Sesal dan Kesal

1684 Kata
Loto terbenam dalam kesedihan yang begitu dalam. Dunianya seketika runtuh dalam sekejap. Nisan yang sekarang tepat berada di depannya adalah lubang kepedihan hidup yang takkan bisa ia tutupi hingga kapanpun. Luka yang takkan pernah kering, penyesalan yang takkan pernah habis, dan mimpi buruk yang menjadi kenyataan dalam situasi terjaga. Selama lebih dari dua jam Loto termenung di depan pekuburan Nihima, tanpa ekspresi laksana dirinya lah yang sudah mati disana. Taburan bintang indah yang menghiasi langit malam hari tepat di atas kepala Loto tak bisa mengobati kerinduan dan kehilangannya terhadap sosok Nihima. Wajah Loto begitu kusam, semakin kusam dengan deraian airmata yang sudah nampak mengering berpuluh-puluh menit yang lalu. Sesekali tangis itu kembali pecah dalam senyap, membuat Loto harus memegang erat nisan Nihima dan menyandarkan kepalanya di depan nisannya. Sangat berat rasanya harus kehilangan sosok panutan sekaligus orangtua yang paling dikasihi dalam hidup. Apalagi Loto belum sekalipun berjumpa dengan Nihima selama 4 tahun lamanya. Sungguh puasa perpisahan yang sia-sia tatkala waktu berbuka tidak mempertemukan keduanya. Loto masih duduk termenung berjam-jam kemudian, tak sedikitpun mau beranjak dari nisan Nihima. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya saat ini. Loto duduk bersila, penuh penyesalan dan perenungan yang dalam. Tatapan kedua matanya nampak kosong lagi sembap, akibat airmata yang terus mengalir lalu mengering, lalu mengalir lagi. Loto tersentak, dirinya bergeming dan langsung merogoh kantong celananya, bersegera mengambil sesuatu dari dalam sana. Tangan Loto mengeluarkan kitab suci Al-Qur'an kecil hasil tulisan tangan Nihima yang selalu dia bawa kemanapun ia pergi. Loto kembali menekuk bibir dan matanya kembali sendu, airmatanya kembali akan turun laksana hujan yang tak terbendung. Tangan Loto memegang erat kitab suci berukuran kecil dengan tiga bahasa tersebut. Hanya inilah satu-satu benda berharga yang diwariskan oleh Nihima padanya. Satu-satunya benda yang mengikat dan terasa masih menghubungkan diri Loto dengan sosok Nihima. Loto membuka Qur'an saku tersebut dengan tergesa-gesa namun membuka lembaran demi lembarannya secara perlahan. Tulisan tangan Nihima terukir dengan jelas. Kitab suci tulisan tangan itu seperti jati diri Nihima sendiri. Kitab suci Al-Qur'an yang Nihima tulis dan buat selama bertahun-tahun masa hidupnya. Karya sekaligus amaliyah Nihima yang akan terus ada. Sungguh dedikasi yang luar biasa yang dituangkan Nihima dalam setiap tindakannya selaku salah satu umat beragama. Dengan tarikan nafas panjang, Loto membaca lafadz Arab dari salah satu surah yang ada disana; surah Yasin. Loto akhirnya menggunakan satu-satunya warisan peninggalan Nihima, untuk mendoakan dan memberi kelapangan jalan bagi arwah ayah tercintanya. Agar jalannya lapang dan bertabur bunga menuju alam peristirahatan yang abadi. Dengan merdu Loto membacakan surah Yasin secara fasih. Gema ayat-ayat berbahasa Arab dengan langgam khas suku Indian memecah kesunyian langit malam Amerika. Benua itu, dunia baru itu, terasa bergetar oleh bacaan-bacaan indah Loto yang membawakan firman-firman agung Tuhan semesta alam. Kalam suci dari yang maha tinggi. "Shadaqollahul Adzim," Loto telah selesai membaca ke 83 ayat dalam surah Yasin. Takziah ayat-ayat suci Al-Qur'an sebagai bakti terakhir Loto kepada sang ayah. "Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosamu, dan menerimamu disisi-Nya Papuu," gumam Loto. Papuu merupakan panggilan sayang Loto untuk Nihima yang artinya sama dengan ayah atau papa namun dalam bahasa yang lebih halus atau sopan menurut bahasa Quopas. "Tenanglah disana Papuu. Engkau telah kembali dalam dekapan hangat sang pencipta. Innalilahi Wa Innailaihi Rojiun. Kita yang berasal dari-Nya, akan kembali kepada-Nya." Airmata Loto tak terasa kembali mengalir namun kali ini Loto cepat-cepat menyapunya. "Terbanglah tinggi burung arwah, kepakkan lebar sayap-sayapmu. Cakrawala keabadian telah menyongsongmu di ujung sana. Hinggaplah pada ranting-ranting pohon kasih sayang yang kau sukai. Burung angin akan selalu mengepakkan sayapnya, mengembuskan angin-angin doa yang takkan pernah terputus untukmu yang ia sayangi. Selamat jalan, Nihima." Loto berdiri, sejenak menatap nisan Nihima dengan nanar. Tak ingin rasanya ia beranjak dari sana. Tapi Nihima menurutnya tidak akan suka jika melihat dirinya larut dalam kesedihan yang berlarut-larut. Setelah puas menatap nisan Nihima, dan menyentuh ujung nisan dengan tangannya, Loto pamit pada Nihima untuk kembali ke desa Vehaaruio. Kebetulan Loto juga penasaran akibat sakit apa sehingga Nihima meninggal dunia. Ya Loto sadar bahwa takdir bisa saja menjemput Nihima kapanpun apalagi diusianya saat ini. Akan tetapi walau sudah tua renta, Nihima yang Loto kenal sangat enerjik, tak kenal lelah dan selalu semangat menjalani hari. Usia tidak pernah dijadikan Nihima sebagai halangan untuk menjalankan setiap tugas-tugas dan aktivitasnya. Loto kembali memasuki desa Vehaaruio, berjalan seperti orang mati melewati rumah-rumah tenda warga desa dan jalan setapaknya. Beberapa orang mulai mendekati Loto, menyentuhkan tangan mereka ke pundak lelaki yang baru saja kehilangan ayahnya. Orang-orang itu seperti ingin mengatakan sesuatu pada Loto, terutama wanita tua yang tadi dipanggilnya Anche (bibi) Souvkivva. Loto hanya mengangguk dan menyingkirkan tangan-tangan kepedulian yang menyentuh pundaknya. Loto belum ingin bicara dengan mereka, warga desa yang ia kenal yang merupakan kerabatnya. Loto hanya ingin berjalan pulang dulu ke rumahnya di atas bukit sana. Dengan tubuh terhuyung dan lemas tak berdaya, Loto melangkahkan kaki-kakinya menapaki bukit dimana rumah mereka berada. Ketika Loto melangkah, salah satu kakinya tak sengaja menginjak selongsong peluru. Loto menundukkan sedikit kepala seraya memicingkan mata, melihat benda apa yang baru saja diinjak kakinya. Loto mengambilnya dengan perlahan. Sebuah kuningan yang merupakan selongsong senjat4 api berkaliber 44, mungkin berjenis pistol Colt Walker. "Peluru...?" gumam Loto. Didekatkannya selongsong tersebut ke hidungnya untuk diendus. Aroma bubuk mesiu masih tercium segar menyengat di hidung Loto. "Ini terasa masih baru. Bubuk mesiunya masih bisa kucium." Ada hal aneh dan janggal yang dirasakan oleh Loto. Dirinya heran kenapa bisa sampai ada selongsong peluru di jalan setapak menuju ujung bukit, dimana jalan setapak itu bukan jalanan umum yang biasa dilalui melainkan jalan satu-satunya menuju rumah Nihima. Loto mempercepat langkahnya menuju rumah. Sebelum memasuki kediaman mereka, sekali lagi Loto menemukan satu selongsong peluru, kali ini begitu dekat dengan rumah mereka. Tepat berada di teras depan pintu masuk rumah Nihima. Loto kembali memungut selongsong yang ia temukan, tapi kali ini ujung matanya menangkap cipratan merah kering pada tanah di dekat pintu masuk rumah. Seperti cipratan darah. Loto terperanjat. Matanya coba menelusuri satu persatu bercak merah yang mulai ia temukan yang menggiringnya masuk ke dalam rumah. Ketika di dalam rumah, Loto membelalakkan matanya. Dia baru saja menyadari itu ada disana. Sedikit bercak darah segar yang sudah mengering. Benar-benar bekas cipratan darah. Seketika Loto berlari keluar tanpa pikir panjang. Dia harus menemui salah satu kerabat di desa. Loto ingin meminta penjelasan atas sebab dan alasan kematian ayahnya Nihima. Ketika menuruni bukit dan tepat berada di bibir curam antara jalan setapak dan pemukiman, Loto sudah dihadang oleh wanita tua yang ia kenal. Beberapa lelaki seumurannya juga mendampingi wanita tua itu. "Anche Souvkivva, tolong jelaskan, bagaimana Papuu Nihima meninggal? Apa penyebabnya? Tolong jawab aku!" Loto meminta sebuah jawaban. Dengan tatapan sedihnya, Souvkivva tua berjalan mendekati Loto, dan perlahan memeluknya. "Kau harus sabar." Gumamnya. "Kami semua sudah berusaha menghentikan mereka, tapi kami gagal. Bibimu ini ingin meminta maaf, kami tidak bisa menyelamatkan Nihima. Koboy-koboy jahat itu mendatanginya, mencari sesuatu yang Nihima ketahui, tapi Nihima tidak mau memberitahukan apa yang mereka cari. Lalu, lalu kemudian ... salah satu dari mereka, mulai menembak Nihima." Tutur Souvkivva, menjelaskan kembali kronologi kematian Nihima yang sebenarnya enggan untuk diingat olehnya. "Di tembak?" gumam Loto dengan getir. "Maksudnya ... Nihima dibunuh?" Seorang lelaki tua dengan kunciran ekor kuda seperti Nihima mengangguk, "benar nak Loto." Souvkivva tua kembali memeluk erat Loto sambil menangis. Sementara Loto terdiam di tempatnya berdiri, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ayahnya meninggal karena dibunuh? Seseorang telah menembaknya? Luka kehilangan Loto kini bertambah perih setelah mendengar penyebab dibalik kematian Nihima. Souvkivva menjelaskan dengan detail kejadian tadi malam. Sekelompok Koboy datang ke desa mereka, bertanya dimana kediaman Nihima. Awalnya mereka terlihat sopan, tapi karena warga desa mencurigai gelagat kelompok itu, mereka tidak memberitahu dimana Nihima tinggal. Sampai beberapa dari mereka berlaku kasar terhadap warga desa dan memaksa mereka memberitahu dimana rumah Nihima. Salah satu dari mereka, berperawakan agak jangkung dan sangat tinggi, menyandera salah seorang anak perempuan keluarga Phanihas berusia 8 tahun dan mengancam akan menembak kepalanya jika warga desa masih tidak mau memberitahu dimana rumah Nihima. Dengan sangat terpaksa akhirnya mereka menunjukan dimana Nihima berada. Kelompok tersebut lalu datang menghampiri Nihima di bukit tempat kediamannya. Mereka mendengar keributan di dalam kediaman Nihima. Salah satu dari Elder Acahualpa yakni rekan dan teman akrab Nihima secara diam-diam naik ke atas bukit ke tempat kediaman Nihima untuk mendengarkan apa yang terjadi disana. Para Koboy itu menanyakan sesuatu pada Nihima namun ia tidak mau memberitahukannya sampai salah satu dari mereka melayangkan beberapa kali tembakan kepada Nihima yang mengenai perut sebelah kirinya. Salah satu Koboy lalu kembali turun ke desa dan menyeret anak perempuan yang tadi mereka sandera, kali ini mereka menyanderanya tepat di depan Nihima, agar Nihima mau buka mulut dan mengatakan lokasi benda yang sedang dicari oleh mereka. Warga Vehaaruio termasuk Souvkivva tua tidak tahu lagi apa yang terjadi. Satu kali tembakan kembali meletus dan para Koboy itu seketika pergi meninggalkan tempat kediaman Nihima. Beberapa warga desa langsung bergegas menghampiri rumah Nihima untuk melihat keadaan Nihima dan gadis kecil yang mereka sandera. Gadis kecil itu baik-baik saja, tapi demi si gadis, Nihima menyerahkan nyawanya. Selain di perut, Nihima juga mengalami luka tembak di bagian d**a kirinya. "Kenapa ini bisa terjadi?" gumam Loto masih tak bisa berkata-kata, "siapa yang tega melakukan itu kepada Papuu Nihima? Apa salah ayahku? Siapa mereka semua ... Anche...?" "Entahlah nak. Setahu kami dari dulu Nihima kita memang tidak pernah punya musuh. Dia pecinta kedamaian, rasanya tidak adil dia harus pergi dengan cara seperti ini. Aku sendiri tidak paham, mereka tiba-tiba saja mengunjungi desa ini, dan langsung mencari Nihima." "Ya, kami tidak mengenali siapa mereka." Sahut pria tua di sebelah Souvkivva. Dialah salah satu Elder yang menguping percakapan antara Nihima dan para Koboy tersebut. "Mereka adalah kompl0tan Koboy kriminal, jumlahnya ada sekitar 7 orang dengan salah satu anggotanya adalah anak yang masih sangat muda, dan satu lagi seorang wanita. Ya, hanya itu saja yang kuingat." Loto mengepalkan erat kedua tangannya. Loto baru mengetahui bahwa ayahnya tidak meninggal begitu saja melainkan dibunuh. Ayahnya direnggut darinya! Dan yang paling menyedihkan Loto, tragedi itu baru terjadi tadi malam. Loto merasa sangat menyesal dan tak berdaya. "Andai saja aku bisa pulang dengan cepat, mungkin ini tidak akan terjadi." Gumam Loto. Kini hanya ada sesal dan kesal yang Loto rasakan untuk kematian Nihima.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN