Ł
Apocalypse High School tahun 2067.
“Kharisma, kamu itu kan siswa yang punya tugas sebagai ketua kelas. Bisa tidak kamu bantu anak itu agar punya punya teman?” tanya, pohon, sekaligus perintah Bu Citra. Sepertinya sudah lebih dari satu tahun jadi wali kelas anak itu pasti membuatnya sadar akan masalah yang sedang salah satu siswanya tersebut alami dalam kehidupan sosialnya. Sebagai seorang wali kelas Bu Citra merasa miliki tanggung jawab untuk kembali arahkan anak tersebut ke jalur hidup yang benar terlepas dari masalah apa pun yang sedang ia hadapi sekarang yang sampai buat kondisinya jadi terlihat sangat menyedihkan seperti itu.
“Bukannya saya mau menolak atau tidak berkenan menjalankan tugas yang Anda berikan selaku posisi saya sebagai seorang ketua kelas, Bu Citra. Tapi, rasanya itu memang anak itu saja yang sama sekali nggak mau bersosialisasi dengan anak lain. Kan hal itu buat kami, khususnya saya pribadi juga jadi sangat bingung. Apa yang terjadi padanya tak berlebihan jika disebut sebagai anomali air dan minyak. Saat kami ingin mendekat ia bersikap acuh tak acuh dan yang ada malah makin menjauh. Saat ia diam dan tak ingin lakukan interaksi apa pun lantas apa yang bisa kami lakukan terkait hal itu? Walau ketua kelas bukan berarti saya juga punya abilitas untuk mengendalikan apa yang tiap warga kelas saya ingin lakukan bukan, Bu Citra? Saya tidak tau apa yang harus saya lakukan menyangkut pilihan hidup yang ia ambil sendiri,” respon Kharisma sampai menjelaskan panjang lebar soal apa yang sebanrnya ia atau bahkan bisa jadi juga banyak anak lain rasakan mengenai anak pendiam, aneh, dan tidak suka bicara itu.
“Apakah itu berarti dengan kata lain kamu merasa akan jadi jauh lebih baik untuk biarkan anak itu bersikap seperti itu?” tanya Bu Citra dengan tatapan menantang idealisme yang baru saja panjang lebar ketua kelasnya di kelasnya itu ucapkan. Ayo, bisa bicara apa lagi kamu kalau sudah ditanyai seperti itu? Atau jangan-jangan ya kamu memang hanya ingin lari saja dari tanggung jawab yang harusnya kamu emban. Apakah itu sikap yang baik untuk disandang oleh seorang pemimpin di masa seperti ini? Yakin? Seirus?
Namun, berbanding terbalik dari apa yang baru saja Bu Citra pikirkan panjang kali lebar juga dalam pikirannya soal anak didiknya atu itu, Kharisma menjawab dengan yakin dan percaya diri, “Yah, bukannya saya ingin biarkan anak itu jadi begitu juga ya, Bu Citra. Namun yang jadi fokus saya di sini adalah jika memang hal itu yang terbaik ia pikir untuk dirinya yang mana bisa jadi itu juga merupakan yang terbaik untuk kami juga tentunya, saya rasa seharusnya tak ada masalah yang harus kita bahas dan kulik terus atau ingin diselesaikan. Memang apa yang ingin diselesaikan kalau sudah seperti itu?”
“Jadi, apa menurut kamu hidup tanpa bersosialisasi itu baik untuk seseorang?” tanya Bu Citra lagi. Memancing sisi kritisi anak remaja laki-laki di hadapannya.
“Saya tidak akan bilang atau merasa bahwa hal seperti itu merupakan suatu kebenaran. Tapi saya rasa semua yang ia lakukan ya merupakan kebutuhan individunya saja. Saya tidak ingin atau merasa punya hak untuk terlalu banyak ikut campur dalam kehidupan yang ia jalani sendiri jika saja hal itu bisa buat dia sampai tak nyaman. Jika itu yang terjadi maka hal baik yang baru ssaja Bu cotra rencanakan semua akan jadi gagal total, 'kan? Kami bersikap biasa saja dengan dia, kok. Hanya karena tak menjalin pertemanan yang normal seperti orang kebanyakan bukan berarti kami juga memusuhi atau membenci dia. Bukankah semua itu saja sudah lebih dari cukup untuk dilakukan, Bu Citra?” tanya Kharisma sambil lagi lagi menjelaskan panjang lebar alasan di balik semua tindakan yang telah ia lakukan bukannya ia lakukan karena insting atau kebencian semata melainkan memiliki dasar logika yang bisa ia pertanggungjawabkan pengentasannya.
“Kharisma, apa kamu pernah memikirkan kiranya apa hal yang bisa sampai buat ia sampai punya sikap seperti itu?” tanya Bu citra yang tampaknya belum menyerah dengan keyakinan yang ia punya. Menurutnya anak itu memang "istimewa" dalam artian lain sampai bisa begitu banyak memancing antusisasmenya untuk membantu dan ikut menyelesaikan juga. Apakah di balik semua hal yang ia lakukan sebenarnya ia memiliki suatu hal besar yang disembunyikan?
“Yah, sederhananya mungkin saja dia hanya punya semacam idealisme atau keyakinan unik yang tak bisa kami terima. Masing-masing dari kami atau bahkan manusia secara garis besar juga saya rasa seperti itu, kok. Kami dan semua orang di dunia ini rasanya punya sesuatu yang mungkin tak selalu bisa dipahami oleh orang lain. Hal yang hanya ingin kami pikirkan sendiri, lakukan sendiri, bayangkan dan rasakan sendiri tanpa keberadaan campur tangan orang lain yang sudahh pasti tidak akan bisa selalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Manusia itu kan semuanya memang terlahir sangat berbeda, Bu Citra. Karena itu saya rasa bahwa akan jadi jauh lebih baik bahwa kita semua tidak perlu merasa punya hak untuk saling mengusik atau menyakiti,” jawab anak remaja itu tegas, lugas, panjang lebar sangat jelas sekaligus karismatik seperti nama yang ia punya, Kharisma.
“Bagaimana jika ternyata ia sampai miliki sikap seperti itu hanya karena tidak bisa? Bagaimana kalau sebenarnya dia sangat membutuhkan seseorang untuk menghampirinya terlebih dahulu? Bagaimana jika sebenarnya dia orang yang menyenangkan?” tanya Bu Citra lagi memancing anak remaja lelaki di depannya untuk kembali berpikir dan merangkai kata yang ia harap bisa memuaskan rasa ingin tahu dan kepenasarannya. Tidak bisa diganggu gugat lagi karena memang itu yang terjadi. Bu Citra sangat membutuhkan seseorang untuk bertukar pikiran soal masalah yang sedang ia alami bahkan dengan cara paling rumit sekalipun.
Kharisma menjawab lagi, “Saya tidak pernah dan rasanya tidak akan pernah memikirkan semua yang baru saja Anda sebutkan, Bu Citra. Karena saya pun hanya seorang anak remaja biasa yang tidak merasa cukup punya abilitas untuk lakukan penilaian pada semua hal yang terjadi di sekitar saya. Terlebih apa yang terjadi atau mungkin dirasakan oleh tiap orang yang ada di dalamnya. Saya tidak semaha kuasa itu untuk lakukan semua hal tersebut jadi mohon pengertiannya, Bu Citra,” pinta anak remaja lelaki itu lagi seraya menundukkan sedikit wajah meminta agar paling tidak wanita di depannya bersedia bermurah hati untuk hentikan percakapan yang sudah sangat buat ia lelah seperti ini.
Bu Citra langsung membalas, “Semua hal tentang idealisme yang kamu bicarakan barusan saya yakin hanya merupakan suatu omong kosong, Kharisma. Kamu sama semua anak lain itu saya rasa sama saja. Kalian mengacuhkan dan tidak pernah memperhatikan keberadaan dia. Bagaimana jika yang terjadi sebenarnya adalah dia tak pernah bicara karena merasa seluruh hidupnya merupakan sesuatu yang sangat hampa dan tak miliki makna karena betapa kosong dunia yang ia jalani selama ini dengan semua orang yang ada di sekitarnya? Bukankah kalian sebagai temannya, sebagai orang yang ada di dekatnya itulah yang harusnya berikan ia warna? Berikan dunianya yang gelap sesuatu uluran tali agar bisa terus bertahan dan berdiri. Tapi semua itu yang ada hanya tidak pernah terjadi. Apa yang kalian semua lakukan tak lebih dan tak kurang hanya merupakan sikap berkutat dengan warna yang kalian miliki sendiri. Kalian semua itu sangat aphatis dan tidak peduli. Bagaimana bisa kamu pertanggung jawabkan hal itu, Kharisma?” tanyanya usai balas menuturkan apa yang sebenarnya ia pikirkan secara panjang lebar dalam satu kalimat yang bahkan tak ia sela untuk mengambil nafas.
Mendengar semua itu yang mana sudah cukup buat kedua telinganya terasa panas dan tidak enak Kharisma pun segera membalas sebelum lupakan semua yang ingin ia katakan, “Saya tidak akan menyangkal semua yang sudah Bu Citra ucapkan barusan itu. Tapi saya juga tidak bisa sepenuhnya menerima pola pikir yang Ibu tuturkan pada saya secara seenaknya tanpa memandang atau memeprtimbangkan apa yang sebenarnya sudah saya alami. Kami semua merasa sudah cukup lakukan yang terbaik agar tak perlu ada yang terluka, Bu Citra. Baik kami maupun anak itu semua merupakan keputusan paling baik yang bisa kami ambil.”
Wanita itu langsung tersenyum dengan wajah meledek. berkata, “Saya sama sekali tidak percaya pada ucapan semacam, tak perlu ada yang terluka di antara kami. Semua isi otak manusia yang tidak satu paham itu sangat mudah untuk ditebak. Mungkin kalian tidak sadar karena sibuk dengan berbagai macam anggapan baik soal diri kalian sendiri. Tapi kalian sudah membuang anak itu dari hidup kalian.”
Kalau dipikir lagi mungkin itu ada benarnya juga. Untuk selanjutnya aku memutuskan diam, pikir Kharisma saat ia sudah mulai malas melanjutkan debat kusir tak berujung ini.
Bu Citra berkata lagi, “Kalian telah menyisihkan dia. Akui saja lah, Kharisma. Saya selalu dengar dari guru mata pelajaran yang mengajar di kelas kalian. Terutama saat pembagian kelompok kerja. Kenapa selalu dia yang tidak dapat?” tanyanya dengan tampang menantang.
Kharisma menjawa, “Itu karena…” mulai kesulitan.
“Karena kalian sebenarnya sangat aphatis dan tidak pernah peduli. Kamu sudah sok sekali dan percaya diri soal bicara panjang lebar tentang rasa nyaman bersama. Tapi kamu sama sekali tak menganggap anak itu sebagai teman atau bagian dalam hidupmu yang perlu untuk dipertahankan. Kalian juga tak pernah mengajak dia bicara, kan. Masih mau mengelak? Mau mengelak bagaimana lagi?” tanya Bu Citra merasa dirinya mulai berdiri di atas angin dalam perdebatan dengan salah satu siswa paling jago debat di sekolahnya ini.
“Baiklah, Bu Citra. Ini tanggung jawab saya sebagai ketua kelas. Saya akan berusaha untuk memenuhi semua keinginan Ibu,” ucap Kharisma pada akhirnya melihat sudah tak ada lagi kesempatan untuk pertahankan pendapat di hadapan orang dewasa yang sangat kolot seperti Bu Citra.
“Ini bukan keinginan saya. Kamu harus melakukannya sebagaimana ini merupakan keinginan kamu sendiri,” perintah wanita berwajah tegas itu lagi.
“Baiklah. Saya akan mencobanya, Bu Citra,” jawab Kharisma sudah malas beradu argumen. Wanita itu pikir berbicara sebanyak itu tidak pakai tenaga apa?
Dan resmilah Kharisma harus menerima tugas membosankan dari salah satu gurunya itu.
Ł
Nilai anak itu sendiri bukan merupakan yang paling baik di kelas, apalagi di selurun sekolah. Malahan, mayoritas nilai sekolahnya cenderung sangat buruk. Ia selalu menempati ranking paling rendah dari setiap ujian yang diadakan sekolah.
Semua anak mengetahuinya. Ia sangat lemah di pelajaran. Di olah raga, memasak, dan seni pun ia tak bisa diandalkan. Bisa dibilang, ia orang yang nyaris tidak berguna. Aku yakin ia sendiri tau jika dirinya memang sangat tak berguna.
Haha.
Tapi kenapa Bu Citra sampai bertindak sejauh ini untuk murid setidak berguna dirinya?
Tidak berguna dan tak bisa diandalkan hanya ungkapan yang kami gunakan, para pelajar. Sebenarnya semua orang tau ia anak paling cerdas di sekolah ini.
Masalahnya hanya, kecerdasan macam apa?
Ia memang tak pernah bicara. Tapi bukan berarti ia tak melakukan apa pun seperti ikan mati. Ia selalu membaca sepanjang waktu. Mungkin itu juga alasan kami enggan mengusiknya. Ia terlihat selalu serius ketika sedang membaca.
Ketika guru menjelaskan di kelas, ia hanya sesekali memperhatikan. Sebagian besar waktunya digunakan untuk membaca. Ketika waktu istirahat dan semua orang harusnya pergi makan, ia akan membaca. Ia terus saja membaca dengan mata ikan busuknya itu.
Otaknya seperti tak bisa diisi oleh apa pun kecuali isi dari buku-buku yang ia sukai.
Ia sangat fasih ketika diajak membicarakan berbagai macam topik berat. Para orang dewasa di sekitar kami, khususnya para guru, gemar bercakap dan bertukar pandangan dengan anak itu. Bu Citra sendiri Kharisma rasa tak merasa sedang berbicara dengan muridnya ketika sedang berbicara dengannya.
Mungkin sebenarnya merekalah yang tidak setara dengannya. Pikirannya bisa dibilang terlalu tinggi dan tidak tertebak. Selamanya, dua orang dari dunia berbeda sepertiku dan dirinya, mustahil bersatu. Apalagi berteman.
Namun Kharisma harus tetap memenuhi tanggung jawab yang diberikan oleh Bu Citra.
Bagaimana ini? Kehidupan remaja normal Kharisma bisa hancur berantakan. Alasan Kharisma sebenarnya berusaha menolak permintaan Bu Citra adalah, ia tak ingin terlibat dengannya. Sekarang ia malah harus jadi temannya.
Apa yang harus Kharisma lakukan?
“Kayaknya kamu jadi lebih pendiem hari ini. Ada apa?”
Sekarang aku sedang menyendiri di belakang sekolah. Kharisma ingin puas berpikir dan sebenarnya sangat tidak ingin diganggu. Kharisma sama sekali tidak menyangka Sera akan ke sini juga dan tertarik dengan keadaanku.
Merepotkan saja.
“Aku sedang ada masalah,” jawab Kharisma.
“Masalah apa?”
“Bu Citra khawatir karena Mercy nggak punya temen,” jawab Kharisma.
“Mercy, Mercy Adiratna Martaka?” tanya seorang temannya.
Kharisma langsung menjawab, “Yaiyalah, nggak ada anak lain yang namanya Mercy di sekolah ini.”
“Terus kamu disuruh jadi temannya?” tanya anak itu lagi.
Kharisma menjawab, “Aku juga sendirinya masih sangat bingung menyangkut soal itu. Masih belum kepikir gimana cara mendekati dia.”
Si teman langsung merasa seperti ada lampu pijar menyala di otaknya lantas brkata, “Aku punya ide. Gimana kalau kamu…”
"Apa?" tanya Kharisma.