Makan Jeny tak terasa enak. Setiap potongan daging yang masuk ke mulutnya, teras alot untuk dikunyah hingga dirinya harus pelan-pelan mengunyahnya. Setiap kalimat yang keluar dari bibir Saskia, semakin menyusahkan dirinya untuk menelan makanannya. Intinya, Jeny tidak nyaman dan gelisah.
Saskia adalah sahabat Jeny sejak usia mereka masih tiga belasan tahun. Untuk waktu yang lama, pengalaman Saskia perihal lelaki sangatlah minim. Ini karena keinginan Saskia dalah menjalin hubungan dengan pria yang bisa membuatnya jatuh cinta hanya dalam sekali lihat, love at the first sight.
Dan Saskia menganggap ia dengan Juan adalah cinta yang seperti itu. Nyatanya, Saskia langsung berpikir perihal Juan saat ia terdesak akan siapa pria tunanangannya. Saskia juga menganggap adanya kemungkinan takdir. Hal yang dulu sering ditertawakan Saskia untuk Jeny, kini justru menjadi pemikiran baru bagi Saskia.
Jeny tak tega menyela hanya untuk sekedar ingin tahu kesungguhan hati Saskia. Melihat ekspresi Saskia, membuat Jeny makin sakit. Saat ini ia ingin segera bertemu dengan Juan. Ia akan meminta lelaki itu memutuskan hubungannya dengan Saskia. Kalau harus membayar mahal, ia akan bayar untuk itu asalkan Saskia selamat dari terkaman buaya.
"Entahlah..., akan seperti apa hubungan ini nantinya. Juan bilang kalau ia akan meperbaiki semua. Saya merasa itu bukan hanya tentang ciuman. Tapi..., saya tidak tahu apa."
Saskia seperti sudah mengakhiri curahan hatinya dan menyeruput jus jeruknya. Jeny menatap Saskia yang ekspresinya kali ini berbeda jauh. Dari yang tadi terlihat sangat menggebu-gebu, banyak tersenyum dan sesekali tertawa malu, kini seperti melamun memikirkan sesuatu.
"Kamu yakin dengan Juan?" tanya Jeny hati-hati. "Kamu belum benar-benar tahu tentang dia, Sas."
"Saya pikir..., saya akan mengenalinya dengan berjalannya waktu."
Jeny menangkap ada keraguan di nada bicara Saskia.
"Kok, sekarang kamu berubah gak seperti tadi. Apa yang tadi, kamunya lagi kesurupan, ya?" Jeny mencoba bergurau hanya agar wajah Saskia tidak aneh.
Saskia adalah seorang yang cukup moody-an. Bisa tiba-tiba berubah ekspresi dan sikapnya tergantung apa yang dipikirkan atau dirasakan.
"Menurutmu, apa yang akan Juan perbaiki?" tanya Saskia.
Hubungannya dengan Tante Sonya, mungkin, sahut Jeny dalam hati. Ia masih tak memiliki rasa tega untuk membeberkan kenyataannya pada Saskia.
"Perasaannya padamu, mungkin." Ini yang hanya bisa Jeny ucapkan.
"Apakah dia ragu akan perasaannya pada saya? Dan ciuman itu...?"
Jeny meremas jemari Saskia, berharap itu bisa menenangkan resah yang dirasa Saskia.
"Saskia..., para pria selalu meanggap dirinya adalah makhluk paling tidak ribet, padahal kenyataannya tidak begitu. Saat mereka melibatkan perasaan atas hubungannya dengan wanita, segala menjadi rumit bagi diri mereka sendiri. Dari pada mengira-ngira, ikuti saja alurnya dengan santai. Nanti juga jawabannya akan muncul sendiri ke permukaan."
Jawaban paling bijaksana yang bisa Jeny berikan. Jawaban yang Jeny harapkan bisa menenangkan Saskia.
"Saya takut jika perasaan ini hanya sepihak."
Jeny semakin sadar, jika Saskia benar-benar jatuh cinta. Parahnya ini adalah cinta pertama Saskia. Cinta pertama yang diawali dengan sebuah sandiwara.
Ponsel Saskia berdering. Mimik wajahnya terlihat terkejut saat membaca nama si penelepon.
"Juan menelepon...." Saskia mengucapkannya dengan suara berbisik dan wajah yang bersemu bahagia. Seolah-olah khawatir jika Juan mendengar suaranya yang antusias.
"Angkat cepat."
Saskia mengangguk dan menerima panggilan dari Juan.
"Halo. Juan."
"Kamu di mana?"
Saskia mengernyit. Suara Juan terdengar tidak ramah.
"Kenapa?" jawab Saskia kurang senang, karenanya ia menjawab dengan ketus.
"Di kantor?"
"Enggak."
"Ya, di mana!"
Saskia terkejut dengan sentakan nada bicara Juan. Tapi tak urung ia akhirnya menginformasikan keberadaannya dan bersama siapa.
"Saya sudah di perusahaanmu dan berada di dalam lift. Kamu buka situs lelang nasional."
Dan telepon ditutup begitu saja.
Saskia melongo menatap ponselnya dan menatap Jeny bingung.
"Ada apa? Kenapa?" tanya Jeny penasaran.
"Gak tau. Dia aneh. Sebentar."
Saskia mulai membuka perambah pencarian dan menemukan situs lelang nasional. Segera ia masuk ke bagian beranda dari situs tersebut. Seketika Saskia memekik.
Hotel ibunya sedang dilelang.
***
Brak!
Pintu ruangan Julia dibuka lebar dan kasar. Menyentakkan Julia yang sedang bicara dengan dua stafnya. Julia mendelik ke arah Juan yang masuk dengan wajah sangar.
Sekretaris Julia masuk dengan tubuh sedikit terhuyung dan gugup. Ia sangat ketakutan akan reaksi Julia nantinya. Di belakangnya dua orang satpam dengan wajah yang sama paniknya dengan sang sekretaris muncul yang langsung memegang lengan Juan di kanan dan kiri pria itu.
"Maaf, Bu. Saya sudah menco..."
"Suruh mereka keluar atau ini akan jadi keributan besar yang bisa menciptakan sebuah skandal," ancam Juan.
Tatapannya yang serius dan tidak main-main, membuat Julia seakan tidak punya pilihan. Ia kemudian meminta semua orang keluar dari ruangannya dan meminta dengan tegas satpam berikut sekretarisnya untuk melarang siapa saja masuk termasuk juga suaminya.
Julia curiga ini akan jadi pembicaraan sengit antara dirinya yang masih adalah kakak dan Juan yang masih adalah adiknya. Dan Julia tidak ingin siapa pun mendengarnya.
"Ada apa?" Julia masih duduk di kursinya dan bersidekap. Sikapnya sangat jelas adalah penolakan.
Juan mendekat dengan wajahnya yang memerah, membuat Julia bertanya-tanya ada kemarahan seperti apa di Juan sehingga adiknya itu perlu mendatanginya dengan sikap kasar.
Juan menggebrak meja dengan kedua tangannya. Melihat sikap santai Julia, Juan ingin mencekiknya.
"Pencurian yang kamu lakukan terhadap Bapak dan Ibu, sudah membuat kami terpuruk. Kamu dengan santainya melempar kami semua ke jurang kenistaan sedangkan kamu mlenggang santai ke nirvana. Dan kini.... Kini kamu melakukannya lagi!"
"Maksudmu apa? Mencuri apa? Saya cuma mengambil apa yang menjadi hak saya sebagai anak. Toh, saya sudah memberikan semua pada Bapak dan Ibu. Kebanggaan. Nama baik. Apalagi?"
Juan menatap Julia dengan tak percaya. Julia mengkalkulasi apa yang sudah dilakukannya selama menjadi anak. Suatu hal yang amat sangat tidak pantas, tetapi sepertinya itu kewajaran bagi Julia.
"Kamu menghitung semua? Apa kamu juga menghitung yang sudah kamu lakukan saat bayi sampai kanak-kanakmu yang bahkan berdiri saja butuh bantuan," bentak Juan.
"Saya kan gak sebodoh kamu." Julia mencibir merendahkan. "Kamu tuli atau pura-pura tak mendengar saat Ibu dan Bapak mengatakan bagaimana cepatnya pertumbuhan dan perkembangan saya. Saya juga bukan bayi merepotkan. Saya juga bukan anak-anak yang mengganggu waktu keduanya hingga akhirnya ada kamu, bukan?"
Juan ingin muntah rasanya. Bahkan kebebasan hubungan intim suami istri kedua orang tuanya ada hitungannya.
"Gila kamu, ya!"
"Saya gak gila. Kamu yang gila. Buat apa mengaku-ngaku sebagai tunangan Saskia? Mau sampai kapan? Sampai pernikahan? Hahaha.... Kamu pikir bisa, Juan?"
Untuk pertama kalinya setelah enam belas tahun lebih, Juan mendapati namanya tersebut dari bibir kakaknya. Hatinya berdesir ngilu. Seharusnya itu adalah penyapaan yang membahagiakan.
"Jangan mimpi kamu."
"Kenapa? Kamu takut saya masuk ke dalam keluarga Pamungkas sebagai suami Saskia?" tanya Juan.
"Menurutmu saya perlu takut? Naif sekali kamu, Juan. Buka matamu. Pakai akalmu. Saskia hanya memanfaatkanmu atas ketidaksukaannya terhadap pertunangannya dengan Onel. Memanfaatkanmu. Pahami itu. Saskia tidak akan membawamu lebih pada rencana yang gila. Termasuk menikah denganmu. Dia itu gak bodoh, Juan."
"Maksudmu, Anggara itu bodoh? Karena dia dengan lugunya menikahimu. Yang adalah sebelumnya kekasih sang kakak."
Kali ini Juan senang mendapati ekspresi Julia yang terkejut tak berhasil disembunyikannya. Duduk Julia jauh lebih tegak.
"Apa maksud kamu?" sentak Julia. "Gak usah mengait-ngaitkan saya dengan siapa pun. Jangan kurang ajar kamu."
"Kamu yang kurang ajar masuk dalam kehidupan orang lain. Melakukan banyak hal yang bisa meruntuhkan satu keluarga. Kamu terlalu dibutakan harta. Kamu terlalu nekat, Julia."
"Jangan sok tau kamu!"
"Saya tau semua. Saya memahami cara kamu. Termasuk cara kejammu menyingkirkan Atha Pamungkas yang tidak bisa kamu setir."
Julia menggebrak meja. Wajahnya penuh kegeraman dengan kedua tangan mengepal di atas meja. Di dalam dirinya bercampur aduk emosi. Amarah dan kekalutan bercampur jadi satu. Terselip juga ketakutannya.
"Kamu berani menuduh saya?"
"Saya tidak menuduh. Saya sudah mendapatkan buktinya."
"Bukti apa?!" pekik Julia dengan nada tinggi.
Juan puas. Ia justru tersenyum. "Bahwa kamu ada di sana. Di belakang mobil Atha Pamungkas. Kamu menyaksikan mobil itu jatuh ke jurang dan dengan sengaja membiarkannya. Dan kemungkinan terbesar kamulah yang menabraknya."
"Anj1ng! Jangan sembarangan kamu bicara. Saya bisa perkarakan kamu."
"Oh..., mungkin memang bukan kamu yang menabraknya, tapi kamu ada di mobil yang sedang disetir oleh Onye."
Wajah Julia langsung memucat. Jantungnya serasa sudah lepas dari dadanya dan jatuh ke bawah. Juan sudah mengetahui semua.
"Kenapa diam? Saya benar?" pancing Juan lagi agar Julia banyak bicara.
"Keluar kamu dari sini! Keluar!" teriak Julia. Ia benar-benar kalut. Ia tak menduga Juan mengetahui semua. Entah dari mana, tetapi Julia terlalu takut untuk bertanya.
"Kenapa? Panik?"
"Saya tidak terima kamu tuduh sembarangan. Dan jangan ucapkan itu di dalam keluarga Pamungkas!"
"Hohoho.... Ancaman. Mengerikan sekali."
"Terserah kamu menganggpnya apa. Keluar kamu dari sini! Keluar!"
"Cabut lelangan hotel milik Ibu Soraya."
Juan menatap tajam Julia. Wajahnya saman tegangnya dengan Julia.
"Oh, jadi ini alasanmu datang ke sini. Mengarang cerita agar saya terintimidasi. Bersiap untuk menyebarkan fitnah. Ahhh.... Sekarang saya sudah baca alurnya."
Julia tertawa kecil. Bangkit dari kursinya dan memutari meja kerja dengan langkah anggun, percaya diri dan santai. Mendekati Juan dengan senyum paling manisnya.
"Kamu membuat karangan cerita agar saya tidak bisa berkutik. Lalu kamu menekan saya perihal pelelangan, agar apa? Ya, agar kamu dilihat sebagai pahlawan bagi Saskia. Memuluskan langkahmu masuk ke dalam keluarga Pamungkas. Dan..., menjadi seperti rayap, yang diam-diam menggerogoti harta Pamungkas. Menjadikannya milikmu. Begitu?
Hahaha..., Juan, Juan, Juan. Sekali lagi saya bilang. Jangan mimpi kamu."
"Saya suka bermimpi dan kemudian menjadikannya nyata, hei, Kakak tersayang. Kamu bebas berpikiran apa saja, tetapi kamu jangan pernah lupa, ada ancaman di sana. Waktumu hanya satu kali dua puluh empat jam. Besok siang, kamu harus sudah menarik hotel itu dari daftar lelang atau kamu sendiri yang akan tamat.
Ingat Julia..., lebih baik kita bersanding bersama di rumah Pamungkas karena kita adalah kakak adik yang tidak bisa kamu pungkiri. Ketimbang, saya melenggang sendirian masuk dan kamu di..., mmm..., jeruji besi."
Plak!
Sebuah tamparan keras mendaratdi pipi Juan dari Julia. Sangat panas, tetapi Juan tak membelai pipinya dan membiarkan saja rasa panas menguasai amarahnya. Keduanya saling adu mata. Menjajaki kekuatan dan keseriusan masing-masing atas ancaman yang sudah dikumandangkan.
Brak!
Lagi-lagi pintu ruang kerja Julia dibuka dengan kasar hingga terbanting dan menimbukkan bunyi benturan. Dan lagi-lagi sekretaris juga dua orang satpam masuk ke ruangan Julia dengan mimik wajah kebingungan dan panik. Kali ini ketiganya menyerah. Karena yang kini memaksa masuk adalah Saskia. Salah seorang pimpinan tetinggi perusahaan besar tersebut.
Wajah Julia yang tadinya terkejut dengan kemunculan Saskia, berubah sangat geram menatap sekretaris andalannya dan dua satpamnya. Ia melotot penuh angkara. Tanpa perlu kata perintah dari Julia, ketiga orang tersebut pelan-pelan dan sedikit merunduk keluar dari ruangan Julia serta menutup pintunya.
Saskia yang berwajah mengerikan, segera melangkah lebar mendekati Julia begitu pintu ditutup. Dalam sekejap ia sudah berdiri di dekat Juan dan di hadapan Julia.
Plak!
Sebuah tamparan mendarap di pipi Julia dari Saskia. Tamoaran yang sangat keras hingga membuat pipi Julia membekas merah.
"Berani-beraninya kamu melelang hotel milik Mama. Apa hak kamu? Iblis!"
***