Matanya Terbuka

1536 Kata
Sebenarnya, kesibukan yang berbeda sudah terasa dari pukul enam pagi. Tapi, tak sesibuk siang ini. Para pekerja untuk memasang tenda, menata kursi dan meja, mendekorasi di beberapa tempat, mulai berdatangan dan sibuk sesuka mereka. Hanya mereka sendiri yang paham harus apa dan bagaimananya. Begitu juga bagian katering. Karena Julia ingin memastikan hidangan tersaji dengan sehat juga benar, maka para juru masak didatang ke rumah dan menyiapkan menu hidangan pesta dari rumah. Reny gelisah sejak tadi. Ia pun ingin mengetahui akan bagaimana acara pesta ulang tahun majikan perempuannya. Selain itu, ia juga ingin mencuci mata. Biasanya para pekerja untuk sebuah pesta, selalu ada para pria dengan beragam model disesuaikan dengan jenis pekerjaannya. Dan Reny ingin sekedar melihat yang siapa tahu dapat kenalan. Sebuah pesan dari Hartono masuk. Hartono: Mbak Reny, sebentar lagi makan siang. Mau diantar lagi makan siangnya? Reny: Di luar rame, ya, Pak? Hartono: Lumayan, Mbak. Kenapa? Reny: Enak ya, Pak Hartono. Bisa liat-liat sesuatu yang beda. Hartono: Ya, Mbak Reny ke sini aja. Di dapur banyak cowok-cowok cakep. Siapa tau ada jodohnya Mbak Reny. Reny menggigit bibir bawahnya. Ini adalah godaan. Ia butuh hiburan setelah sehari-harinya hanya di kamar Pamungkas atau duduk-duduk di luar. Apalagi sudah tak ada lagi malam minggu yang ia bisa lewati bersama teman-temannya. Reny: Gak ada yang jaga Bapak Pamungkas. Hartono: Saya bisa jagain. Saya juga sudah makan. Reny menjulati bibirnya karena ada adrenalin yang meningkat. Godaan yang semain kuat. Reny: Apa gak pa-pa? Tak ada jawaban cepat dari Hartono. Pesannya pun tak dibaca. Reny merengut. Mulai ngedumel pada Hartono yang bisanya mengiming-imingi saja. Ponsel Reny berdering. Kali ini dari Julia. "Ren, Infus sudah diganti?" tanya Julia dari seberang telepon. "Sudah, Bu." "Sudah disuntik infusnya?" Reny memeriksa jam tangannya. "Sepuluh menitan lagi, Bu." "Oh, iya. Awas jangan lupa." "Iya, Bu." "Dan jangan kamu tinggal. Mengerti?" "Mengerti, Bu." Sambungan telepon terputus dan kembali Reny ngedumel. Sepertinya dirinya memang harus pasrah. Keinginan bergenit ria, tak bisa dilakukan. Pintu kamar Pamungkas diketuk halus. Reny mengernyit bingung, tetapi ia tetap melangkah menuju pintu. Betapa terkejutnya Reny saat membuka pintu, sudah berdiri Hartono dengan senyumnya yang menawan. "Sana, makan siang. Saya yang jagain Bapak," tawar Hartono dengan manis. "Gak, ah. Nanti kalau Ibu Soraya tiba-tiba minta antar ke mana gitu, bagaimana?" Reny merasa untuk tidak langsung menerima begitu saja agar tak terlihat kalau dirinya terlalu ingin. "Saya sudah tanya Ibu dan beliau bilang sampai sore, beliau tidak akan ke mana-mana. Yang ada, setelah mengurus Bapak, Ibu baru minta antar ke salon. Udah, ayo ke sana. Nanti keburu jam makan siang orang-orang itu selesai. Nanti Mbak Reny gak dapat kenalan." Reny langsung menarik Hartono masuk dan membawanya ke meja nakas. Di sana sudah ada jarum suntik yang berisi cairan bening. Jarumnya masih dilindungi, jadi benar-benar steril. "Bapak sungguh-sunngguh, ya, jagain Pak Pamungkas. Tapi, Bapak harus janji." "Janji apa?" tanya Hartono. "Bapak tidak boleh bilang kalau menggantikan saya di ruangan ini. Bisa ngamuk nanti Bu Julia." "Itu beres." Reny tersenyum semakin lebar dan menunjuk ke arah jarum suntik yang sudah dilihat Hartono. Reny memeriksa waktu di jam tangannya. "Sekitar tujuh menit lagi, Bapak tolong suntikkan ini ke botol infus, ya." "Memangnya itu apa?" "Kata Bu Julia itu suntikan vitamin. Makanya dicampur dengan cairan infus." Hartono mengangguk-angguk. Memastikan pada Reny bahwa ia bisa melakukan yang diminta dengan sangat baik. Reny sangat senang. Tanpa sungkan ia mencium pipi Hartono, mengerlingkan mata, dan berlalu meninggalkan kamar Pamungkas. Hartono cengengesan. Ia bukan senang karena mendapatkan ciuman dari Reny, melainkan mendapatkan kesempatannya yang sudah ia perkirakan dan susun dari tadi. Tidak sulit menebak bagaimana karakter Reny. Gadis bertubuh gendut itu, terlihat genit di kamera ponselnya, saat Hartono menunggu Soraya yang masih ingin bersama suaminya. Hartono juga sempat melihat bahwa Reny sedang berinteraksi di sosial medianya. Kehidupan yang monoton. Lebih banyak menghabiskan waktu di kamar atau sekitaran rumah, pastilah hasrat Reny terkungkung. Ia butuh diperhatikan dan memerhatikan. Butuh juga godaan dan menggoda lawan jenis. Hartono memancing sedikit, tetapi Reny menjelaskan banyak bagaimana ia sangat ingin keluar dari kamar ini. Di awali dengan pertanyaan yang ingin tahu bagaimana situasi di luar, berlanjut dengan ungkapan yang merajuk, maka Hartono yang sudah makan asam watak wanita muda, segera tahu kalau Reny bisa digoda keluar kamar. Dan benar. Reny memang sangat ingin keluar kamar. Hartono melihat-lihat sekitaran kamar Hartono. Kamar yang benar-benar besar juga mewah. Tetapi, Hartono juga tidak iri dan menginginkan kamar model kamar Hartono. Karena terasa sangat dingin dan kesepian. Hartono mendekati tempat tidur Pamungkas dan bediri di dekat tiang infus. Ia menatap cairan infus yang masih ada setengah. Diperhatikannya tabung cairan infusnya, memegang, membaca. Tak ada yang dimengerti olehnya. "Sakit apa sebenarnya orang ini? Sampai harus mendapat perawatan ekstra dibawah pengawasan.... Julia." Saat menyebutkan nama putrinya, Hartono menghela napas dan mengucapkannya berbisik. Ia malu pada putrinya yang sudah membuat semua orang berada dalam bahanya masing-masing. Bukan kebanggaan bagi Hartono melihat kesuksesan putrinya. Karena pencapaian putrinya bukan dengan cara yang benar. Hartono memeriksa jam tangannya dan mengambil jarum suntik yang berisi cairan bening, entah apa. Julia yang menyiapkannya untuk Pamungkas. "Semoga isinya bukan hal yang membuat orang ini makin sakit." Hartono masih berharap jikalau putrinya masih memiliki hati nuraninya. Juan tak memercayai Julia. Juan yakin jika sakitnya yang diderita Pamungkas adalah perbuatan Julia. Hartono menghela napas dan memandangi wajah Pamungkas. Ia memperkirakan usia Pamungkas kurang lebihnya sama dengan dirinya. Tapi, wajah tirus dan rambut berminyak yang begitu lepek, membuat Pamungkas terlihat jauh lebih tua. Penyakit menggerogoti keperkasaan pria itu. Kembali Hartono menatap jarum suntik di tangannya dan menggumam, "Ini baik atau tidak? Disuntik atau tidak?" "Pak. Bapak cari tau kira-kira obat apa saja yang diberikan untuk Pak Pamungkas. Saya mencurigai ada yang salah dengan sakit beliau. Apalagi Kak Julia terlihat sangat begitu protektif menjaganya. Bahkan obat-obatan hanya Kak Julia yang tahu dan hanya dia saja yang boleh memberikan obat. Hanya Bapak yang punya akses sampai bisa masuk kamar Bapak Pamungkas. Jadi, tolong carilah apa saja dari sana yang bisa menjadi bukti kalau Kak Julia terlibat akan sakitnya Pak Pamungkas. Apa saja, Pak." Ucapan Juan terngiang di kepala Hartono. "Mungkin ini sebaiknya diamankan," gumam Hartono. Tak ada keraguan baginya membantu Juan. Hartono memutuskan tak membuka pelindung jarum dan menyembunyikan jarum suntik ke dalam saku celananya. Tepat saat Hartono selesai dengan jarum suntik, tubuhnya mengejang terkejut. Pamungkas sudah membuka matanya, yang entah sudah berapa lama mata itu terbuka. Perasaan Hartono tidak enak. Ia bingung harus bagaimana. Bertanya-tanya juga dalam hati apakah Pamungkas melihatnya memasukkan jarum suntik ke dalam celananya. "Maaf. Maaf, Pak. Saya..., nggg..., tidak bermaksud jahat." Pamungkas tak menyahut selain terus memandangi Hartono yang salah tingkah. Mampus. Bagaimana ini? Kalau sampai si Pamungkas melihat saya menyembunyikan jarum suntik ini, bisa-bisa dia lapor sama Julia, batin Hartono. "Maaf, Pak. Maaf. Saya akan melakukan yang diperintahkan. Tadi, anu, saya kira ini...." Hartono tak melanjutkan kalimatnya. Ia melihat kedua mata Hartono membeliak dan kelopak matanya berkedip-kedip, sesaat setelah Hartono mengeluarkan jaru suntiknya. Ada ketakutan di mata Hartono yang begitu cekung. Tepatnya kengerian. Tak ada kata-kata yang keluar. Hanya suara erangan yang sangat lirih memilukan. Suara penolakan. Hartono memandangi jarum suntik dan Pamungkas bergantian. Mencoba memahami situasinya. Hartono mulai mencurigai jika Pamungkas lumpuh di sebagian besar anggota tubuhnya. Dan Pamungkas tidak bisa bicara. "Bapak bisa bicara?" tanya Hartono memberanikan diri. Pertanyaan yang kemudian menyadarkan Hartono kalau Pamungkas memang benar-benar tak bicara. Ini terjadi saat ia dikenalkan Soraya pada Pamungkas yang sudah membuka mata. Saat kemarin, hanya Soraya yang bicara. Tak ada sahutan. Hartono diam saja. Namun, saat ini, Hartono merasa kalau Pamungkas sedang ingin bicara. "Bapak tidak bicara, 'kan?" Ada kedipan mata yang begitu cepat. Sebuah isyarat. Sayangnya Hartono tak memahami. Ia curiga itu semacam sandi-sandi yang dipakai anak Pramuka. "Baik. Saya tidak mengerti. Tapi, jika Bapak bisa memberikan saya isyarat mudah. Berkedil satu kali untuk iya. Dan berkedip dua kali untuk tidak." Dan seketika Pamungkas mengedip sekali, yang berarti iya. Kesepakatan yang disetujui. Hartono diam-diam lega. Sepertinya, ini kesempatan berikutnya bagi Hartono. "Sebelumnya saya minta maaf karena memasukkan jarum ini ke saku tanpa sebelumnya saya menyuntikkan isinya ke tabung infus. Saya pikir, ini bukan hal yang benar. Saya menuruti permintaan putra saya saja. Apakah sampai sini saya dimaafkan?" Pamungkas mengedip sekali. Hartono lega. "Saya akan menyuntikkan isinya dulu ke tabung. Maaf saya terlambat." Dua kedipan, yang kemudian berkedip untuk beberapa kali. Kembali tersorot kepanikan dari mata Pamungkas. "Bapak tidak ingin saya menyuntikkan ini?" tanya Hartono ragu-ragu. Kedipan satu kali. Ada jeda yang kemudian Pamungkas berkedip satu kali. "Ini obat berbahaya?" Kedipan satu kali. "Boleh saya menyimpannya dan memeriksanya?" Kedipan satu kali. Hartono tersenyum lega dan menyembunyikannya ke dalam saku celananya lagi. "Bapak Pamungkas percaya saya?" Kedipan satu kali dari Pamungkas. "Pak Pamungkas. Saya tidak yakin apa yang terjadi. Tapi, saya memiliki seorang putra yang akan membantu keluarga ini. Namanya Juan. Dia adalah...." "Pak Hartono." Hartono yang masih memunggungi pintu menatap panik pada Pamungkas. Lelaki itu berkedip tiga kali yang entah apa aetinya dan kemudian memejamkan mata bagai orang yang tertidur. Hartono segera berbalik dan memberikan senyuman termanisnya untuk Reny yang baru masuk. "Sudah selesai?" tanya Hartono manis sembari menghampiri Reny. "Mereka sudah pada kembali kerja. Tadi yang tersisa, orang jelek semua." Bibir Reny maju beberapa centi. Wajahnya tak menyembunyikan kekesalan. "Sama jeleknya seperti saya?" "Bapak, sih, ganteng," jawab Rey tanpa ragu. "Kalau saya ganteng, jadi pacar saya, mau?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN