***
Tadi, Celine mendapat kabar bahwa sore ini putri dan menantunya akan kembali ke mansion. Membuat wanita paruh baya itu terlihat antusias menyiapkan sambutan untuk pasangan pengantin baru itu.
Walaupun tanpa diketahui oleh siapapun, Celine juga merasakan perasaan cemas. Ia tidak bisa berhenti memikirkan putrinya. Ditambah lagi seharian ini Celine dilarang oleh suaminya untuk menghubungi sang putri.
Sementara suasana di kediaman Blaxton saat ini masih sangat ramai. Sebab, dari keluarga hanya beberapa saja yang pulang ke negara masing-masing, sedangkan sebagian tetap tinggal. Seperti para orang tua di keluarga Margatama, Ferdinand, Pratama dan Alexander.
Mereka memutuskan akan kembali besok, karena malam ini mereka ingin menikmati makan malam bersama dengan Clarissa dan Axel.
“Cell?” panggil Janeeta sembari menghampiri sang besan.
Celine langsung menoleh. Mengulas senyum ramah di wajah ketika melihat wanita yang sebaya dengannya itu.
“Kamu repot sekali sepertinya. Masih belum beres?” tanya Janeeta setelah berdiri di depan Celine. Saat ini mereka berada di dapur utama. Janeeta sengaja menghampiri Celine kemari, karena sejak tadi tidak melihat kehadiran wanita itu.
Masih dengan senyum di wajahnya yang masih terlihat cantik, Celine pun menjawab pertanyaan Janeeta. “Ah, tidak juga, Neeta. Aku hanya memastikan saja. Tapi, mereka sudah beres semuanya.”
Janeeta mengangguk pelan sambil menyapu pandangan pada meja disana. Sepertinya koki dan pelayan hendak mempersiapkan hidangan. Padahal saat ini baru jam lima lewat.
Janeeta pun bertanya kepada Celine, apakah tidak terlalu pagi jika mereka menyiapkan hidangan dari sekarang. Dan Celine pun menjelaskan bahwa semuanya tinggal dihangatkan saja nanti ketika jam makan malam tiba.
Celine meminta kepada besannya itu agar mencicipi beberapa menu disana. Hanya ingin memastikan jika semuanya terasa pas dan cocok.
Setelah Janeeta mencicipi, ternyata rasanya tidak mengecewakan. Sangat cocok di lidah Janeeta, dan wanita itu yakin juga pasti cocok di lidah yang lain.
Setelah mereka selesai di dapur, keduanya keluar meninggalkan tempat tersebut dan bergabung dengan yang lain di ruang santai yang terlihat penuh oleh keluarga.
Celine tidak menemukan keberadaan suaminya di ruangan tersebut. Ia bertanya kepada Ibu mertuanya mengenai keberadaan sang suami, dan wanita senja itu menjawab jika Morgan menuju ruang pribadinya sejak tadi.
Usai mendengar jawaban dari Ibu mertuanya, Celine memutuskan menunggu Morgan disana. Namun semakin lama pria itu tak kunjung kembali.
Celine penasaran apa yang tengah dilakukan oleh suaminya di ruang pribadinya. Sehingga, ia pun pamit sebentar kepada mereka untuk menyusul Morgan. Sekedar memastikan suaminya itu.
Menit berlalu…
Celine berdiri di depan pintu ruang pribadi Morgan. Ia mengetuk daun pintu beberapa kali, kemudian langsung membuka pintu tersebut.
Celine masuk ke dalam ruangan yang sejuk dan melihat ruangan tersebut sedikit berantakan. Ia mengerutkan kening melihat suaminya yang sepertinya tengah menahan emosi.
“Sayang, ada apa?” tanya Celine pelan dan hati-hati.
Morgan membawa pandangan ke arah istrinya. Masih dengan tatapan dinginnya kepada wanita yang merupakan istrinya itu.
“Kenapa jadi berantakan begini, Morgan? Ada apa?” Celine kembali mengulang pertanyaan yang sama akibat tak kunjung mendapatkan jawaban dari suaminya itu.
“Putramu benar-benar keterlaluan!” geram Morgan.
Seketika Celine mengerutkan kening. Bingung dengan ucapan sang suami yang terdengar ambigu di pendengarannya itu.
“Lucas? Memangnya apa yang sudah dia lakukan, sayang?” tanya Celine dengan suara lembut. Ia mendekati pria itu dan menyentuh lengannya.
“Dia sudah membohongiku, Celine! Dia mendapatkan tanda tanganku dengan cara yang kurang ajar!” Morgan benar-benar marah terhadap putranya itu.
Sementara Celine terdiam dan mengatup rapat kedua bibirnya. Selang beberapa saat kemudian, pun ia mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Memangnya dia mengambil tanda tanganmu untuk keperluan apa, sayang? Sampai kamu semarah ini?”
Morgan menelan ludah; memandang wajah istrinya. Ia berusaha menahan emosi yang terasa meluap-luap.
“Apalagi, jika bukan untuk kepentingan Gabriel! Setelah anak itu membawa kabur adiknya sendiri, sekarang dia meminta Lucas berbuat kurang ajar seperti ini!” amuk Morgan berapi-api.
“Jangan tuduh Gabriel seperti itu, sayang. Aku yakin apapun yang dilakukan oleh Lucas, itu semua demi adiknya. Demi Caroline,” ucap Celine. Ia sedikit keberatan dengan pendapat suaminya barusan.
“Dan sekarang kau membela mereka? Kau mendukung apa yang dilakukan Gabriel terhadap Caroline?!” bentak Morgan kelepasan. “Celine!… karena ulahnya yang membawa kabur Caroline, sekarang Clarissa yang menjadi korban! Putrimu dihancurkan masa depannya oleh Axel!”
Celine reflek memejamkan kedua mata akibat bentakan suaminya itu.
“Apa sebenarnya kau tidak peduli dengan perasaan Clarissa? Iya?!” tanya Morgan dengan suara tinggi.
Celine tidak terima dengan tuduhan suaminya barusan. Ekspresinya yang tadinya terlihat tenang dan menenangkan, kini seketika berubah menjadi dingin. Tak kalah dari ekspresi suaminya saat ini.
Dengan Morgan yang menuduhnya seperti itu, tentu saja Celine tidak terima. Karena tuduhan tersebut tidak benar adanya.
“Bisa-bisanya kamu menuduhku seperti itu. Apakah dimata mu aku ini adalah sosok Ibu yang begitu kejam terhadap anak-anaknya?” tanya Celine dengan suara getir.
Kali ini Morgan terdiam.
“Kamu pikir, aku tidak memikirkan nasib Clarissa? Apa kamu pikir aku juga tidak mencemaskan Caroline? Kalau kamu berpikir seperti itu tentang aku, kamu salah, Morgan.” Celine menepis tangan pria itu ketika hendak menjangkau lengannya.
“Tidak hanya aku dan kamu, tapi semua keluarga kita tidak ada yang menginginkan Clarissa akan bernasib seperti ini. Tidak ada, Morgan.” Celine menggelengkan kepala. “Tapi apa yang bisa kita lakukan. Apa? Semuanya sudah terjadi. Axel sudah menikahi Clarissa, dan Gabriel sudah membawa Caroline pergi. Lantas, apalagi yang bisa kita lakukan selain pasrah dan menerima semuanya. Jangankan aku yang hanya wanita lemah ini, bahkan kamu sekalipun tidak mampu berbuat banyak. Bukan karena kamu lemah, tapi karena kamu tidak akan pernah sanggup melawan takdir Tuhan!” tekan Celine dengan suara tegas di akhir kalimatnya.
Deg!
Morgan tertegun.
“Bisakah kamu mencoba untuk berpikir positif, jika semua ini sudah menjadi garis takdir untuk kedua putrimu? Aku juga takut Axel menyakiti Clarissa. Sedangkan dengan Caroline, tidak ada ketakutan yang serupa di hatiku, Morgan. Karena apa? Karena pria yang bersamanya saat ini adalah Gabriel. Semua orang tahu bagaimana sayangnya Gabriel terhadap Caroline selama ini. Tetapi tidak dengan Axel. Axel memilih Clarissa karena dia sakit hati terhadap Caroline. Lantas, bagaimana mungkin kamu beranggapan kalau aku tidak memikirkan perasaan Clarissa sedikitpun? Jahat sekali pikiranmu,” ucap Celine panjang lebar sambil terus mendongak pada suaminya itu.
“Aku minta maaf,” ucap Morgan menyadari kesalahannya setelah merasa tertampar oleh kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh istrinya tadi.
Celine diam dan terus menatap nanar pada suaminya itu.
“Maaf sudah menyakiti perasaanmu dengan ucapanku barusan. Aku kelepasan, walaupun sebenarnya aku tidak berniat berkata seperti itu. Sungguh, aku benar-benar minta maaf,” ulang Morgan sekali lagi.
Celine membiarkan Morgan membawa tubuhnya ke dalam dekapan hangat pria itu. Ia memejamkan kedua mata ketika merasakan kecupan demi kecupan di labuhkan oleh Morgan di pucuk kepalanya.
“Entahlah, hatiku sesak sekali. Aku bingung bagaimana cara melampiaskannya. Aku marah kepada semua orang, karena aku gagal menghentikan keputusan putriku. Aku beranggapan jika kalian semua tidak peduli dengan Clarissa.” Morgan bergumam sembari mendekap erat tubuh Celine.
“Tapi tidak benar seperti itu, Morgan,” timpal Celine dengan suara pelan.
“Aku tahu,” balas Morgan dengan suara tak kalah pelan dari istrinya.
Morgan mengurai pelukannya dari Celine. Ia memandang lekat wajah istrinya yang masih terlihat cantik, sambil menangkup dengan kedua tangan lebarnya.
“Semua orang mengatakan kalau mereka percaya dengan Clarissa. Mereka percaya kalau Clarissa tidak akan semudah itu disakiti oleh orang lain. Mungkin fisiknya tidak akan terluka, tapi bagaimana dengan perasaannya? Aku menganggap semua orang tidak memikirkan perasaan putriku, termasuk kamu.” Morgan mengangguk pelan saat melihat istrinya menggelengkan kepala, tanda tidak setuju dengan apa yang dia pikirkan. "Aku tahu apa yang aku pikirkan itu salah. Tapi seperti itulah kenyataannya,” imbuhnya.
Morgan merasakan kedua matanya memanas, tetapi dia tetap berusaha untuk tidak mengizinkan cairan bening itu keluar dari kedua netranya.
“Ayah dan Ibuku telah mengharamkan sebuah perceraian dalam keluarga ini. Ya, mereka yang mengharamkan. Aku mendengarkan langsung dari mendiang Grandpa. Tapi kali ini, mungkin aku yang akan mematahkan prinsip mereka,” ucap Morgan sembari menatap serius pada Celine.
“Apa maksudmu, sayang?” Celine memandang cemas pada suaminya itu.
“Aku tidak akan membiarkan putriku menghabiskan sisa hidupnya bersama pria yang tidak mencintainya, dan juga pria yang menyakiti perasaannya. Andaikan Axel melakukan itu terhadap Clarissa, maka aku sendiri yang akan memisahkan mereka. Aku sendiri yang akan mengurus perceraian mereka,” jawab Morgan. Dia berucap dengan sangat serius. Membuat tubuh Celine terasa menegang kaku.
“Aku tidak akan peduli andaipun kalian semua akan membenciku karena itu. Akan ku korbankan semuanya demi putriku. Aku bersumpah!”
Deg!
“Morgan, tolong tarik ucapanmu, kumohon.” Celine menghibah, sehingga air matanya tak urung menetes di pipi.
°°°°
Beberapa saat kemudian...
Saat ini di teras depan, Celine dan Janeeta dan beberapa keluarga lainnya berdiri di sana sambil mengulas senyum saat melihat pada sebuah mobil pengantin yang saat ini sudah berhenti tepat di hadapan mereka.
Terlihat di sana, Axel turun dari mobil dan mengitari kendaraan tersebut. Lalu berhenti di samping kanan dan membuka pintu untuk istrinya. Axel mengulurkan tangan kanan ke arah Clarissa; menuntun perempuan itu turun dari mobil.
Keduanya terlihat sangat mesra, membuat sebagian dari mereka terus memandang dengan senyum. Dan ada juga yang memandang biasa saja seperti Megan dan Careen.
Kedua Bibi Clarissa itu terus menatap sinis kepada Axel. Entah mengapa, sejak awal mereka berdua tidak begitu senang dengan Axel. Karena bagi mereka, pria itu terlihat sampang sekali suka dengan wanita.
Pertama, Axel pernah menyukai Maureen putri dari Megan, yang tidak lain adalah sepupu Clarissa. Lalu setelah itu Axel mengatakan kalau dia tertarik dengan Caroline. Dan sekarang lelaki itu malah menikahi Clarissa.
Celine menyambut sang putri dan menantunya dengan senyum bahagia, pun dengan Janeeta. Mereka memeluk keduanya bergantian.
Namun, selang beberapa saat kemudian barulah Celine menyadari sebuah perban yang menempel di kening menantunya dan juga sudut bibir pria itu yang terlihat sedikit memar.
“Xel, kamu terluka, Nak?” tanya Celine cemas, sambil memperhatikan pria yang merupakan menantunya itu.
Axel hendak menjawab pertanyaan mertuanya itu, namun urung dikarenakan Clarissa lebih hulu mengambil alih. "Ya, dia terluka, Mom. Tapi, aku sudah mengobatinya,” jawab Clarissa. Menyapu pandangan ke arah mereka satu persatu, Clarissa pun kembali melanjutkan. “Tadi siang kami sempat keluar hotel karena ada keperluan di luar. Tapi, tiba-tiba saja aku dihampiri oleh ... Orang-orang jahat. Mereka hendak merampok, dan Axel menolongku. Makanya dia sedikit terluka.” Clarissa mengarang cerita sedemikian rupa demi bisa menutupi apa yang sebenarnya terjadi di antara dirinya dengan sang suami.
Sedangkan Axel, pria itu terperangah dalam hati saat melihat istrinya bersandiwara.
“Ya Tuhan … tapi kamu tidak apa-apa, ‘kan, sayang?” tanya Janeeta sambil memperhatikan sang menantu dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia benar-benar mencemaskan perempuan yang merupakan menantu pertamanya itu.
Mengulas senyum. “Tidak, Mom, aku baik-baik saja,” jawab Clarissa, “seperti yang aku katakan tadi, semuanya berkat Axel yang sigap menolongku, sampai dia rela mengorbankan dirinya sendiri,” lanjutnya sambil melirik sebentar pada Axel dan melempar senyum manis kepada pria itu.
Dan jawabannya Clarissa barusan membuat Janeeta dan Celine senyum bersamaan.
“Kamu percaya dengan penjelasan Clarissa?” tanya Megan berbisik di telinga Careen.
Careen mengedikkan bahu. “Dia berbohong,” jawabnya.
“Hm, aku juga merasa seperti itu. Dan sepertinya Clarissa yang membuat Axel terluka,” ucap Megan.
“Ya, sepertinya begitu,” balas Careen.
Sedangkan di sana, Celine terus mengulas senyum sambil melirik pada besannya. Mereka seperti itu karena menyadari tanda merah di leher Clarissa yang diukir oleh Axel sebagai tanda kepemilikan. Kiss mark.
Mereka beranggapan jika keduanya telah bermesraan hingga menimbulkan tanda merah itu di leher jenjang Clarissa.
“Mom, aku tidak melihat Dad. Dia di mana?” tanya Clarissa pada ibunya.
“Daddy mu sedang di ruang pribadinya, sayang,” jawab Celine.
Ya, Morgan masih di sana. Dan pria itu menolak untuk menyambut putrinya ketika tadi diajak oleh Celine.
Setelah itu, Clarissa pun meminta izin kepada mereka semua untuk menemui sang ayah di ruang pribadi.
Sementara Axel ikut bersama ibunya dan mertuanya menuju ruang keluarga bertemu dengan yang lainnya di sana.
***