Ancaman Onel

1058 Kata
"Saya akan membunuhnya." Julia yang baru saja menutup telponnya, langsung tersentak dan mendelik marah pada Onel yang baru masuk ruangannya tanpa mengetuk pintu. Sudah begitu, Onel langsung menyentakkan tubuhnya ke sofa tanpa menunggu Sofia mempersilakannya duduk. Intinya, Onel hanya bertindak sesukanya, membuat Julia dongkol Julia menatap ke arah pintu yang sudah tertutup rapat, bertanya-tanya apakah saat Onel bicara seperti itu, pintu masih terbuka atau sudah tertutup sempurna. Semakin gemas Julia membayangkan kecerobohan Onel yang melontarkan pernyataan yang bisa saja menyudutkan dirinya kelak. "Kalau bicara tuh, hati-hati, B0d0h." Julia keluar dari kursi kerjanya, mendekati Onel dengan wajah bersungut. "Dua kali ini kamu bicara bunuh. Kalau di dengar orang bagaimana? Otak tu dipakai, Bukan buat muasin nafsu syahwatmu aja." "Gak ada yang dengar juga. Gak usah berlebihanlah." Onel justru balik emosi karena dibentak Julia bagaikan dirinya anak kecil yang sudah melakukan kesalahan besar. "Kalau pintu itu masih kebuka, kan pasti kedengar. Kamu b0d0h atau apa, sih?" "Argh! Br3ngs3k!" Onel yang gusar, semakin marah dengan apa yang Julia ucapkan. Ia memutuskan pergi saja dan mencari kesenangan. "Ke mana kamu?" tanya Julia, melihat Onel berdiri. "Bukan urusanmu." "Kamu masuk ke sini. Ngoceh gak jelas. Terus begini?" "Dari pada saya dapat omelan gak jelas. Lebih baik saya cari hiburan." Onel memutar tubuhnya dan bersiap beranjak. "Kenapa ke sini? Bukannya kamu harusnya ketemu sama Saskia dan beli kado untuk nanti malam?" "Ha? Baru tanya sekarang? Dari tadi sibuk ngomel aja kayak Nenek Lampir." "Kamu tinggal jawab apa yang ditanya, bisa, 'kan?" Julia mencoba mengecilkan suaranya. Julia sudah sangat dongkol dengan Onel sejak masuknya Onel ke ruangannya dengan cara tidak sopan. Namun, Julia kemudian sadar jika Onel adalah anak kecil di tubuh dewasanya, jika sudah ngembak, maka Onel akan bersikap amat sangat bodoh amat. "Kamu tidak bawel dan marah-marah, bisa, 'kan?" Julia mendengkus. Sebuah penawaran dan dirinya terpaksa menurut. "Oke. Duduk." Onel duduk dengan kasar. Wajahnya masam karena terpaksa meredakan kekesalannya sendiri. "Jadi..., kenapa tidak ke ruangan Saskia?" tanya Julia memperhalus nada bicaranya. "Sudah ada Juan." Onel memalingkan wajahnya, menghindari tatapan tajam Julia. Bukan hanya wajah yang ia palingkan, tetapi juga rasa malunya. "Kok, bisa?" "Mana saya tau. Saya datang, sudah ada Juan." Onel berdusta. Ia dengan sengaja menyembunyikan kenyataan kalau sebenarnya ia datang duluan dan terjadi keributan dengan Saskia, sampai kemudian Juan datang. Onel belumlah lupa bagaimana raut wajah Juan yang begitu mengerikan. Onel harus mengakui, ia tak memiliki keberanian besar berhadapan langsung dengan Juan. Dimata Onel, ada dari diri Juan yang begitu menakutkannya. Ketampanannya bukanlah sekedar tampan yang di dalamnya kosong. Justru ketampanan Juan terasa kuat karena caranya bicara dan menatap. "Dan kamu tidak melakukan apa pun?" tanya Julia gemas. "Bagaimana denganmu? Apa kamu sudah melakukan sesuatu pada Saskia? Kenapa dia gak pernah patuh sama dirimu?" "Saskia lain. Juan lain." "Apanya yang beda? Kalian bahkan satu rumah. Bisa-bisanya kamu tidak tahu kalau Saskia sudah memiliki lelaki dan bahkan bertunangan. Memangnya kamu di mana aja?" "Kenapa jadi numpuin semua ke saya? Kamu apa kontribusinya? Dua tahun bertunangan dan kamu tidak bisa menaklukan hatinya. Kamu bahkan tidak bisa mengambil perhatiannya? Ngapain aja kamu?" "Harusnya kamu juga berperan. Kamu kan yang inginkan pertunangan ini. Dengan alasan yang saya tidak tahu apa? Selain bahwa kamu ingin saya punya kedudukan kokoh dalam keluarga." "Apa yang salah kalau saya punya niat baik untuk itu, hah? Kamu itu laki-laki lembek. B0d0h dan gak punya ambisi. Gak punya masa depan." Onel menggeram dan mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Onel membeci Julia ketika kata-kata wanita itu terlalu pedas. Harga dirinya diinjak-injak sedemikian rupa, seolah Julia lupa bagaimana keduanya bisa beradu tubuh dalam setiap kesempatan, tanpa ada cacian. Onel bagaikan singa kalap. Tubuhnya langsung menerjang Julia yang duduk di sofa tunggal. Salah satu kakinya, menindih paha Julia dan salah satu tangannya mencekik leher Julia. Begitu ketatnya cekikan Onel, sampai-sampai Julia gelagapan, memegangi lengan Onel dengan kedua tangan. Pun begitu, Julia tak mengemis belas kasih ke Onel. Ia hanya menatap dalan mata Onel dengan tatapan menantang. Onel setengah terkejut. Tatapan Julia mengingatkan Onel akan tatapan Juan tadi di ruangan Saskia. Seperti ada kemiripan di antara keduanya. "Peringatan untukmu Julia..., Ini adalah kata-kata kasarmu terakhir untuk saya. Jangan pernah lupa, kamu dan saya adalah sekutu. Dan jangan juga lupa, kamu dan saya berbagi ranjang dalam setiap kesempatan. Kalau kamu pikir saya b0d0h, maka teruslah berpikir seperti itu. Tapi, jika saya tidak tahan lagi, saat itulah, kehancuranmu tiba." Onel melepaskan cekikannya dan berdiri menjauhi Julia, menenangkan dirinya sendiri yang hampir menikmati membunuh seseorang. Sedangkan Julia terbatuk-batuk sembari mengelus lehernya. Ia menatap tajam punggung Onel. Kedua matanya memerah dengan berkaca-kaca. Ia tidak menangis karena sakit, Julia menahan tangisnya karena malu juga marah. Julia malu karena sudah direndahkan. Dan julia marah karena tak bisa melakukan apa-apa. Onel berbalik menatap Julia. Seketika hatinya iba melihat kedua mata Julia yang sedikit merah dan berkaca-kaca. Onel mendekati Julia, mencoba memperbaiki apa yang sudah ia rusak. "Julia. Maafkan saya. Tadi itu saya...." Julia dengan kasar menepis tangan Onel yang terjulur dan berniat menyentuhnya. Dengan keangkuhannya yang sudah kembali. Julia berdiri. Keduanya berada dalam posisi terlalu dekat. Hinga Julia merasa sangat yakin bisa membalas cekikan tadi dengan cekikan serupa yang bahkan bisa lebih kuat lagi. Begitu dekatnya hingga Julia berharap di tangan kanannya ada sebilah pisau yang bisa ditancapkan ke perut Juan. "Keluar dari ruangan ini segera Onel. Karena saya berada pada kemarahan saya tertinggi. Dan saat ini, saya tidak peduli ancamanmu. Jika kamu berani berbuat nekat perihal hubungan kita, kematianmu menjadi hal terakhir yang mudah untuk saya lakukan. Dan kamu haru percaya itu." Onel bergidik dengan tatapan Julia yang memerah bagaikan mata iblis. Begitu gahar dan berapi-api. Onel juga ngeri dengan cara bicara Julia yang berintonasi apik dan bernada tegas juga dalam. Sebuah ancaman yang menyudutkan Onel. "Saya keluar. Maafkan saya. Saya akan membelikan kado spesial untuk Tante Soraya dan untuk Saskia." Onel memberikan janji manis dengan harapan Julia tak terlalu marah lagi. Sayangnya, ekspresi Julia tak berubah, dingin dan amarah. Onel tak bisa berbuat apa-apa selain berbalik dan keluar dari ruangan Julia. Setelah pintu ditutup. Tubuh Julia gontai. Ia merasakan dirinya berada di dekat kematiannya saat dicekik tadi. Anehnya ia tak takut sama sekali. Kemudian Julia berkesimpulan sendiri, mungkin, ketidaktakutannya karena ia pernah mengalami dicekik sebelumnya. Julia kembali ke mejanya dan mengambil ponselnya. Ia menghubungi seseorang yang ia kenal sebagai seorang profesional. "Halo.... Saya ingin kamu melakukan sesuatu lagi." "..." "Tidak. Tidak perlu membuatnya mati. Cukup membuatnya sadar, bahwa ia terancam." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN