Nisan Tanpa Nama

1628 Kata
Pagi yang indah dimulai Loto dengan sholahah anui ... Sholat subuh! Setelah berdoa cukup panjang Loto membereskan semua perlengkapan tidurnya. Saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Masih ada 30an kilometer lagi jauhnya. Sebelum sore Loto yakin dia sudah sampai di desa Vehaaruio, tempat kediaman para Acahualpa. Sementara rumahnya yakni rumah Nihima berada sedikit lebih jauh, ada di atas bukit kapur hitam yang menjulang. Beberapa meter diatas perkampungan Veeharuio. "Aaahh, segar sekali bisa tidur dengan nyenyak." Loto merenggangkan otot-ototnya dan mengikat tali sepatunya. "Nihima pasti sudah menyiapkan banyak makanan dengan berbagai macam hidangan. Ada daging bebek, berang-berang, atau malah kura-kura...? Hmm, memikirkannya saja sudah membuatku berselera." Perut Loto berbunyi, bergetar melemahkan sedikit gerak tubuhnya. Astaga, aku belum makan sama sekali. Aku belum menyiapkan satupun sarapan, pikir Loto. Makan apa ya yang enak? "Berburu akan memakan waktu. Aku tidak ingin lagi menunda-nunda kepulanganku. Ingin sekali aku melihat wajah terkejut Nihima saat melihatku pulang nanti. Itu sudah cukup membuatku ingin segera sampai di rumah. Hah...! tapi perut ini tidak bisa diajak berkompromi sama sekali. Aku harus segera mencari makan, tapi dimana aku bisa mendapatkannya disini...?" Loto memeriksa sekitarnya. Kota terdekat masih beberapa mil jauhnya. Untunglah, seorang pengelana lain lewat bersama kudanya. Koboy berbaju kuning dan rompi hitam lusuh, pria tua berusia sekitar 40 tahunan, sedang membawa karung muatan seperti hasil panen di atas kudanya. Dari kejauhan pria itu menegur Loto yang dilihatnya diatas bukit kecil sana. Ia dengan sangat baik menawari Loto minum. "Mau air, anak muda...?" Loto hanya menggelengkan kepala. Dia masih memiliki cukup persediaan air minum, hanya sedikit makanan yang diperlukannya. Loto melirik ke arah muatan yang dibawa sang pria. Dia melihat sebuah jagung yang bijinya berwarna warni sedang mengintip keluar di sela-sela karung. Ada hijau, biru, merah muda, kuning, dan biru muda. Sungguh jagung hibrida yang cantik bentukannya. "Apa itu jagung Calico...?" teriak Loto dari kejauhan. Pria itu menoleh sedikit ke belakang ke arah muatan yang dibawa. "Ya. Yaaa, kau benar. Ini Calico. Apa kau mau...? Aku bisa berikan beberapa." Katanya. Lelaki baik hati itu memacu kudanya berjalan pelan ke arah Loto. Setelah cukup dekat dengan Loto, Pria itu lalu turun dan mengambil beberapa jagung Calico yang kemungkinan besar baru saja ia petik. "Apa lima buah cukup untukmu?" "Itu terlalu banyak. Aku hanya butuh dua saja." "Benar hanya dua? Tidak apa-apa, aku bisa memberimu sedikit lagi. Kebetulan aku baru memetiknya. Kau cobalah, rasakan bagaimana rasanya." Lelaki itu melempar dua buah jagung Calico ke arah Loto. Dengan cekatan Loto menangkap jagung-jagung tersebut dengan sebelah tangannya. "Terima kasih," kata Loto, mengupas sedikit kulit jagungnya dan mulai mencicipinya. Wajah Loto nampak terkesan saat mencobanya. "Hpmmm, ini sangat manis tuan. Benar-benar lezat. Teksturnya agar keras tapi nanti juga akan lembut karena ini baru saja dipetik. Kau menggunakan apa? Pestisida?" "Benarkah enak? Baguslah." Jawab sang pria. "Tidak, aku hanya menggunakan air sungai dicampur serbuk bunga hukai. Kau sepertinya cukup tahu masalah perkebunan. Apa kau juga petani...?" "Tidak. Aku cukup familiar dengan jagung Calico. Ayahku, Nihima juga mengembangbiakan varietas jagung ini. Rasa jagungnya persis seperti ini. Sangat enak ketika dimakan, memiliki tekstur." "Diliat dari dekat, kau ternyata orang Indian. Kukira tadi kau seorang Koboy pengelana anak muda. Apa kau seorang kulit merah (Indian) atau kulit putih...? Aku menjadi bingung melihatmu." "Aku separuh Indian, tuan." Jawab Loto sembari belepotan masih memakan lahap jagungnya. "Ayah angkatku Indian. Kedua orangtua kandungku sudah tiada sejak aku masih bayi. Aku dibesarkan olehnya sejak kecil. Mungkin aku mendapat tampilan ini karena sedari kecil hidup bersama mereka, para Acahualpa." "Oh, jadi kau dari Acahualpa...?" "Ya." "Siapa namamu anak muda? Mau kemana?" "Namaku Loto, Loto Royce Nicewood." Kata Loto sembari selesai menghabiskan satu jagung. "Aku mau pulang tuan. Perkampungan kami berada di Vehaaruio. Oh ya, ngomong-ngomong, terima kasih banyak tuan. Ini sangat enak." "Sama-sama." Kata pria itu lalu memacu kudanya untuk kembali berjalan. "Apa kau mau lagi...?" tawarnya untuk yang terakhir kali. "Tidak, ini saja cukup. Sekali lagi terima kasih tuan." Sebelum pria itu jauh, ia berpesan pada Loto agar berhati-hati. Pria itu mengatakan bahwa akhir-akhir ini terdengar kabar ada sekelompok koboy dengan anggota tujuh orang yang menyebut diri mereka The MagniSeven. "Kudengar mereka baru saja menjarah salah satu bank besar di Ginnie Folks. Apa kau tidak pernah mendengar namanya? MagniSeven? Katanya mereka sangat berbahaya anak muda. Kudengar mereka terlihat berkeliaran di sekitar sini hingga ke Amity, itu dekat dengan desamu Vehaaruion itu kan? Berhati-hatilah." Pesannya. "MagniSeven...? Tidak aku tidak pernah dengar." Jawab Loto. "Oh ya, tuan, anda siapa? Aku sampai lupa menanyakan nama anda." "Namaku Jon Nathan." Jawabnya. "Tapi istriku yang cerewet sering memanggilku Duck Rowley. Baiklah, aku izin pamit dulu." Pria itu melambaikan tangannya dan beranjak meninggalkan Loto. "Semoga kau sampai ditujuanmu nak. Sampai jumpa." Katanya. Loto tersenyum lalu mulai mengemas segala macam bawaannya. Loto kembali memanggul bawaannya dan berjalan puluhan kilometer untuk menuju Vehaaruio. Loto sempat singgah di Amity untuk beristirahat sejenak dan memesan makan siang. Ketika Loto singgah di salah satu tempat minum yang menyediakan makanan ringan, ia mendengar pembicaraan orang-orang disana. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang pernah didengar Loto. MagniSeven, yaa, Loto ingat si Jon tua tadi juga membahas tentang The MagniSeven. Loto bergeser sedikit, mendekati seseorang di sampingnya yang duduk tidak jauh darinya untuk sekedar bertanya, "maaf, permisi tuan." "Ya, ada apa?" "Kudengar kalian membicarakan MagniSeven atau apapun itu, memangnya siapa mereka...?" tanya Loto. "Kau berasal darimana? Nampaknya bukan berasal dari sini." "Aku berasal dari Vehaaruio." "Oh, dari sana." "Anda belum menjawab. Siapa mereka? The Magniseven," "Entahlah, kami tidak tahu siapa mereka." Sahut seorang lagi yang duduk di samping sebelah kiri Loto. Membuatnya harus menoleh ke arah yang sebaliknya. "Mereka katanya berasal dari Vegas, atau Phoenix. Sebagian lagi mengatakan mereka dari Los Petas di California. Yang jelas mereka saat ini tengah dibicarakan karena terkenal menjadi buruan para Sherif. Negara bahkan memasang tarif untuk setiap kepala dari mereka!" "Mereka begitu berbahasa...?" tanya Loto. "Tentu saja! Katanya mereka telah melakukan pekerjaan kotor dari yang paling kotor. Mereka biasa merampok bank, menjadi pembunuh bayaran, atau bahkan membunuh para politikus hanya karena mereka ingin saja. Bulan lalu saja mereka membunuh salah seorang Senator di Nevada dan menggantungnya di depan publik, tepat didepan kantor wali kota. Maka dari itu negara mewaspadai mereka dan memberi bayaran mahal untuk setiap kepalanya. Aku ingin sekali menghadapinya dan mendapatkan imbalan tersebut." Kata orang itu sembari menghentakkan dengan keras cangkir minumnya ke meja. Sepertinya setengah mabuk. "Kepala mereka ada tujuh. Kau kalikan saja, kau pasti akan kaya raya Hahahaha." Sahut seorang lagi di dekat Loto. Tawanya juga diikuti tawa-tawa lainnya dari dalam bar. "Kalau aku tidak akan berani jika bertemu dengan mereka. Sangat beresiko." Katanya. "Aku memang menghargai uang, tetapi tidak jika harus mengorbankan nyawa sendiri. Aku masih menyayangi hidupku. Aku tidak mau melakukannya walau dengan imbalan berapapun." "Hah, dasar chicken! Kalian semua pengecut." Timpal pria yang setengah mabuk. "Mumpung mereka terlihat di sekitar sini. Tunggu apa lagi?" Loto hanya diam seraya menengguk minuman air putih tanpa alkoholnya sambil memperhatikan segala keributan dan obrolan-obrolan penuh tawa dari para pria pemabuk di sekitar bar tersebut. Mereka juga menertawakan Loto yang memasuki tempat minum tapi hanya memesan air putih saja dengan sedikit makanan ringan. Mereka tidak tahu bahwa Loto dididik bahwa yang memabukkan dan mengandung alkohol adalah haram untuk diminum. Loto melanjutkan perjalanan. Hampir menjelang sore ia sudah tiba di dekat Vehaaruio. Wajahnya sumringah. Hatinya berdegup kencang. Semua jalanan dan lingkungan sekitar ini sungguh familiar baginya. Ia tahu bahwa rumah hanya tinggal beberapa langkah saja. Ingin rasanya Loto berteriak. Memanggil nama Nihima. Tetapi dia ingin kedatangannya menjadi kejutan. Loto sangat ingin melihat wajah terkejut Nihima saat melihatnya. Dengan perlahan Loto berjalan memasuki kawasan depan pemukiman Acahualpa, Vehaaruio. Gundukan bukit dimana rumahnya berada sudah terlihat dari sana. Tetiba perhatian Loto teralihkan pada salah satu nisan. Nisan dari sebuah makam yang berada tepat di samping pintu masuk desa Vehaaruio. Loto tidak mengenali makam siapa itu. Tentu saja dia tak mengenalinya, selama 4 tahun ini jelas banyak yang berubah. Tapi nisan dan makam itu terlihat masih sangat baru. Seakan baru saja ada yang dikuburkan disana. Wajah Loto masih nampak biasa. Tak ada sedikit pun sangkaan atau dugaan yang dimilikinya. Tetapi nyali Loto untuk memberi kejutan pada Nihima seakan sirna. Menciut entah kenapa. Loto merasa dirinya hanya perlu melihat Nihima, memeluknya lama, dan memastikan Nihima baik-baik saja. Itu sudah cukup bagi Loto. Benar-benar cukup baginya. Loto langsung bergegas menuju kediaman Nihima. Tetapi tidak ada siapapun yang dilihatnya ada disana. Wajahnya semakin pucat pasi. Loto memanggil-manggil Nihima. Dengan kegelisahan yang memanjat sanubari Loto turun kembali untuk memeriksa desa. Kali saja Nihima sedang berada di sana. Loto mendapati tatapan miris penuh kasihan dari beberapa anggota suku yang dilihatnya. Alih-alih ia disambut oleh kehangatan dari warga desa, Loto malah ditatap seakan-akan ada awan hujan yang sedang berada diatas kepalanya. Beberapa orang Acahualpa mendekatinya. "Kau sudah pulang?" tanya seorang wanita tua. Tatapannya penuh kesedihan. "Dimana Nihima?" tanya Loto. "Humehi, bibi Souvkivva dimana Nihima?" Loto semakin gelisah tatkala ia melihat mata si tua Souvkivva yang mengeluarkan sedikit air mata. Sementara pria yang lainnya menyentuh pundak Loto. Kesenyapan tanpa suara ini sudah memberitahu Loto segalanya. Dengan hati hancur dan kaki yang gemetar Loto seketika berlari ke sebuah makam tanpa nama di depan desa yang tadi ia lihat. "Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak. Jangan," gumamnya. Sesampainya disana, dengan nafas yang sesak Loto memperhatikan baik-baik nisannya. Memang tanpa nama, karena ini merupakan kebiasaan warga Indian. Tapi walaupun tanpa nama, ukiran sepenggal ayat suci Al-Qur'an dalam bahasa surga Quopas menjelaskan semuanya. Nisan yang diukir sendiri oleh Nihima untuk menjadi penanda di pekuburannya kelak. Loto tertunduk lemas dihadapan makam Nihima. Bukan senyum dan sapaan Nihima yang ia terima, tetapi hanya makam dingin dengan nisan tanpa nama. Di nisan itu bertuliskan penggalan Ali Imran ayat 185, ditulis dalam bahasa Quopas : Avekayuu, Ruhikao Vakeshu Obomari. Yang artinya : Setiap yang bernyawa, pasti akan merasakan mati. Loto meletakan wajahnya ke nisan, dan berteriak sangat keras. "Nihiiiimaaaaa....!!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN