Malu-malu

1557 Kata
Setelah kejadian di depan lift, baik Saskia ataupun Juan, sama-sama menjadi sosok yang aneh. Pendiam bagai kata-kata sudah tak dikenali lagi atau bahkan lidah sudah menjadi kelu hingga tak mampu mengeluarkan suara. Masing-masing juga sering kali mengalihkan pandangan ke arah berbeda. Dan jika tak sengaja bersirobok, keduanya akan cepat-cepat menatap ke lain arah. Seolah-olah adalah dosa jika saling bertatapan. Keheningan pun terus berlanjut sampai keduanya sampai di parkiran mobil khusus tamu. Juan yang sudah salah tingkah sendiri, akhirnya membuka pintu mobil tanpa melalui remot kontrol. Alhasil, karena ditarik paksa gagang pintu, alarm mobil pun berbunyi. Sontak keduanya menjingkat bingung dan bertingkah bagai orang yang belum pernah memiliki mobil. "Kok, bunyi?" taya Saskia heran bercampur panik. "Gak tau ini kenapa bunyi? Mana kekunci," keluh Juan yang memiliki kepanikan yang sama dengan Saskia. Juan tolah-toleh yang diikuti Saskia yang semakin bingung dengan keadaan. "Cari apa?" tanya Saskia gelisah. Bunyi alarm semakin membuatnya gugup. Apalagi dua orang satpam setengah berlari mendekati keduanya. "Kunci." Juan masih celingukan di lantai dan sekitar dengan cara yang tidak logika. "Kenapa Bu Saskia," tanya seorang satpam yang memiliki kumis tebal. Mimik wajahnya terlihat sama bingungnya dengan Saskia. "Kunci mobil hilang," jawab Saskia. "Kok, hilang?" Saskia menatap ke Juan, juga kedua satpam yang baru datang. Sedangkan Juan yang ditatap tiga pasang mata, seperti disentak ingatannya. Kunci mobilnya tidak pernah hilang, tetapi ingatannya yang menghilang karena kecanggungan yang tercipta akibat romantisme depan lift. Dengan senyum malu, Juan mengeluarkan kunci remot dari dalam saku dan mematikan alarmnya sekaligus membuka kunci utama pintu mobil. "Maaf. Tadi lupa." Saskia menatap Juan masam. Setengah dirinya agak malu karena kealpaan Juan, membuat dua orang satpam harus datang. Saskia juga ikut meminta maaf pada kedua satpan yang tersenyum penuh arti. Kedua Satpam memaklumi dan berlalu tanpa perasaan kesal. Justru keduanya menertawakan kecil atas kecanggungan pimpinannya bersama rekan prianya. "Menurutmu mereka ada apa-apanya, gak?" tanya satpam senior yang memiliki kumis. "Pasti, Pak. Keliatan kalau lagi malu-malu bingung gitu. Sampai kunci mobil aja lupa di mana," jawab rekan si kumis yang memiliki tubuh gempal tapi kekar. "Hahaha.... Kayak pengalaman aja kamu. Sampai sekarang aja masih jomlo. "Eh, emang iya, Pak. Kita kan kalau gugup dekat cekwek cakep, pasti lupa segala-galanya. Bingunglah. Salah tingkah pokoknya. Ya kayak temennya Bu Saskia itulah." "Berarti yang suka temennya Bu Saskia?" Satpam bertubuh gempal merenung sejenak. "Kayaknya dua-duanya saling suka." "Kok bisa?" "Wong, Bu Saskianya aja juga gak kepikiran di mana kuncinya. Padahal kan bisa aja bilang untuk periksa saku. Kayaknya lagi pada grogi." "Hahaha..., Semprul, bisa aja kamu." Tawa kedua satpam itu pun meledak renyah. Sampai kemudian si satpam berkumis, menoleh ke belakang dan mendengarkan decit mobil tamunya Saskia. Bergegas ia dan rekannya kemabli ke pos untuk membukakan palang. Tamu Saskia yang ini dinilai si kumis sebagai lelaki yang ramah. Karena selalu mengangguk dan memberikan senyumnya. Berbanding terbalik dengan satuny. "Tapi kan Bu Saskia sudah bertunangan sama Pak Onel. Sayang sekali...," gumam satpam berkumis. "Eh!" Si satpam bertubuh gempal tersadar sesuatu. "Bukankah Pak Onel sudah datang duluan, ya? Kok, malah belum keluar, ya? Lah, Bu Saskia malah keluarnya sama yang ganteng tadi." "Ahhh!" Satpam berkumis mengibaskan tangan. "Kerja! Bukannya ngerumpi! Kalah itu emak-emak di Kelurahan." "Lah..., Bapak duluan yang mulai," ucap si satpam gempal sembari geleng-geleng kepala. Ketika kedua satpam saling bergunjing lucu dan menyebar ke mana-mana, di dalam mobil Juan, justru kesenyapan berulang menguasai mobil. Masing-masing berkutat pada kebingungan akan yang sudah terjadi. Bingung mau apa. Bingung mau bicara apa. Bingung mau bagaimana. Yang lebih merasa kagok adalah Juan. Ia terus merutuki diri sendiri yang sudah kurang ajar memegang kedua pipi Saskia yang selembut bayi. Tak hanya memegang, tetapi juga membelainya. Tak hanya membelai, tubuhnya beraksi nakal dan kepalanya terus berteriak, meminta Juan untuk merabai juga bibir Saskia. Terserah dengan apa. Dengan jemarinya atau dengan bibirnya, yang jelas dirinya yang dalam, ingin merasakan bibir Saskia. "Ahhh...!" Juan mendesah kasar, membuat Saskia yang sedari tadi juga bergulat dengan perasaan barunya, menjadi terkejut. "Kenapa? Ada apa?" Saya pusing! Saya pusing karena kamu! "Tidak. Tidak ada apa-apa." Jawaban yang berbeda dengan apa yang sudah diteriakkan Juan dalam hati. "Oh...." Saskia menjilati bibirnya dan kembali menatap ke jalan. Jantungnya tak berhenti berdegup lebih kencang, membuat Saskia pingin berteriak. Bayangan Juan yang tiba-tiba menangkup kedua pipinya, membuat Saskia panas dingin. Jemari Juan terasa bagai perisai di wajahnya. Tak hanya melindungi, tetapi juga menghangatkan. Dan gilanya, Saskia ingin lebih. Kini ganti Saskia yang mendesah. Tak sekeras Juan, namun cukup membuat Juan terkejut. "Kenapa? Ada apa?" Pertanyaan Juan seolah membeo pertanyaan Saskia sebelumnya. "Tidak. Tidak ada apa-apa." Dan Saskia menjawab serupa jawaban Juan. "Oh...." Juan bereaksi lagi serupa Saskia dan kembali serius menatap ke depan. Tiba-tiba Saskia dirundung kesal teramat sangat. Perasaan tak nyaman yang menguasai dirinya membuat Saskia lemah. Apa yang dilakukan Juan tidak benar, tetapi anehnya justru terasa benar. Saskia ingin meluruskan sesuatu, tetapi kemudian tidak tahu apa yang harus diluruskan. "Saya mau bicara." Juan dan Saskia sama-sama bersuara di saat salah satunya ingin mengutarakan duluan. Ini menjadi kecanggungan yang entah sudah keberapa kalinya. "Kamu duluan." Dan kemudian masing-masing justru tidak ingin menjadi yang pertama bicara. Saling tunjuk untuk kemudian menjadi yang terakhir bicara. Juan menghea napa. "Ladies first." "O..., diskriminatif sekali. Memangnya apa-apa harus selalu perempuan duluan?" tanya sengit Saskia. "Lho? Apanya yang salah?" "Salah-lah. Kenapa harus ladies first? Kenapa bukan man fist?" "Ya..., karena itu bentuk kesopanan. Penghargaan." "Atau ujian," sela Saskia. "Ujian...?" "Iya. Kamu sedang menguji saya. Kamu ingin tahu apa yang saya utarakan duluan, baru kemudian kamu menimpali. Jika ucapan saya setara denganmu, kamu akan merasa puas. Jika ucapan saya tak setara denganmu, kamu akan menjatuhkan saya." "Saya gak berpikir ke sana." "Lalu kenapa harus wanita duluan?" "Kan tadi sudah saya jawab. Itu adalah bentuk kesopanan." "Itu hanya argumenmu saja, 'kan? Pembelaan diri." Juan menarik napas. Dia memilih diam saja. Namun, sikap diam Juan, justru membuat Saskia kalang kabut. Ia tak suka jika Juan mengabaikannya. Harusnya ini menjadi keributan yang bisa membuat Saskia melupakan kejadian depan lift. "Kenapa diam?" sergah Saskia. "Apa yang mau saya tanggapi?" "Ya, apa aja? Terserah. Pokoknya kamu bicara." "Oke. Kita akan ke mana? Kita akan membeli kado untuk Tante di mana?" Juan memilih tak meneruskan percakapan. Karena akan menjadi perdebatan yang sengit. "Terserah." Saskia langsung melengos dan memalingkan wajah menatap ke sisi luar jalanan. "Bener, nih, terserah saya?" Saskia diam tak menjawab. "Ya, udah. Kalau terserah saya, jangan protes nanti, sampainya di sana. Oke?" Saskia bergeming dengan kuat. "Saya anggap oke." Juan tersenyum antara lega juga senang. Kemarahan yang dilontarkan Saskia, justru adalah bara yang mencairkan kekikukan yang tengah berlangsung. Setidaknya Juan mulai bisa bersikap jernih lagi. Apa yang dirasakan Juan sebenarnya pun dirasakan Saskia. Sesuatu yang menggumpal di dalam diri, seketika menguap setelah kata-kata diucapkan secara menggebu. Ada kelegaan tersendiri. Juan membawa Saskia ke pusat perbelanjaan paling mewah. Sempat Juan melirik ke arah Saskia sesaat sebelum masuk ke lorong parkir dan kembali tersenyum karena melihat Saskia merapikan diri. Tanda jika Saskia tidak protes alis setuju. Setelah mobil terparkir tepat di lantai tiga, Juan keluar duluan dan baru bergegas membukkan pintu untuk Saskia. Gadis itu keluar mobil dengan wajah masam, tetapi kedua bola mota sempat Juan sengit. Juan belum bergeser dari tempatnya berdiri, membuat Saskia yang berada di antara mobil Juan yang terbuka, mobil orang lain di sisinya, dan Juan di hadapannya, tak bisa berkutik. "Apa? Saya mau masuk!" bentak Saskia yang kembali kebat-kebit karena Juan menatapnya sedemikian rupa. Andai ada celah berlari, Saskia ingin berlari menjauh. Juan terasa sebagai ancaman baginya. "Saya mau meluruskan kejadian yang tadi." Saskia diam. Berdebar-debar memanti kalimat Juan yang selanjutnya. "Apa yang saya sampaikan ke kamu, bukanlah main-main. Itu serius. Itu semacam janji saya padamu. Dan kamu gak perlu bertanya kenapa saya harus begitu. Dan.... Perihal saya menyentuh pipimu.... Mmm..., anggap saja itu latihan." "Ha? Latihan?" Juan mengangguk dengan senyum geli. "Kita kan tunangan. Akan aneh kalau tidak ada kemesraan yang dipertontonkan. Iya, bukan?" Juan kemudian menutup pintu mobil dan mengulurkan tangan ke Saskia. "Mungkin memegang pipimu adalah bentuk latihan tercepat. Mari kita mulai dari yang teringan. Berpegangan tangan." Sebagian dari diri Saskia bersorak senang. Meminta Saskia untuk menyambut tangan Juan. Kembali merasakan hangatnya telapak tangan Juan. Namun, sebagian dari Saskia lain, yang sangat pemalu, belum siap bersentuhan fisik lagi dengan Juan, dan bagian yang ini, menang. Saskia menepis tangan Juan. "Aktingnya dilakukan di depan orang-orang yang diperlukan. Bukan di depan khalayak ramai yang gak dikenal." Saskia mencoba melewati Juan meski ia harus berjalan menyamping. Aroma lemon dan geranium, menyapa hidung Saskia. Wangi yang menenangkan sekaligus menggoda. Saskia mengerjapkan mata dan mempercepat langkahnya. Tapi, Juan jauh lebih gesit. Ia mengambil tangan Saskia dan mengapitnya di lengannya. Juan tak memedulikan tatapan sengit Saskia. Saskia menghentikan langkahnya. "Apa?" Juan pura-pura tidak memahami tindakan Saskia yang protes karena tangannya sudah berada diapitan lengan Juan. "Kenapa saya tidak boleh bertanya?" Juan melongo, karena ternyata bukan protes yang keluar dari bibir indah Saskia, melainkan pertanyaan. "Kamu tadi menjelaskan janjimu, tapi kamu melarang saya bertanya, kenapa?" Juan mulai memahami arah pertanyaan Saskia. Ditowelnya hidung Saskia dengan gemas. "Karena.... Itu Rahasia. Ayo, masuk." Saskia protes karena pertanyaannya tak mendapatkan jawaban. Sedangkan Juan hanya tertawa kecil dan terus membimbing Saskia masuk area mal dan menuju lift. Di tempat yang terlalu jauh dari keduanya. Sepasang mata mengawasi Juan dan Saskia dengan amarah. Ia yang tadinya baru selesai belanja, membuka pintu mobil, melempar belanjaannya secara sembarangan dan memutuskan untuk membuntuti Juan dan Saskia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN