Dara membuka tirai di jendela kamar hotelnya, lalu berdiri di depan kaca tebal yang melindunginya agar tidak bisa lompat. Melihat pemandangan dari lantai atas.
Dara sekamar dengan Dila karena kakaknya itu yang meminta. Katanya, Dila tak mau sendirian. Dara setuju untuk menemani. Karena mungkin ini akan menjadi kesempatan terakhir untuk mereka bisa sekamar bersama-sama sebelum Dila menjadi Nyonya Hartono
Hotel yang ditempati Dara, Dila, dan ibunya sama seperti hotel yang ditempati oleh keluarga Arik.
Jessy, adik bungsu Arik yang terlahir kembar, beberapa saat lalu bertemu dengan Dara di lift ketika Dara akan naik ke kamarnya. Jessy mengatakan agar Dara ikut ke sebuah bar nanti malam untuk melakukan pesta bujang Arik.
“Bukannya yang ikut pesta cuma cowok-cowok aja?” tanya Dara kepada Jessy, memastikan.
Jessy menjawab, “Ini pesta bujang yang diadakan keluarga, dan kak Arik gak terlalu punya banyak teman—jadi dia mau melakukannya dengan keluarga dan orang terdekat aja.”
Akhirnya Dara setuju. Ia berharap nanti di pesta bujangnya Arik tersedia minuman beralkohol. Atau jika tidak ada, Dara akan memesan milkshake sampai perutnya kembung.
Benar seperti dugaan Dara, ketika datang ke bar yang dimaksud oleh Jessy, adiknya Arik itu berpakaian seperti Dara. Celana jeans dan kaus, tampak santai—tampak tidak peduli.
Meskipun Jessy terlihat seperti dirinya dalam segi penampilan, Dara tahu bahwa Jessy tetap punya nama belakang yang berpengaruh. Gadis itu hanya tidak bersikap seperti kakak-kakaknya yang lain.
Pesta bujang untuk Arik berjalan dengan tenang. Tidak ada penari wanita yang teIanjang atau minuman alkohol yang berlebihan. Disediakan beer dan wine, namun dalam versi yang cukup.
Tidak mau menyianyiakan kesempatan, ketika orang-orang fokus bermain truth or truth kepada Arik, Dara langsung menuangkan wine itu kepada gelasnya. Hanya beberapa detik, cairan itu turun ke tenggorokannya.
“Aku, aku mau tanya.” Cassie, anak kedua dari keluarga Hartono—yang berarti adik Arik—mengangkat tangan sehingga seluruh perhatian tertuju kepadanya.
Selama ini Dara selalu merasa Dila itu cantik, dengan wajah kalemnya dan senyum lembut. Namun ketika melihat Cassie, Dara baru tahu bahwa titisan Dewi itu sudah turun dari langit.
Dara tidak mengoceh atau pun mabuk sehingga ia berkata sedikit berlebihan tentang paras adiknya Arik. Karena ketika untuk pertama kalinya Dara melihat Cassie—saat itu Arik datang bersama orang tuanya untuk meminang Dila—Dara sangat terpesona dengan wajah Cassie. Jenis cantik yang mahal.
Dan yang Dara pelajari malam ini adalah bahwa orang cantik duduk di sebelah orang tampan. Cassie duduk dengan pria bernama Alexander Madava yang katanya adalah calon suaminya, namun Arik tidak setuju. Begitu yang Dara dengar.
Dara tidak penasaran atau mau ikut campur urusan pribadi Cassie. Ia hanya senang melihat wajah cantik tanpa harus membeli majalah atau menonton film di layar laptop.
Cassie yang sudah siap dengan pertanyaannya, menatap Arik. “Gimana kak Arik melamar calon istri kakak?”
Yang lainnya ikut berseru dengan pertanyaan Cassie. Dara pikir, sepertinya Arik tidak menceritakannya kepada keluarganya.
Dara jadi ingat kata mbak-mbak salon tentang video Arik yang memainkan gitar. Dara tak bisa membayangkan wajah datar pria itu saat berkata ‘maukah kau menikah denganku?’ kepada Dila.
“Aku melamar Dila di restoran,” jawab Arik dengan tenang.
“Di Joy Two lebih tepatnya,” sahut seorang pria bernama Jayler Haidan Hartono, sepupunya Arik sekaligus pemilik hotel Haidan tempat Joy Two—restoran fine dining harga selangit berada.
“Melamar sambil bermain gitar?” celetuk Dara membuat orang-orang menatapnya.
“Apa?” Janied Elang Hartono tertawa. “Kak Arik mana bisa main gitar.”
Dara mengerutkan kening kepada jawaban adiknya Arik. “Mungkin kamu gak tahu?”
“Saya gak bisa main gitar.” Arik menanggapi Dara. “Dan kalau kamu tidak tahu, Joy Two adalah restoran private yang tidak bisa membuat keributan seperti itu.”
“Main gitar bukan keributan.” Dara hanya ingin Arik mengaku. Untuk apa pura-pura tidak bisa main gitar jika memang mampu memberikan kejutan kepada Dila?
Atau Arik mencoba misterius di depan adik-adiknya?
“Tapi kak Arik emang gak bisa main gitar,” kata Janied, lagi. “Lagian kak Arik pasti bukan tipe pria yang gonjreng-gonjreng main gitar di depan wanita impiannya.”
“Pasti cincinnya keluar dari kantung jas kak Arik lalu kak Arik memberikannya di atas meja makan,” celetuk Cassie pura-pura bosan. “Sangat biasa.”
“Memangnya gimana Alexander Madava melamar kakak?” Janied balik bertanya kepada Cassie.
“Kepo lo.”
“Idih, sewot.”
“Intinya gue akan menikah dengan Alex, gak seperti lo yang gagal tunangan berkali-kali.”
“Gak seru lo, kak Cassie.” Janied berdecak kepada kakaknya.
Dara memperhatikan perdebatan itu sambil menahan senyum. Lalu ketika ia tidak sengaja melihat ke arah Arik, pria itu menaikkan sebelah alisnya sambil menatapnya.
Apa Dara mengatakan atau melakukan hal yang salah?
Merasa tak nyaman, Dara berdeham. “Semuanya, saya pamit pulang duluan ke hotel, ya.”
“Bareng dong.” Jessy ikut beranjak dari kursinya.
Kedua gadis dengan umur yang sama itu berjalan menuju hotel sebab bar yang mereka kunjungi sangat dekat jaraknya.
“Boleh gue tahu sesuatu, Dara?” Jessy mengajak bicara ketika dirinya berjalan bersama Dara.
Dara mengangguk. “Tanyain aja.”
“Kenapa lo bertanya soal main gitar ke kak Arik?”
“Ohh... itu,” Dara tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
“Apa lo mengejeknya?” Jessy bertanya dengan santai, bukan sebuah pertanyaan yang menyudutkan.
“Tentu aja nggak.” Dan itu memang bukan niat Dara. Dia hanya bertanya.
“Kak Arik sepertinya berpikir lo mengejeknya, makanya tadi dia menatap lo seperti itu.”
Ternyata Jessy melihatnya juga.
“Berarti gue harus minta maaf.” Hanya itu yang terpikirkan oleh Dara.
“Gak usahlah.”
“Tapi nanti dia salah paham.”
“Gue rasa besok juga dia lupa. Kak Arik hanya memikirkan pernikahannya dengan kakak lo.”
Jessy benar. Pasti kata-kata Dara tidak akan berpengarug untuk Arik. Pria itu hanya fokus kepada hari besarnya.
Tapi tetap saja, Dara tidak bermaksud menyinggung Arik soal gitar.
“Jess, gue denger lo selalu berpindah-pindah tempat tinggal?” Dara bertanya ketika keduanya sudah memasuki lift.
“Bener. Bahasa kerennya, gue keliling dunia.”
“Itu pasti seru.”
“Seru banget.” Jessy mengangguk. “Tapi perlu digaris bawahi, gue gak pakai uang orang tua gue untuk keliling dunia.”
“Gue ingin seperti lo.”
“Apa? Keliling dunia?”
“Iya, tapi gue gak punya uang.” Dara terkekeh.
“Lo bisa kerja di negara yang lo sedang singgahi. Gajinya mungkin gak sebesar kerja di kantoran di sini, tapi gue pribadi gak peduli. Gue mencari pengalaman,” kata Jessy.
“Gue sangat ingin begitu.” Dara memang punya pikiran untuk pindah sejauh mungkin dari ibunya. Namun keberanian itu masih beberapa persen saja.
“Kakak gue akan menikah dengan kakak lo dan tinggal bersama kakak lo. Gue jadinya sendirian, bebas,” ujar Dara. Karena selama ini Dara memikirkan kakaknya jika ingin pergi jauh. Setelah Dila menikah dengan Arik, Dara tidak perlu khawatir lagi sebab Arik akan menjaga Dila.
“Gue lagi tinggal di Phuket, Thailand. Hubungi gue kalau lo mau pindah dari Jakarta,” kata Jessy dengan ramah sebelum ia keluar dari lift terlebih dahulu.
Dara memasuki kamar hotelnya, lalu menemukan Dila yang sedang berbicara di telepon dengan seseorang sambil mondar-mandir.
Setelah Dila selesai menelepon dan menyadari adiknya sudah kembali, ia tersenyum kepada Dara. “Gimana pesta bujangnya? Seru?”
“Sedikit boring.” Dara tidak bisa menikmati pesta orang kaya, kecuali segelas wine yang ia minum tadi.
Meski Dila sudah berhenti menelepon, tapi kakaknya masih terlihat gelisah sehingga Dara bertanya, “Kak Dila, are you okay?”
Dila menatap Dara dengan kedua tangan yang bertaut. Kemudian mengangguk. “Iya.”
“Tapi kakak terlihat gelisah.”
“Dara..,” Dila berjalan menghampiri adiknya. Matanya masih menunjukkan kekhawatiran.“Kakak ingin bilang sesuatu sama kamu.”
Dara tidak mengerti maksud dari tatapan Dila. Tapi ia akan mendengarkan apa pun ucapan Dila. “Kakak mau bilang apa?” []