Jangan!

2318 Kata
Ł Hari ini Kharisma memutuskan untuk bawa bekal makan siang saja dari rumah. Bukan ia punya niat untuk menghindari proses sosialisasi dengan anak lain karena tidak pergi ke kantin. Atau tidak makan bersama dengan para siswa lain. Ia hanya merasa bahwa ini akan jadi cara paling efektif untuk lakukan pendekatan pertama dengan anak aneh yang tidak punya teman dan anti sosial itu. Logikanya saja Mercy itu sama sekali tidak pernah makan di sekolah. Yang akan ia konsumsi setiap saat hanya bacaan yang terlihat sangat berat dan membingungkan itu saja. Kharisma yakin tak akan ada perkembangan berarti dengan misi yang tengah ia emban jika ia tak memikirkan cara lain untuk lakukan manuver. Habis anak itu aneh sekali, sih. Berusaha dekatinya dengan cara yang biasa diguankan untuk menghadapi manusia normal lain tentu akan jadi sangat salah kaprah. Saat bel istirahat telah berdering ia segera menyantap bekal yang ia bawa. Hanya makanan sederhana berisi nasi uduk dengan lauknya yang biasa seperti kering tempe, bihun goreng, telur dadar, sambal merah dan sebagai macamnya yang sangat nikmat. Setelah usai dengan makanannya, merasa kenyang, dan mengucapkan syukur atas makanan yang baru disantap. Ia segera bergegar untuk melesat ke tempat di mana Mercy biasa nongkrong yaitu tak lain dan tak bukan... perpustakaan. Drapdrapdrap. Grep, tiba-tiba ia rasa satu tangannya dipegang oleh seseorang yang menahan ia lanjutkan perjalanan. “Kharisma ada apa, sih? Kenapa kamu kok kelihatannya buru-buru sekali? Kenapa mau langsung mau cabut aja seperti itu?” tanya Laurel, pelaku tindakan yang menahan langkahnya terus berjalan. “Maafkan aku ya temen-temen, aku sedang ada urusan yang harus segera diurus dan diselesaikan,” jawab Kharisma sebelum satu tangannya dengan lembut busaha lepaskan tangan gadis itu dan kembali melesat ke luar kelas. “Urusan apa coba yang dia punya dan tidak dikatakan pada teman-temannya?” balas Laurel sedikit sewot. Merasa memang sepenting apa sih urusan yang anak itu punya? Rasanya tidak ada yang sepenting itu, deh. Apa jangan-jangan Kharisma sedang rahasiakan sesuatu, ya? “Ah, sudahlah. Mungkin Kharisma memang punya urusan yang ingin ia urus dan selesaikan sendiri. Kita tidak perlu terlalu mencari tahu atau ikut campur juga, kan,” kata Sera berusaha menenangkan kegundahan yang tampak jelas terpancar dari wajah gadis di dekatnya. Ia hanya menyunggingkan senyum kala melihat kepergian anak remaja laki-laki itu. Sejujurnya, ia sendiri berharap bisa jadi teman Mercy. Tapi, terlalu banyak hal yang sampai saat ini ia rasa masih perlu dipertimbangkan dengan baik. Semoga Kharisma berhasil, doanya dalam hati. Kharisma segera melesat menuju gedung perpustakaan. Gedung perpustakaan Apocalypse High School lumayan besar. Terdiri dari tiga lantai. Koleksi bukunya pun ada ribuan. Buku-buku lawas, buku-buku baru, n****+ sampai ensiklopedia, semua ada. Tak heran tempat itu menjadi surga bagi pecinta ilmu pengetahuan seperti Mercy. Sejujurnya, ini pertama kali Kharisma punya keinginan untuk pergi ke gedung perpustakaan. Bisa dibilang ada terlalu banyak buku di sana sampai rasanya bisa buat dua bola mata anak remaja itu vertiga kalau dipaksa terus melihat. Bacaan sendiri merupakan salah satu hal yang paling buat pusing untuk dirinya pribadi. Karena apa? Tentu saja karena ia bukan orang yang suka membaca dan kegiatan apa pun turunannya seperti menulis dan yang lain. Di zaman seperti ini Kharisma akan merasa jauh lebih nyaman untuk mendengar saja semua yang diajarkan dan dengan cara begitu akan buat ia jauh lebih mudah memproses informasi. Menulia dan membaca hanya hal melelahkan yang terlalu banyak memakan tenaga. Paling tidak begitulah yang ia pikir tentang dua kegiatan itu. Tentu berbanding terbalik sekali dengan seorang siswa yang sedang ia incar sekarang. * Tak jauh dari sana, sangat berlawanan dengan Kharisma, Mercy tengah duduk sambil membaca suatu buku di atas meja. Spot baca yang jadi favoritnya sendiri dan tak akan pernah luput ia sambangi adalah meja baca yang ada di lantai dua, posisinya sendiri cukup dekat dengan tangga hingga lebih nyaman untuk semuaanya. Ada meja dan kursi yang berada tepat di sisi jendela. Cahaya dari jendela merupakan penerangan yang baik untuk matanya yang tak lagi sehat karena kekurangan nutrisi dan terlalu banyak, beberapa kali atau sering kali, ia pakai membaca baik buku atau bacaan dari elektronik di tempat kurang cahaya hingga buat semua jadi tidak baik. Hal itu sendiri cukup buat Kharisma sempat merasa bingung saat harus mencari keberadaan anak itu. Setelah berusaha sebentar dan tak temukan jawaban akhirnya ia pun menghampiri Feng, siswa yang hari ini menyandang tugas sebagai asisten petugas perpustakaan di meja petugas perpustakaan. “Hei, Feng, kamu lihat Mercy di sekitar sini atau tidak?” tanya Kharisma dengan intonasi suara datar. Ia sebenarnya tak begitu tertarik membahas apa pun terkait anak aneh itu dengan siapa pun temannya. Ia takut perintah aneh dari Bu Citra yang ketidakmampuannya penuhi perintah itu malah bisa buat ia jadi dipandang sebelah mata. Itu sangat menyebalkan dan cukup mengkhawatirkan. Feng yang sedang membaca buku sambil mengerjakan sebuah catatan tampak langsung terusik oleh pertanyaan yang Kharisma lontarkan. Dengan malas ia menjawab, “Coba kamu lihat saja yang ada di monitor itu. Semua siswa yang datang ke sini harus memasukkan nama dan identitas mereka lewat kartu perpustakaan di sana.” Ni orang nggak nyambung, batin Kharisma kesal. “Kamu ngeliat Mercy apa nggak?!” tanya Kharisma lagi karena tampaknya orang yang sebenarnya tak ingin diusik di sini itu bukan hanya Feng saja. Kharisma pun aslinya sangat malas karena harus buang-buang waktu lakukan sesuatu yang ia rasa tak begitu penting sebenarnya. Tapi, gara-gara Bu Citra, ah ada-ada saja. Feng langsung menghela nafas sambil menutup buku yang tengah ia baca dan buku catatan yang barusan ia isi. Dengan terpaks menjelaskan, “Biasanya anak itu akan membaca beberapa buku di lantai dua tepatnya meja nomor tiga. Cari aja ke sana. Tempatnya ada di dekat jendela,” beritahu Feng pada akhirnya. “Terima kasih,” ucap Kharisma. Ia segera ingin beranjak dari meja jaga Feng. Namun... “Untuk apa kamu sampai ingin menemui anak itu?” tanya Feng sejuru menghentikan langkah Kharisma dan buat ia menoleh kembali ke arah meja jaga. Dihentikan lagi langkahnya. Benar juga. Sekali seminggu Feng sebagai anggota komite perpustakaan miliki kewajiban menjadi asisten petugas perpustakaan. Dia pasti sering membuat kontak dengan Mercy. Dia bisa jadi ladang informasi, batin Kharisma. “Menurut kamu Mercy tuh anak yang gimana?” tanya Kharisma melihat Feng. Area sekitar sana cukup sepi hingga buat ia merasa lebih santai kalau haus bercengkrama dengan anak lain menyangkut hal ini. “Yang satu kelas sama dia kan kamu. Kok malah nanya sama aku,” jawab Feng dengan raut wajah tidak peduli, hendak kembali menulis catatannya. “Udahlah, jawab aja pertanyaanku,” ucap Kharisma lagi. Ia malas juga jelaskan sesuatu yang tak penting sekalipun pada orang yang mungkin berguna seperti Feng. “Dia anak yang baik dan tidak macam-macam. Aku cukup sering ngobrol sama dia kalau sedang kebagian tuas jaga,” jawab Feng pada akhirnya karena malas juga berdebat dengan Kharisma karena alasan sepele seperti itu, "Begitu saja, sih," lanjutnya. What?! “Kamu ngobrol sama dia? Mercy bisa ajak dia ngobrol? Gimana cerita?” tanya Kharisma cukup kaget. Habis sepahamnya kan ya Mercy itu anak yang sangat jarang mengeluarkan suara atau bicara. Boro-boro sampai mengobrol. Akhirnya Feng pun kembali menjawab walau dengan sangat terpaksa, “Setiap bulan perpustakaan selalu memperbarui, menambah, atau merolling buku yang akan dipajang di rak. Itu adalah tugas dari komite perpustakaan. Dari semua buku yang masuk, komite perpustakaan bertugas membuat risalah atau kajian isi buku.” Glek! “Kalian membaca semua buku itu?” tanya Kharisma hanya bisa bergidik kala mendengarnya. Baru membayangkan saja rasanya ia sudah pusing karena tidak bisa mengertti di mana serunya kegiatan itu. “Tepat sekali. Tugas kami memutuskan apakah buku itu akan layak dibaca oleh anak sekolah ini atau enggak. Nah, Mercy itu salah satu siswa yang paling rajin dan biasa nanya soal buku apa saja yang baru masuk di perpustakaan. Dan tugas kami juga salah satunya adalah beri saran atau usulan untuk buku yang memenuhi ekspektasi siswa. Entah untuk masalah tertentu di luar kehidupan sekolah maupun yang ada hubungannya dengan pelajaran,” terang Feng menunjukkan aura kepintaran memancar kuat dari sekujur tubuhnya. Kharisma auto pusing dengar semua penjelasan Feng. Tak ia sangka komite perpustakaan ternyata punya tugas dan kewajiban yang seberat itu. “Kamu punya saran atau tidak gimana cara paling baik agar aku bisa ngobrol panjang lebar dan seru sama dia?” tanya Kharisma lagi pada akhirnya. Setelah pusing mendengar pengalaman harus membaca ini dan itu yang hanya akan buat ia vertigo dan pingsan di tempat rasanya. “Umm, aku rasa kamu harus membaca suatu buku. Mercy paling seneng diajak diskusi maupun debat tentang suatu buku. Aku sering ngelakuin hal itu sama dia,” saran Feng. Kharisma bertanya, “Apa ada judul buku yang kamu rekomendasikan? Kalau bisa jangan yang terlalu tebal.” “Masuklah ke sini. Akan aku tunjukkan beberapa macam buku yang sudah maupun sering Mercy baca,” ajak Feng sambil mengayunkan beberapa jemari. Dengan berat hati Kharisma memutuskan untuk masuk ke bagian dalam meja jaga perpustakaan. Ada beberapa buku sedang tertumpuk di sana. Bisa jadi mereka adalah para buku yang sudah maupun akan Feng baca. Berada di belantara buku dan ilmu benar-benar hanya buat dia merasa sangat pusing. Di layar komputer Feng, Kharisma melihat deretan buku yang pernah Mercy pinjam dari perpustakaan ini. Buku dengan berbagai macam tema dan bahasan seperti hukum, politik, filsafat, antariksa, geologi, sejarah, sosial, psikologi, dll. Namun, untuk Kharisma membaca genre bukunya saja yang ada sudah bikin malas. Melihat judulnya yang rata-rata pakai bahasa asing makin makin malasnya. Apalagi kalau harus sampai baca apa saja isinya. “Semua buku ini rata-rata tebalnya berapa halaman?” tanya Kharisma. “Tidak terlalu tebal, kok. Paling biasanya hanya di atas tiga ratus halaman,” jawab Feng enteng. Eh buset, batin Kharisma langsung pusing. “Dia nggak pernah baca n****+ komedi atau apa gitu yang jauh lebih tipis dan terjangkau untuk otakku?” tanya Kharisma. “Pernah sih. Tapi Mercy nggak pernah meminjam buku semacam itu. Dia selalu membaca n****+ dengan sekali duduk. Jadi aku nggak punya catatan apa pun menyangkut hal itu,” jawab Feng. “Oh begitu ya. Kalau begitu terima kasih, Feng,” ucap Kharisma. Tak bisa ia bayangkan kalau harus sampai baca buku setebal itu hanya untuk memulai sebuah percakapan dengan seseorang. Mana bukunya tidak ada yang menarik sama sekali lagi. Maka Kharisma pun memutuskan cara cepat agar bisa segera memulai obrolan dengan Mercy. Apakah itu? Ia ambil sebuah n****+ komedi yang cukup tipis dari salah satu rak. Ia melesat ke meja nomor tiga di lantai dua untuk menemui anak yang sedang membaca dengan sangat serius itu. Sebelah tangannya menarik keluar sebuah kursi. Ia duduki kursi itu dengan wajah yang dibuat tampak serileks mungkin. “Kamu udah pernah baca buku ini atau belum?” tanya Kharisma sambil menyodorkan n****+ komedi berjudul Nenek Gayung Vs. Eyang Subur itu. Dari judulnya saja sudah buat ngakak. Apalagi isinya, batin Kharisma. Mercy mengangkat kepalanya dari bacaan yang tengah ia geluti. “Udah kok. Aku baca n****+ ini buat pelepas suntuk. Isinya lumayan lucu.” “Kamu ketawa apa nggak?” tanya Kharisma. “Ketawa kok,” jawab Mercy datar. Mercy melanjutkan membaca. Obrolan yang sempat Kharisma harap akan berkembang jadi menarik yang ada malah jadi garing nista. “Aku baru tau soal tugas komite perpustakaan. Aku yakin buku yang dia baca lebih banyak dari kamu. Tapi kenapa kamu bisa semencolok itu ya pengetahuannya?” tanya Kharisma memutuskan to the point saja pada akhirnya. Sudahlah. Karena nggak tau mau ngomong apa, ngomongin apa aja. Sambil tetap membaca, Mercy menjawab, “Tugas baca komite perpustakaan itu dibagi sepuluh gelombang. Jadi dari seratus buku yang masuk, satu orang cuma baca sepuluh.” Mercy menghentikan ucapannya dan kembali serius membaca. Kharisma mengerti. Jadi itu kenapa Mercy bisa lebih berwawasan ketimbang anggota komite perpustakaan. Bisa dibilang, dia bicara begitu karena membaca seratus buku yang masuk. “Sebenernya aku nggak baca semua buku. Hanya yang buat aku menarik aja. Tapi jumlah itu tetap lebih banyak ketimbang tugas baca satu anggota komite perpustakaan,” beritahu Mercy lagi. “Apa ada yang lain?” tanya Kharisma. “Aku selalu mencatat semua informasi yang aku dapat dari tiap buku yang habis aku baca. Mungkin itu kenapa ingatanku lebih baik ketimbang anggota komite perpustakaan. Mereka semua kan hanya baca buku karena tugas dan bukan benar-benar tertarik,” jawab Mercy. Masuk akal juga, batin Kharisma. “Aku masih bingung sama satu hal. Kalau wawasan kamu bisa seluas itu, kenapa nilai kamu standar? Dengan kemampuan otak sebrilian itu seharusnya kamu juga brilian di pelajaran,” tanya Kharisma lagi. “Nilai itu kan hanya tolak ukur. Aku nggak gitu peduli sama hal yang menyangkut prestis. Yang penting apa yang ada dalam otakku. Dan lagi, aku nggak suka belajar. Aku cuma suka membaca,” jawab Mercy dengan kerennya. Kharisma bertanya lagi, “Apa membaca segitu pentingnya buat kamu? Sampai melupakan sosialisasi dan keberadaan orang lain.” “Bukannya nggak mau bersosialisasi. Gimana ya… Susah diucapkan dengan kata-kata. Kamu sendiri kan tau, aku ini nggak bisa ngomong. Tapi bukan berarti nggak bisa bicara,” respon Mercy. “Dasar obrolan itu memang memahami topik yang diobrolkan, sih. Memang apa penyebab kamu nggak bisa memahami topik obrolan kami?” tanya Kharisma. Mercy menjawab, “Alasannya hanya karena kita nggak membaca buku yang sama.” “Dunia nggak terlalu sempit untuk hanya dilihat dari sudut pandang suatu buku,” protes Kharisma. “Sejak usia satu sampai tiga belas tahun aku terkurung di suatu tempat. Di tempat itu yang aku lakukan hanya membaca. Apa kamu bisa mengerti perasaanku yang tiba-tiba harus terjun ke dunia di luar buku?” tanya Mercy. Inilah yang disebut sindrom pembaca. Saat di mana seorang pembaca tak bisa lagi keluar dari dunia buku yang dibacanya. Saat di mana seorang pembaca mulai terpengaruh atau bahkan mengikuti cara hidup tokoh dari buku yang dibacanya. “Kalau kamu mau keluar, aku bisa membimbing kamu keluar,” tawar Kharisma merasa mulai dapatkan jalan keluar untuk masalah peliknya menyangkut obsesi Bu Citra. “Gimana caranya?” tanya Mercy. Kharisma menjawab, “Jangan menolak kami!” "Menolak...?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN