Romadi, Bocah Pisang Goreng

1013 Kata
Hari semakin mendekati senja, mentaripun mulai tenggelam. Bocah tengil yang tak begitu menghiraukan terik mentari yang hari itu cukup panas untuk seusia dia yang seharusnya masih di rumah untuk istirahat. Waktu pulang sekolah bukanlah waktu yang tepat untuk keluar rumah dengan cuaca yang begitu panasnya. Apalagi ia tidak menggunakan alas kaki sandal. Tapak kakinya mungkin sudah tebal karena terbiasa tanpa alas kaki. Selepas dzuhur bocah ini harus membantu ibunya untuk berjualan gorengan yang sudah menjadi mata pencaharian keluarganya. Padahal saat itu ia baru saja pulang dari sekolah. Pekerjaan rumah (PR) dari guru yang seharusnya ia bisa lanjutkan dengan mengerjakannya tidak ia lakukan. Romadi lebih senang membantu orang tuanya berjualan gorengan. Ia lebih suka mengangkat bahan baku dan menyiapkan semua keperluan ibunya berjualan. Ia pikir ini lebih mengasyikkan dari pada berkutat dengan buku dan pensilnya. Tinggal di kota ini tidak seperti di kota lainnya di Indonesia. Kota Tarakan adalah sebuah kota berupa pulau yang dikelilingi oleh lautan. Kota ini juga dulunya disebut kota minyak. Dari sinilah mulanya para penjajah melakukan penjajahan karena tertarik dengan isi perut bumi kota Tarakan tadi. Dari yang semula tentara belanda sampai akhirnya tentara jepang pun juga ikut andil menjajah kota tarakan. Tapi itu dulu, sekarang kita ini sudah lebih modern. Orang orang yang tinggal di kota ini semua memiliki suku yang beragam. Kebanyakan adalah perantauan dari luar pulau. Awalnya memang dari program pemerintah yang memindahkan sebagian penduduk di pulau yang padat ke pulau yang masih jarang penduduknya. Jadi jangan heran bila kondisi penduduk asli sangat jomplang dengan orang pendatang yang mengumpulkan rezeki di kota Tarakan. Keluarga Romadi adalah salah satu pendatang yang berasal dari Pulau Jawa. Romadi yang biasa di panggil Didi oleh teman temannya sebenarnya sudah menjadi penduduk kota ini karena ia lahir di sini. Hanya kedua orang tuanya yang murni keturunan Jawa yang memang berasal dari pulau tersebut. Hanya dengan usaha gorengan, keluarga ini bisa di katakan sukses dalam berdagang. Keluarganya bisa membeli sebidang tanah yang cukup luas dan membangunnya menjadi beberap petak, termasuk dua rumah sewaan di sisi kiri dan kanannya. Apalagi lokasinya juga cukup strategis karena di belakang rumah yang terdapat sungai kecil yang menjadi satu satunya anak anak di sekitar rumahnya bermain air atau berenang. Di kalangan teman teman Didi adalah teman yang paling semangat dan rajin. Tak pernah sekalipun ia menolak jika di minta bantuan atau sekedar menemanin temannya. Bermainpun dia selalu taat aturan dan tidak banyak bicara. Jika berada di posisi bertahan saat bermain bola juga ia adalah seorang bek yang sangat tangguh. Semua lawan jika berhadapan dengannya pasti akan di libas oleh kakinya. Dari bentuk badan Didi memang termasuk anak yang sangat kuat. Persahabatannya dengan teman di kampung jarang terjadi konflik karena Didi adalah anak yang tidak mudah tersinggung meski kadang ia di bully. Begitu juga saat harus membully teman yang lain ia malah acuh tak acuh. Letak rumahnya yang sangat dekat teman teman di kampung membuat hubungan pertemanan mereka semakin akrab. Bisa mengenal Juna karena rumah mereka yang sangat dekat. Hanya tinggal selangkah ke sebelah rumah. Hubungan persahabatan mereka menurun dari kedekatan orang tua mereka. Didi juga yang mengajari Juna pertama kali bermain sepeda tanpa roda pendamping. Usia mereka selevel hanya untuk sekolah ia agak terlambat mendaftar karena keterbatasan dana. Alhasil ia berada di dua level di bawah Juna alias adik kelas. Tapi ia tak pernah ambil pusing dengan hal itu. Baginya sekolah tak sekolah tak ada bedanya, Didi tak repot memikirkannya. Ia tidak pernah mengharapkan imbalan jika di mintai tolong. Apalagi jika bersama temannya, Didi orang yang paling antusias bila ada kegiatan yang di lakukan rame rame dengan teman yang seusianya. Saat melihat orang lain sedang kesulitan tanpa di suruh ia akan menolongnya. Hal ini yang membuat ia jadi di senangi dengan teman temannya. Didi bukan anak yang mudah berpangku tangan apalagi jika membantu orang tuanya. Tanpa harus menunggu perintah ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang anak untuk membantu orang tuanya.  Kadang saat anak anak seusianya sibuk bermain ia malah standby di warung ibunya membantu melayani orang yang beli gorengan ibunya, meski sebenarnya ia tidaklah pintar dalam hal hitungan terutama soal kembalian uang. Di sekolah Didi bukanlah siswa yang istimewa dalam hal akademik. Nilai standarnya masih di bawah. Keaktifan saat jam belajar juga termasuk siswa yang pendiam. Meski sebenarnya ia tidak tahu dengan materi yang di ajarkan dengan gurunya. Walau tak pernah memulai keributan di kelas bila sedang tak ada pelajaran atau guru pengajar yang lagi sibuk meeting atau urusan di luar sekolah. Paling rajin dalam mengumpulkan tugas keterampilan tangan. Ia juga paling disiplin jika menyangkut soal sekolah. Kelemahan seorang Didi adalah ia agak telat dalam memikir. Memutuskan suatu hal kadang terlambat bahkan cenderung hanya ikut ikutan. Tidak mudah dalam menjalin sebuah hubungan. Sifat cueknya yang membuat dia tidak banyak memiliki teman. Kecuali yang memang sudah sering bertemu dan bermain dengannya. Satu SD bersama teman teman sekampungnya. Jadi ia tidak sulit untuk berteman di sekolah. Mulai dari Juna, Yuyung, dan Cecep, mereka semua satu sekolah hanya beda tingkatan kelas. Hanya Alex, Peyok dan Lingua yang beda sekolah, tapi masih tetangga sekaligus sahabat dekatnya. Meski nilai akademik rendah ia tak pernah naik kelas. Hingga jenjang tingkat menengah atas ia mampu menyelesaikan pendidikannya bersama adiknya, Cecep. Mempunyai adik kandung bernama Cecep yang kelakuan sangat beda jauh dengan Didi. Ia sering mengalah dengan adiknya menyangkut segala hal. Cekcok kecil dengan adiknya adalah hal biasa, tidak pernah ia larut berlama lama. Didi juga yang sering melindungi adiknya jika ada yang berani mengganggunya. Meski kadang ia salah mengambil langkah karena cara berpikirnya yang sering telat tadi. Hobbynya adalah mengutak atik sesuatu. Terutama soal mesin motor dan variannya. Karena hobby tersebut ia melanjutkan sekolah teknik selepas dari SD. Di sekolah menengah pertama (SMP – di tahun 1980an masih menggunakan nama Sekolah Teknik - ST) ia mulai mengenal tentang teknik mesin seperti apa. Bakatnya yang sering membongkar sepeda manual hingga sepeda motor milik orang tuanya membuat Didi jadi sedikit tahu bagaimana mengatur mesin yang benar meski itu belum begitu detail. Jika sudah di sibukkan dengan hobinya tersebut ia bisa lupa waktu. Kadang bisa seharian hanya mengutak atik hobby tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN