"Saya butuh bantuanmu. Saya butuh bantuanmu untuk menjadi kekasih saya." Saskia panik. Dia hanya punya satu kali kesempatan. Jika sampai saja Juan pergi, maka dirinya harus kelimpungan mencari pengganti dan mengembeng-kembangkan alasan.
Masalahnya, Onel hanya mengerahu sosok Juan yang diakuinya sebagai kekasih. Kalau sampai Saskia merubah tokoh kekasihnya, Onel yang pecundang dan Saskia yang licik, akan segera tahu kalau dirinya sedang mencoba melepaskan diri. Dua lawan satu, masih sulit bagi Saskia untuk dihadapi sendiri.
Juan sendiri tak menduga jika niatnya mendekati Julia akan semulus ini. Sebuah permintaan, begitu cepat datangnya. Juan tadinya berniat untuk menggoda Saskia. Membuat gadis itu terpuruk pada pesonanya. Hal yang biasa sering dialaminya dalam penaklukan.
Namun, semakin mengenal Saskia, Juan justru merasa kalau jalannya akan sulit. Sikap Saskia yang cukup judes juga terlihat pintar, membuat Juan kesulitan masuk. Semakin sulit karena ia tak melihat ada rasa suka dari Saskia untuk dirinya.
"Kenapa?" tanya Saskia gusar karena cara Juan menatapnya. "Ini pertama kalinya kamu dapat tawaran ini?"
Saskia memandangi Juan dengan cara meremehkan. Ia menelusuri Juan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Saskia sengaja begitu hanya agar rasa malunya tertutupi.
"Saya sanggup bayar kamu berapa pun yang kamu minta." Saskia menarik senyumnya miring. "Asalkan masuk akal. Karena saya Cuma butuh kamu beberapa jam dan itu pun, kamu hanya cukup berdiri di dekat saya saja. Bagaimana? Berapa?"
"Begitu, ya." Juan pun membalas senyum sinis Saskia dengan senyuman paling manisnya. Ia dengan lembut melepaskan pegangan tangan Julia di pergelangan tangannya. Sempatnya ia membelai punggung jari-jemari Saskia yang terasa begitu lembut seperti kapas.
"Kamu kira, saya laki-laki apa?" Juan menatap tajam Saskia dengan senyum tetap terkembang. "Setelah berlaku kasar, lalu kamu dengan sangat santai, membutuhkan bantuan saya? Apa menurutmu saya serendah itu?"
Juan melepaskan jemari Saskia dan kemudian mengusap-usap tangannya, sembari memberi sedikit tepukan, seolah-olah baru saja memegang kotoran. "Saya memang tak sekaya dirimu, Nona. Tapi, kalau perihal harga diri, saya sudah terdidik untuk menjaga kehormatan saya."
Juan pura-pura akan berlalu. Ia kembali memutar tubuhnya dan kembali lagi Saski mencengkeram pergelangan tangan Juan. Kali ini sangat terasa jika Saskia menekan kuat pergelangan tangan Juan. Juan menoleh dan Saskia berdiri dari duduknya.
Tanpa banyak bicara, Saskia menarik Juan, memaksa laki-laki itu untuk mengikuti dirinya. Saskia langsung ke meja kasir, menatap tajam Nina yang sedari tadi stand by di balik meja kasir ditemani Robi yang pura-pura memeriksa pembukuan.
"Diam di sini! Dan jangan lari ke mana-mana," cetus Saskia dengan suara lirih yang tegas dan tatapan mengancam. "Awas!"
Juan melongo dengan sikap Saskia yang seperti penguasa. Tanpa beban dan seolah tak peduli dengan penolakan Juan sebelumnya, Saskia main seret Juan. Wanita itu bahkan dengan santainya melakukan ancaman yang membuat Juan menurut saja.
Diam-diam Juan menatap Nina dan Robi, yang keduanya juga menatap Juan dengan keheranan. Tapi Juan hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban dirinya juga bingung. Seharusnya, dirinyalah yang menjadi penguasa, penentu arah dan tujuan. Tapi, ini justru Saskia yang menguasai.
"Ini." Saskia menyodorkan balck card, kartu kredit super premium, ke Nina.
"Kenapa?" tanya Saskia pada Nina dengan nada tidak suka. Ini karena Nina kepergok menatap Juan. Ada perasaan cemburu yang harusnya tidak ada, menguasai Saski. Ia tidak suka ada wanita lain menatap Juan sedemikiannya.
Juan yang menyadari situasinya, dengan cepat berdeham agar Nina dan Robi fokus. Nina pun segera tanggap. Menatap Julia dengan senyuman malu.
"Maaf, mau bayar pakai ini?" tanya Nina ramah sembari menerima kartu kredit dari tangan Saskia.
Saskia tak menjawab selain tetap menatap Nina tajam. Pada dasarnya Nina tak peduli. Andai kata bukan misi, Nina dipastikan akan jauh lebih ketus.
Setelah selesai p********n dan kartu kredit dikembalikan, Saskia kembali menggandeng pergelangan tangan Juan. Posisinya yang berjalan di depan dan Juan di belakang, terlihat seperti seorang ibu yang menggeret anaknya keluar dari restoran.
Robi cekikikan setelah Juan dan Saskia keluar dari restoran. "Mati kutu dia."
"Perempuan sombong. Mnetang-mentang bayar pake balck card. Orang lain kayaknya gak sengit gitu dengan black card-nya," gerutu Nina.
"Masalahnya tadi kamu itu tadi natap Juan kek gitu. Mungkin dia jadinya cemburu. Kan udah tau sendiri, perempuan-perempuan yang udah tergoda sama Juan, jatuhnya posesif. Kayak baru ini aja dipelototin ceweknya Juan."
Nina diam saja tak menyahut. Ada sesuatu yang berbeda dari sikap Saskia. Sebagai sesama perempuan, Nina bisa tahu, bahwa Saskia ini akan jauh berbeda dari perempuan kebanyakan yang selama ini mengelilingi Juan.
Seorang pe*langgan datang untuk melakukan p********n. Biasanya, yang jauh lebih santai, akan memanggil pelayan untuk diantarkan tagihannya. Tetapi pel*nggan yang buru-buru, akan langsung ke meja kasir.
Sebelum kembali berkutat dengan urusan p********n, Nina bergumam, "Semoga saja Juan tak terjebak dengan perasaannya sendiri."
"Maksudmu?"
Nina tak menjawab selain bersikap ramah dengan pel*nggan yang mebayar. Setelah melakukan transaksi p********n selesai, Nina menoleh menatap Robi.
"Percayalah, perempuan yang satu itu berbeda."
***