk! Justin menghantam meja dengan kepalan tangannya. Sebuah foto dirinya yang sedang bersama Nay di dalam mobilnya. Tanpa kalimat apapun di pesan itu, Justin sudah mengerti apa maksud si pengirim. Ia akan menggunakan Nay sebagai umpan untuk melumpuhkan Justin. Belum selesai Justin membereskan kematian Kris yang diyakini banyak orang karena serangan jantung, kini Justin harus berpikir cara menyembunyikan Nay dari musuh-musuhnya. Justin terdiam. Otaknya berpikir cepat mencerna perasaan aneh yang tiba-tiba datang padanya dan baru ia sadari ini. Khawatir? Justin mengkhawatirkan gadis yang ia klaim sebagai miliknya itu? Kenapa juga Justin harus khawatir? * * * Dengan santai, Justin kembali memasuki kamar Nay pukul 3 dini hari. Nay tampak menggeliat mendengar pintu kamarnya ditutup dengan santai hingga menimbulkan suara. Samar-samar, Nay melihat Justin mendekati ranjangnya namun ia belum sadar sepenuhnya. Dan tak lama Nay merasa lengannya tertusuk benda tajam. Belum sempat berteriak, Nay merasakan tubuhnya lemas kemudian kembali tertidur. Justin membuka pisau lipatnya dan mulai menyayat lengan Nay. Tanpa beban, Justin seperti sedang membelah tubuh sebuah boneka. Iya, gitu... 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN