***
“Sshh, pelan-pelan, Cla!” Axel meringis karena rasa nyeri di punggungnya yang memar. Saat ini tengah di kompres oleh Clarissa.
“Aargkk fuckk!” Axel bangkit dari pembaringannya diatas paha Clarissa. Tadi, ia tengkurap disana supaya mempermudah perempuan yang merupakan istrinya itu mengompres punggungnya yang memar.
“Apa kau tidak mengerti bahasaku?! Rasanya sakit, dan kau terus menekannya semakin kuat!” geram Axel.
“Cara kompres memang seperti itu, Xel. Mengapa tidak kamu tahan saja sebentar?” Clarissa memandang Axel biasa saja. Tidak ada raut bersalah atau pun rasa kasihan di wajahnya terhadap pria itu.
“Kau sengaja, huh?!” tuduh Axel.
“Belajarlah untuk tidak selalu berpikir negatif tentangku. Andai kamu bisa menjaga mulutmu, semua ini tidak akan terjadi,” ucap Clarissa.
“Sekarang kau malah menyalahkanku? Really?” Axel mengangkat sebelah alis pada Clarissa.
“Lantas, kalau bukan kamu yang aku salahkan, siapa lagi? Mario? Bagaimana caranya aku menyalakan pria baik macam Mario?” Clarissa mulai memancing emosi suaminya.
Lihatlah bagaimana Axel menatap wajahnya saat ini. Pria itu seolah-olah ingin menerkam dirinya, namun Clarissa tak ada takut-takutnya sama sekali.
“Sudahlah, ayo, biar aku lanjut kompres punggungmu.” Clarissa meraih lengan Axel menuntun pria itu supaya kembali tengkurap di atas pahanya.
“Jangan pernah sebut nama Mario dihadapanku, apalagi kau sampai memujinya, Clarissa!” ujar Axel memperingati istrinya itu.
Sejenak, Clarissa terdiam; memandang lekat wajah tampan Axel. Kemudian menghela nafas. “Baiklah,” jawabnya singkat.
Clarissa adalah satu-satunya yang memiliki karakter unik di antara Blaxton-Blaxton yang lain. Itulah yang sering dikatakan oleh para keluarga, baik keluarga dekat maupun keluarga jauh.
Memiliki sikap tegas, tak kalah kejam dari kakak laki-lakinya. Namun, dibalik kedua sifat yang membuat orang-orang bergidik ngeri, ia memiliki jiwa peduli yang tinggi.
Contohnya seperti yang terjadi saat ini. Meskipun Axel telah menghancurkan masa depannya dalam waktu semalam, meskipun Axel telah menghina keluarganya dan terus-terusan membuatnya kesal, ia tetap peduli dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan terhadap pria itu.
Membuat Axel terluka karena emosinya yang meluap-luap, tetapi setelahnya ia tetap bertanggung jawab atas perbuatannya itu.
Sebenarnya tak ada niat sedikitpun di hati Clarissa untuk berbuat seperti ini terhadap suaminya itu. Namun apa boleh buat, karena Axel terus memancing emosinya.
Padahal harapan Clarissa adalah ingin hidup damai meskipun ia dan pria itu saling tak memiliki perasaan lebih antara satu sama lain.
Tidak mengapa andai Axel tidak menganggapnya ada, atau pria itu mengacuhkan dirinya. Asalkan jangan pernah menghina keluarganya dan melontarkan kalimat-kalimat buruk yang tidak disukai oleh Clarissa.
Tapi, sepertinya Axel tidak cukup mengerti akan bagaimana sifat istrinya itu. Sehingga pertikaian terus terjadi diantara mereka.
Seperti tadi, saling menyakiti bahkan nyawa hampir melayang.
“Kau pikir aku bermain-main, huh?” Jawaban singkat Clarissa tadi justru dianggap tidak serius oleh Axel. Entah apa maunya lelaki ini.
“Tidak, aku tahu kamu serius. Makanya aku menyanggupi,” sahut Clarissa. “Kurang baik apalagi aku? Aku tidak akan melakukan apapun yang tidak kamu sukai. Aku akan menjadi istri yang manis seperti yang kamu inginkan, asalkan jaga mulutmu,” ucap Clarissa.
Axel terdiam.
“Jika kamu banyak menuntut kepadaku, maka berbeda dengan aku. Hanya satu hal yang aku mau…” menjeda kalimatnya sejenak sembari memandang serius pada Axel. “Jangan bawa-bawa nama keluargaku, apalagi kalau kamu sampai menghinanya seperti semalam dan barusan. Aku tidak menjamin hal lebih buruk dari ini bisa terjadi diantara kita. Aku yang mati atau kamu!”
Deg!
Terdiam. Axel seolah-olah kehilangan kata-kata.
“Sekarang, coba kita bertukar posisi. Bagaimana perasaanmu ketika aku menghina keluargamu? Apakah kamu akan bersikap biasa saja? Masa bodoh tanpa menimbulkan rasa sakit di hatimu?” Clarissa menghela napas, lalu melanjutkan. “Aku rasa kamu gila jika yang terjadi seperti itu.”
Axel tetap mengatup rapat kedua bibir.
‘Baiklah. Untuk saat ini aku akan mengalah, Clarissa. Tapi lihat saja nanti ketika kau tinggal bersamaku. Akan ku pastikan matamu yang indah ini akan terus basah oleh air matamu!’ Monolog Axel dalam hati.
Rupanya lelaki ini masih dengan sejuta kebodohannya.
“Ayo, biar aku lanjutkan.” Clarissa kembali meraih lengan kokoh Axel, sehingga pria itu tengkurap seperti awal di atas pahanya. Tepatnya dadaa bidang Axel berada di atas paha Clarissa. Posisi seperti ini memudahkan kegiatan Clarissa dalam merawatnya.
Menit berlalu…
Selesai mengompres punggung Axel dan mengoleskan salep khusus luka memar di sana, pun Clarissa meminta Axel agar bangkit dari pahanya.
Obat dan perlengkapan yang digunakan oleh Clarissa mengompres punggung Axel didapatkan dari petugas hotel. Tadi, Clarissa menghubungi petugas hotel dan meminta kepada mereka semua yang ia butuhkan itu.
“Aku mau kembali ke Mansion nanti sore,” kata Clarissa tanpa melihat kepada Axel. Kedua tangannya sibuk membereskan beberapa barang yang berserakan di sampingnya.
“Mengapa terburu-buru? Kau tidak bisa jauh-jauh dari keluargamu, huh?!” sarkas Axel.
Menghentikan gerakan tangan, Clarissa beralih memandang Axel. “Memangnya kamu yakin ingin berlama-lama di tempat ini? Kalau aku … aku tidak masalah sama sekali, Axel. Yang aku cemaskan adalah kamu,” ucap Clarissa.
“Memangnya ada apa denganku, huh?!” tanya Axel dengan sinis.
“Aku takut kelepasan dan memasukkanmu ke dalam peti mati!” jawab Clarissa sambil menekan kalimatnya.
Axel menatap dingin. Dia beranggapan jika Clarissa sangat menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang pria.
Ah, Axel. Percaya diri sekali. Seperti punya harga diri saja. Sungguh, Axel yang malang.
Clarissa menyimpan benda-benda yang ia pakai tadi ke atas meja. Kemudian berdiri dari duduknya dan membawa langkah menuju kamar mandi. Masuk dan langsung menutup pintu.
Sedangkan Axel terus memandang hingga objek tersebut hilang di pandangan.
Mendesah kasar. Ia benar-benar lelah. Lelah dengan kehidupannya yang seperti ini.
Axel sempat memimpikan kehidupan bahagia bersama Caroline. Namun naasnya yang ia dapatkan malah Clarissa. Wanita bar-bar dan kurang ajar menurutnya.
Axel meringis saat menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa. Ia lupa jika punggungnya memar.
Menengadahkan wajah ke langit-langit dan membiarkan kedua matanya terpejam erat. Memijit pangkal hidung mancungnya, Axel merasa pusing.
‘Andai saja kau tidak pergi saat itu, mungkin saat ini kita sudah hidup bahagia dan memiliki anak.’ Monolognya dalam hati dan ditujukan kepada seseorang. Bukan Clarissa juga bukan kepada Caroline.
Entah, wanita mana lagi yang Axel maksud.
Ddrrttt…
Bastard Detective is calling…
Axel tiba-tiba tersentak akibat deringan ponsel milik Clarissa yang tergeletak di pinggir sofa. Keningnya tampak berkerut melihat pada benda pipih tersebut.
Penasaran dengan orang yang sedang menghubungi istrinya saat ini, pun dengan segera Axel mengulurkan tangan dan meraih benda pipih tersebut. Membawa ke depan wajah, ia menatap serius pada layar yang menyala.
“Bastar detektif?” gumamnya saat membaca nama kontak yang tertera pada layar canggih itu. “Siapa orang ini?” Kembali bergumam dan bertanya kepada diri sendiri.
Mendesah kasar. Axel menggeser tanda merah pada layar tersebut, sehingga ponsel pun seketika senyap. Lagi-lagi Axel dengan lancang menolak panggilan masuk pada ponsel milik istrinya.
Namun sialnya orang tersebut kembali menghubungi, membuat Axel berdecak kesal. Kali ini dia dengan terpaksa menggeser tanda berwarna hijau dan membawa ponsel menempel di telinga kanannya.
Sedangkan kedua netranya terarah pada pintu kamar mandi. Harap-harap cemas Clarissa akan keluar dari sana.
“Tidak biasanya kau menolak panggilanku, Baby Angel. Why?”
Gigi Axel seketika menggeletuk, sedangkan sebelah tangannya langsung terkepal kuat ketika mendengar ucapan pria di seberang sana.
“Siapa yang kau sebut -Baby Angel-?” tanya Axel dengan suara dingin.
Haning … Pria tersebut tidak langsung menjawab pertanyaan Axel, dan selang beberapa detik kemudian, suara berat Pria itu kembali terdengar di pendengaran Axel.
“Tentu saja aku menyebut pemilik ponsel yang saat ini sedang kau pegang. Memangnya siapa lagi!” jawab pria di seberang sana.
“Kau siapanya?!” tanya Axel.
“Aku ini adalah kekasihnya,” jawab pria itu.
Axel semakin dibuat kesal.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang aku ingin memberitahumu, bahwa kekasihmu itu sudah menjadi istriku. Sebaiknya jangan pernah hubungi dia lagi. Kau mengerti?!”
“Masalahnya, istrimu itu selalu membutuhkanku. Lantas, aku harus bagaimana?!” balas Pria tersebut.
Sebelum membalas, Axel melirik ke arah kamar mandi melihat pintu yang terbuka. Rupanya Clarissa sudah selesai.
Terlihat perempuan itu melihat ke arah Axel dengan kening berkerut. Lekas membawa langkah menuju suaminya saat melihat benda pribadinya menempel di telinga Axel.
Sesampainya di hadapan Axel, Clarissa hendak merampas ponselnya, namun Axel menahan pergelangan tangannya.
“Sekarang dia tidak akan membutuhkanmu lagi karena dia sudah memiliki suami. Dan sebaiknya berhenti hubungi istriku!” kata Axel membalas ucapan pria di seberang sana. Rahangnya semakin mengetat kuat ketika mendengar kekehan menyebalkan pria itu.
Tak ingin berlama-lama berurusan dengan orang yang menurut Axel sakit jiwa, pun akhirnya ia memutuskan panggilan secara sepihak. Kemudian menonaktifkan ponsel milik Clarissa.
“Mengapa kamu senang sekali mengutak-atik barang pribadi orang lain?” Clarissa berdiri di hadapan Axel sambil menatap jengah kepada pria tersebut.
“Semua yang kau punya adalah milikku, dan aku berhak atas semua itu. Kau, tubuhmu dan juga barang-barang milikmu!” balas Axel.
“Jadi, sekarang kamu mengklaim bahwa aku ini adalah milikmu?” Clarissa mengangkat sebuah alis.
“Ya. Bukankah usai pemberkatan pernikahan kita semalam, aku sudah mengklaim-mu sebagai milikku? Apakah kau lupa?” Axel juga mengangkat sebelah alis.
Clarissa mengedikkan bahu. “Ya, ingatanku cukup buruk jika itu menyangkut tentang dirimu,” balasnya sambil meraih paksa ponselnya dari genggaman Axel.
Hendak menjauh dari hadapan pria itu, namun sialnya Clarissa malah jatuh di atas pangkuan Axel akibat pria itu menahan pergelangan tangannya.
Sigap, Axel melingkarkan sebelah lengan kokohnya di pinggang ramping Clarissa.
“Segera akhiri hubunganmu dengan pria manapun. Kau bukan seorang gadis lagi, tapi kau adalah wanita bersuami, Clarissa,” ucap Axel dengan suara serak sambil menatap dingin pada Clarissa.
Clarissa terperangah ketika mendengar ucapan Axel. “Aku pikir kamu akan mengizinkanku untuk menjalin hubungan asmara dengan pria lain,” ia mengedikkan bahu, “ternyata kamu posesif juga, Axel.” Clarissa terkekeh pelan. “Kenapa? Kamu takut jika ada pria lain yang akan membahagiakan istrimu?” lanjutnya.
“Ya, aku takut, karena tujuanku menikahimu adalah hanya untuk membuatmu menderita bersamaku,” jawab Axel.
Lagi-lagi Clarissa terkekeh pelan. Membawa sebelah tangan menuju rahang tegas Axel, membelai lembut bulu-bulu halus di sana. “Semenjak kita menjadi pasangan suami istri, justru yang aku lihat di sini bukan aku yang menderita, tapi kamu. Kamu babak belur sampai membuatku bosan dan lelah mengobati luka-lukamu. Kamu yakin berniat membuatku menderita?” Mendorong pelan dengan gerakan sensual dadaa bidang Axel dengan kedua tangannya, hingga pria tersebut bersandar pasrah pada sandaran sofa.
Membawa tubuhnya mendekat pada Axel. Wajah Clarissa dengan wajah pria itu hampir tak berjarak.
“Aku tahu kamu kecewa dan sakit hati terhadap Caroline. Tapi, yang ingin aku ingatkan di sini, sebaiknya kamu relakan saja, Axel. Percuma kamu memelihara dendam dan sakit hati, karena keduanya hanya akan membuatmu menderita dan tidak tenang,” ucap Clarissa. “Jangan salah paham. Aku tidak mengharapkan apapun darimu, apalagi cinta. Tidak sama sekali.”
Axel terdiam. Merasakan deru nafas segar Clarissa menerpa wajahnya membuat sesuatu dibawah sana tampak menggeliat.
“Kita bisa hidup masing-masing tanpa harus bercerai. Kamu dengan duniamu, dan aku dengan duniaku. Aku yakin, kelak suatu saat nanti kamu akan mendapatkan wanita yang kamu inginkan. Wanita yang benar-benar tulus mencintaimu,” ucap Clarissa. Suaranya terdengar lembut, pelan dan nyaris tak terdengar.
“Aku tidak setuju dengan pendapatmu,” balas Axel. Sementara sebelah tangan menjalar ke belakang tubuh Clarissa, lalu meremas sensual bongkahan bokongg perempuan itu. “Kita tidak akan bisa hidup masing-masing. Aku bebas dengan kehidupanku, tapi tidak denganmu. Kau harus tetap mematuhi apapun yang aku katakan,” lanjutnya.
“Itu artinya kamu tidak membebaskanku?” tanya Clarissa. Berusaha mempertahan ekspresi akibat ulah tangan nakal Axel di bokongnya.
“Ya, tidak sama sekali. Kau tidak boleh berhubungan dengan pria manapun di luar sana,” jawab Axel dengan suara serak.
Semakin diperhatikan, wajah Clarissa semakin membuat miliknya ereksi di bawah sana.
“Baiklah kalau begitu. Itu bukan masalah besar bagiku. Semoga ingatanku selalu baik, supaya aku bisa mengingat terus apa yang tidak disukai oleh suamiku ini,” ucap Clarissa, kemudian mendekatkan wajah lalu mendaratkan bibir kenyalnya di atas bibir Axel; membuat pria itu terkejut.
Segera menjauhkan tangannya dari bongkahan bokongg Clarissa, Axel beralih menahan kepala perempuan itu.
Clarissa memejamkan kedua mata sembari mengulum bibir Axel. Ia merasakan pria itu memaksa masuk, pun Clarissa membuka bibirnya.
Memberi cela dan siap menampung lidah Axel di dalam mulutnya.
Clarissa yang belum terbiasa dan mahir berciuman, membuat gerakan bibirnya terasa kaku. Axel menyadari itu.
Wajar saja, sebab Clarissa adalah pencium amatiran. Ia hanya pernah berciuman bibir dua kali saja. Itu pun dia lakukan bersama Heros.
“S-Stop…” Clarissa menahan kedua sisi wajah Axel. Setelah melepas bibirnya, pria itu beralih menyerang lehernya. Axel sempat menghisap, sehingga menimbulkan jejak kepemilikan disana.
“Clarissa!” geram Axel. Keberatan, sebab kesenangannya di ganggu oleh istrinya ini.
Clarissa menepis tangan Axel yang hendak menjamah dadanya.
“Kamu ketagihan? Kalau memang benar, sebaiknya segera bersihkan otakmu ini, supaya kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau,” ucap Clarissa.
“Kau tidak berhak melarang, Clarissa!”
“Kata siapa aku tidak berhak, hm? Kata siapa, sayang?” Clarissa mengusap bibir Axel menggunakan ibu jarinya dengan gerakan sensual.
“Kamu tidak akan mendapatkan apapun dariku, sebelum kamu berubah! Dan asal kamu tahu, aku tidak tertarik dihentak hujam oleh pria yang penuh dendam seperti kamu.” Clarissa berdiri dari pangkuan Axel. Menghindar saat pria itu hendak meraih tubuhnya.
Menyambar ponselnya di samping Axel, kemudian Clarissa membawanya langkah menuju nakas samping ranjang.
Sementara Axel terus memperhatikan tanpa berkedip. Pria itu sepertinya penasaran dengan apa yang hendak dilakukan oleh istrinya itu.
Membuka laci nakas, Clarissa mengambil sebungkus rokok dan juga pemantik dari dalam sana.
Axel mengerutkan kening sambil memperhatikan.
Clarissa mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusannya, lalu diselipkan di antara bibir ranumnya.
Membakar ujungnya dengan pemantik ditangan sambil menghisap, supaya ujung rokok tetap terbakar. Kemudian, Clarissa melempar bungkus rokok tersebut bersama dengan pemantiknya ke atas ranjang.
Clarissa membawa langkah menuju pintu balkon sambil menghembuskan asap rokok yang mengepul dari mulutnya.
“So sexy!” gumam Axel, tanpa sadar saat mengucapkan kalimat tersebut.
Menelan saliva saat memperhatikan istrinya disana yang sedang menghisap batang rokoknya dan mengepulkan asap dari bibir ranumnya.
***