Musik Kematian

1803 Kata
Keesokan harinya Loto kembali melanjutkan perjalanan. Dia benar-benar memacu kudanya dengan sangat kencang, seakan hari ini ini Loto tak terhentikan. Dia seperti dikejar batas waktu. Perjalanan menuju Mimahiavo memberinya dua tujuan sekaligus. Memenuhi amanat Nihima untuk mencari dan menemukan Wakalyapi Langit lalu mengamankannya, dan juga untuk memburu para Koboy yang sudah melenyapkan nyawa Nihima. Perjalanan ini tidak hanya sebuah pemenuhan tugas, melainkan perjalanan Loto berjibaku dengan dirinya sendiri. Perjalanan yang tidak mudah bagi Loto karena mencampur aduk semua perasaaannya. Kehilangan, kesedihan, kebencian, rasa ingin balas dendam dan perseteruan ego dalam diri, semua menjadi satu kali ini. Semakin Loto berjalan dan semakin ia merasa dekat dari tempat tujuannya, semakin Loto tak bisa mengenali lagi jati dirinya. Dia seakan lenyap ditelan sosok baru. Sosok yang jauh lebih egois dan menuntut. Sosok pembalas dendam. Loto seperti menemukan sisi lain dari dirinya dalam perjalanan memburu Magniseven. "Akan kutemukan kain Kisa itu." Gumam Loto di atas El-Doramu yang sedang berlari kencang. "Pasti akan kutemukan mereka semua. Semoga saja ketika sampai disana, aku akan bertemu dengan para Koboy itu. Dan kalau pun mereka tidak kudapati disana, aku akan tetap mencari mereka walau sampai ke ujung dunia sekalipun. Takkan kubiarkan mereka semua hidup tenang. Takkan kubiarkan semua tujuan mereka tercapai. Apapun yang mereka cari, aku harus mendapatkannya lebih dulu. Tak boleh kubiarkan Magniseven menemukan selimut Kisa tersebut. Aku harus lebih dulu tiba disana dan menemukannya, selepas itu baru aku akan mengurus mereka semua." Loto sembari memikirkan kenapa kain Kisa atau Wakalyapi Langit itu begitu berharga untuk dijaga. Nihima memang sudah menjelaskan bahwa kain Kisa itu tidak boleh jatuh ke tangan yang salah, ke tangan orang-orang jahat. Oleh karena itulah sejak dulu Nihima menyembunyikannya secara rahasia dengan begitu apik dan sekarang menyerahkan tugas itu kepada Loto untuk diemban. Tapi Loto masih belum bisa memikirkan, apa istimewanya kain selimut itu. Lalu apa tujuan MagniSeven sehingga berambisi untuk mengambilnya. Loto hanya bisa memikirkan bahwa MagniSeven tidak mengetahui apa-apa tentang kain Kisa itu, tidak seperti yang Nihima ketahui. Bahwa MagniSeven hanya berpikir kain Kisa tersebut adalah benda artefak langka yang akan berharga mahal jika dijual. Mereka hanya ingin mendapatkannya lalu menjualnya. Itulah yang dipikirkan oleh Loto saat ini. Loto hanya tidak mengetahui kalau MagniSeven juga mengetahui sesuatu yang istimewa dari kain Kisa tersebut. "Ayo, El-Doramu. Kita harus sampai disana lebih dulu. Hiyaaaa!" El-Doramu dengan mantap melaju membelah angin seakan dirinya sudah menyatu dengan emosi dan perasaan hati Loto saat ini. Sang burung angin itu—Lotomo—terbang dengan kencang. Matanya tajam memburu para mangsa yang akan dimakannya hidup-hidup. *** Sementara keenam kuda juga sedang melaju dengan sangat cepat ke arah tujuan yang sama. Keenam kuda yang masing-masing dikendarai oleh Magniseven. Hanya Zeta dan Piscar Lowie yang berada dalam satu tunggangan yang sama. Zeta di depan memacu kudanya dan Lowie di belakang. Terkadang juga sebaliknya, Lowie yang akan di depan memacu kudanya dan Zeta yang berada di belakang. Piscar Lowie sudah seperti adik bagi Zeta. Dia yang paling muda, dan Zeta selalu menyebutnya adik organisasi atau saudara termuda MagniSeven. Piscar Lowie kehilangan kudanya sebelum mereka tiba di Vehaaruio. Kuda Lowie sakit dan mati di Rosedall, Texas. Semenjak itu Lowie dan Zeta selalu menunggangi satu kuda. "Hari ini tak ada jeda istirahat, besok siang kita sudah akan sampai di perbukitan itu, Mimahiavo." Ucap sang ketua Kadeto Marvis Joshua. "Ya, kita sudah banyak menghabiskan waktu di Memento dan Reagel Town." Sahut Falcon Zoldack selaku wakil ketua. "Tak boleh membuang waktu lagi." "Jadi tak ada istirahat makan?" tanya Mackie Jacko. "Tidak ada, apa kau tidak dengar perintah ketua." Jawab Zeta. "Kau tahan saja Jacko, siapa tahu sesampainya disana nanti kau akan menjadi kurus." Ledek Konaki Mabble Rodrick. Masih menghisap rokok bahkan ketika mengendarai kuda. "Kurang ajar kau Konaki!" Mackie Jacko mengeluarkan pistolnya dan langsung menembak ke arah Konaki tanpa pikir panjang. Sama sekali tidak berpikir dia adalah rekan atau teman. Beruntung Konaki berhasil menunduk. Namun peluru kecil itu melesat menghantam sebuah bebatuan kecil dan bebatuan tersebut seketika hancur lebur seperti dipasang sebuah detonator. Itulah keunggulan Mackie Jacko, yakni sebagai pembuat senjata dan amunisi tak biasa. Semua anggota MagniSeven yang lain dibuat kaget dan terkejut dengan aksi tak terduga Mackie Jacko. Falcon Zoldack dan River The Ontario tersenyum kecut ketika Jacko hampir membunuh rekannya sendiri Konaki. Zeta dan Lowie hanya menggelengkan kepala mereka. Sementara Kadeto hanya menoleh melihat ke arah ledakan. Tak ada satupun dari mereka berhenti melajukan kudanya. "Jacko, tahan dirimu." Ucap Kadeto. "Jangan membunuh rekan sendiri, apalagi kita saat ini sedang memburu hal yang penting. Simpan dulu semua kemarahanmu. Ada yang lebih penting." "Maaf ketua, aku tidak bisa menahan diriku. Si jangkung ini terus menerus berkata konyol." Konaki tertawa. "b*****h kau Jacko, salah sedikit bukan bebatuan itu yang akan meledak tapi kepalaku. Lihat saja, aku akan membalasmu nanti." "Akan kutunggu," sahut Jacko. "Sudahlah. Kalian seperti anak kecil saja, terus menerus berkelahi. Harusnya Lowie yang paling kecil dan paling muda disini yang bisa berlaku konyol seperti itu. Ini malah kalian berdua." Ucap Falcon Zoldack. "Sebentar lagi tujuan besar kita beberapa tahun terakhir akan bisa tercapai." Kadeto menoleh ke arah semua rekannya di belakang. Kadeto menyeringai. Ya, sebentar lagi. Dengan kain Kisa itu, aku akan bisa menggenggam dunia. Kita akan bisa mengambil alih seluruh negeri ini dan menguasainya. Waktu itu semakin dekat. Tujuan itu bukan lagi sebuah mimpi. Dengan kain suci itu, MagniSeven akan segera naik menuju puncaknya. Gumam sang ketua dalam benaknya. *** Di tempat lain Loto terpaksa harus singgah beristirahat. Dia juga perlu untuk mengistirahatkan kuda kesayangannya, selain Loto juga harus menunaikan Sholahah hariannya. Tak lupa amalan bacaan Qur'an yang selalu Loto lantunkan setiap kali selesai sholat. Hanya bacaan Qur'an yang mampu menenangkan gemuruh hati Loto. Dia merasa lebih dekat dengan Tuhan, kasih sayang Tuhan dan perlindungan-Nya. Dia tahu Allah tidak akan meninggalkannya apapun yang terjadi. Setelah membaca kitab suci, Loto kembali membuka lembaran kertas kuning yang berisi instruksi yang ditulis oleh Nihima menggunakan aksara atau bahasa Arab. Dengan seksama Loto kembali membaca apa yang ditulis oleh Nihima disana. "Ini peta menuju Elfort Mass," gumam Loto sembari mendekatkan sedikit salah satu dari lembaran tersebut untuk dilihat matanya. "Disini tertulis Mimahiavo memiliki tiga bukit besar utama. Bukti Nujate, Omima, dan Kovachu. Ketiganya adalah sebutan dalam bahasa Indian Shoshone dan Paiute yang memang banyak tinggal di Idaho." Loto mengenali bahasa Indian Paiute karena memang sebagian mereka juga mendiami Nevada Utara, sedangkan Acahualpa mendiami bagian selatan Nevada dekat Arizona. "Disini juga ditulis, Papuu Nihima menyembunyikannya di salah satu dari ketiga bukit tersebut yaitu Umiyma yang sama dengan Omima karena tertulis dengan lafadz Arab; Alif, Mim, Yaa dan Mim. Papuu memang tidak sembarangan menyembunyikan benda itu. Ayah Nihima membuat peta dan instruksi berbahasa Arab seperti ini yang jelas takkan bisa dimengerti oleh siapapun kecuali hanya olehku. Nihima sudah lama menyiapkan ini untukku." Gumam Loto. "Di bukit Omima sendiri dikatakan disini oleh Nihima memiliki 127 gua. Astaga banyak sekali! Dan Papuu menyembunyikan Wakalyapi Langit itu di salah satu guanya. Gua rahasia Elfort Mass." Loto kembali memasukan lembaran kertas tersebut ke dalam tasnya. Dia mengangguk pelan. Loto sudah tahu apa yang harus ia lakukan besok ketika tiba di Mimahiavo. Dengan instruksi dari Nihima yang begitu jelas, Loto dapat menemukan dimana letak Elfort Mass. Sebelum beranjak tidur Loto mengambil beberapa senjata yang ia miliki. Sebuah pistol purwarupa namun sangat canggih miliknya sendiri yakni Betelgeusse dan dua buah pistol revolver biasa yang ia rebut dari Sphinack bersaudara tempo hari. Loto memperhatikan pistol-pistol tersebut terutama Betelgeusse yang sedang ia pegang. Dalam hatinya Loto sedang bertanya-tanya. Apakah besok, dia akan menggunakan pistol-pistol tersebut? Akankah selain menemukan Wakalyapi Langit itu, dia juga akan menemukan para pembunuh Nihima? Karena Loto belum pernah serius memegang senjata sebelumnya, belum dalam artian sebenarnya yakni keseriusan untuk membunuh. Dirinya memang sudah sangat terlatih dalam hal menembak sejak usia 16 tahun tetapi itu hanya ia gunakan saat berburu atau ketika berlatih menembak saja. Loto tak pernah menggunakannya untuk memburu seseorang seperti yang biasa seorang Sherif atau Koboy lain lakukan. Beberapa hari ini Loto dipaksa melakukannya. Ketika dia menghadapi Sphinack bersaudara dan juga ketika para Koboy mengeroyoknya di Reagel Town. Tapi semua itu jelas berbeda ketika Loto memikirkan seandainya dia berhadapan dengan MagniSeven esok. Loto merasa dirinya takkan bisa menahan diri ketika dia dihadapkan pada para Koboy pembunuh Nihima itu. Pistol yang di pegang oleh tangannya saat ini, tiada lain hanyalah sebuah alat bagi Loto untuk menunaikan ambisi dan hasratnya, yakni pembalasan dendam atas kematian Nihima. Loto tidak pernah ragu menggunakannya jika itu menyangkut MagniSeven. Hingga detik ini Loto belum pernah sekalipun bertemu dengan MagniSeven. Namun kebencian Loto pada mereka semua tidak bisa dilukiskan. Api balas dendam telah menggelapkan hati dan penilaiannya. Semakin dekat Loto dengan tujuannya mencari kain Kisa itu, semakin besar pula dendamnya. Seperti sebuah neraca timbangan yang saling menyeimbangkan. Celakanya jika salah satu timbangan itu berat sebelah, maka Loto akan menerima apapun konsekwensinya. Loto sudah siap kehilangan nyawanya! Di malam yang penuh syahdu beratapkan taburan bintang di langit, Loto memainkan Shichevayak yang ia bawa dari Vehaaruio. Loto memetik dan memainkannya di kegelapan malam yang hanya diterangi oleh sinar rembulan dan kilauan cahaya api unggun. Alunan musik indah Shichevayak yang dipetik Loto mengisyaratkan bahwa tak ada yang tahu bagaimana nasibnya besok. Loto bisa saja kehilangan nyawanya, namun alunan musik indah itu juga memberinya suntikan kekuatan untuk dapat membalaskan dendam kematian Nihima. Alunan musik kematian yang ia rekam sendiri dalam ingatannya sebagai penghantar tidur. Sebelum tidur, Loto juga memperhatikan jubah kebesaran Nihima, Rurohje. Loto mendekatkan jubah khas Elder Acahualpa tersebut ke depan wajahnya dan menciumnya. Aroma Nihima masih melekat kuat disana. Dengan khidmat Loto mempersiapkan dirinya besok hari. Tekadnya semakin kuat dan ambisi balas dendamnya semakin membara. *** Keesokan harinya Loto kembali berangkat menuju pegunungan Mimahiavo. Dengan cepat dia melewati Churchill, Pershing dan kemudian Humboldt hingga ke perbatasan Utara Elko untuk menuju Idaho. Sedikit lagi dia akan sampai di kawasan Mimahiavo. Sedangkan kelompok MagniSeven, tanpa Loto ketahui ternyata sudah sampai lebih dulu di Mimahiavo mendahuluinya. Mereka bertujuh turun dari kuda mereka masing-masing. Berada di antara kontur alam berupa sungai, hutan dan pegunungan. MagniSeven berdiri berjajar, menyongsong udara Mimahiavo yang segar dan menyejukkan. "Kita sudah sampai. Disinilah kita, selangkah lagi menuju cita-cita besar." Ucap Kadeto. "Cepatlah! Takkan ada yang menghalangi kita untuk mencapai puncak kejayaan." Sahut Konaki. "Kekuatan besar itu ... disembunyikan di tempat seperti ini? Kakek tua Acahualpa itu membuat kita susah saja." Ucap Mackie Jacko. "Sungguh merepotkan untuk sampai kemari." "Hormatilah orang yang sudah mati." Sahut Zeta Chloe Jones. "Benar, kalau bukan berkat dia, kita takkan tahu dimana kain Kisa itu ia sembunyikan." Sahut Piscar Lowie tersenyum lebar. "Yah, walaupun kita harus memaksanya hingga membunuhnya." Zeta menatap Kadeto dengan tajam. Terlihat dari ekspresi Kadeto Marvis Joshua bahwa dirinya sedang menyambut impian yang sebentar lagi akan dapat ia raih. Sepertinya kau sudah bisa melihat impian dan cita-citamu sendiri, ketua. Aku juga hampir bisa melihat impian dan cita-citaku. Gumam Zeta dalam pikirannya seraya masih menatap Kadeto dengan tatapan tajam. Tatapan yang entah mengisyaratkan apa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN