Wanita bule itu terus berlari sampai di rumahnya, mengatur deru napasnya yang tersengal, lalu pandangannya menyapu isi ruangan dan langkahnya cepat mencari kunci mobil yang ditaruh di laci tempat kunci. Hatinya gusar dan berkecamuk, menaruh toples isi Wowo di atas nakas kamarnya. Nirmala mendengar kabar kecelakaan sang ayah dan ibu dari pihak rumah sakit membuat tubuhnya melemas, sekelebat bayangan melewati di belakang punggungnya.
Nirmala mawas diri, matanya berkeliling sambil memutar badan. Ini bukan saatnya untuk bermain-main dengan mahluk astral, lalu ia bergegas berjalan ke arah garasi dan masuk ke dalam mobil, mengendarai dengan kecepatan yang tinggi menerobos pekatnya malam.
Setelah melewati dua jam akhirnya, wanita bermata biru itu sampai di rumah sakit. Ia duduk gusar di depan ruang UGD(Unit Gawat Darurat), lalu seorang dokter wanita keluar dari ruangan itu. Nirmala spontan berdiri sambil menyimak ucapan dokter itu memberitahu kalau orang tuanya butuh darah golongan AB- untuk melaksanakan operasi secepatnya, karena stok kantong darah golongan AB di rumah sakit itu sedang kosong.
"Ambil darahku saja," sahut Nirmala cepat dengan netra yang sudah berkaca-kaca. Padahal dirinya belum tahu golongan darahnya itu apa, waktu jaman SMA belum sempat diperiksa karena takut jarum suntik.
Tubuhnya gemetaran sembari menggigit kuku jarinya, menghilangkan kegugupannya sembari menarik napas dalam untuk menenangkan jantungnya yang sudah berdetak begitu cepat. Wanita berbaju putih itu menggiring Nirmala masuk ke tempat donor darah, dokter itu menyerahkan sepenuhnya ke suster yang berada di ruangan itu.
"Golongan darahnya apa, Teh?" tanya suster yang sudah memegang suntikan ukurannya besar.
Sang janda kembang itu sudah kembang-kempis hidungnya, mendadak menggigil melihat jarum begitu menakutkan, dan lidahnya terasa kelu. Ia hanya menggeleng kecil dan suster yang berdiri di hadapannya melempar senyum.
"Periksa dulu, yah. Supaya Teteh tahu golongan darahnya." Tangan suster itu mengambil sample darah dari ujung jari tangan Nirmala dengan menusuk jarum suntikan itu.
"Berapa lama hasilnya keluar?" tanya Nirmala dengan nada yang gemetaran.
"Tunggu lima menit sampai sepuluh menit, yah," sahut suster itu sembari beranjak keluar membawa sample darah Nirmala.
Wanita bermata belo itu merasa tidak nyaman ketika punggungnya digelitiki oleh sosok nenek keriput yang rambut putih semua dan matanya mengeluarkan darah, setan itu berkata lirih minta tolong, tetapi Nirmala pura-pura tidak melihat apa-apa dan beranjak keluar dari ruangan itu dengan santai. Namun, nenek itu terus mengekorinya dari belakang, jalannya melayang sembari tertawa cekikikan.
Janda kembang itu mempercepat langkahnya menuju ruang inap Rosa. Ia memang belum menjenguk sang sahabat, suara rintihan, tertawa cekikikan dari belakang dan sampingnya membuat wanita itu menggeleng kasar sembari menutup telinganya.
"Jangan ganggu aku!" teriak Nirmala sembari langkahnya melebar melewati lorong-lorong rumah sakit yang rasanya begitu sunyi dan sepi. Bulu kuduknya meremang, lampu-lampu rumah sakit terasa berkedip-kedip.
Sampai di ruang inap Rosa, langkahnya terhenti melihat Akmal dan Pak Ridwan berdiri di depan pintu dengan wajah tegang.
"Ada apa, nih?!" tanya Nirmala dengan nada tinggi dan langkahnya cepat mendekati pintu.
"Rosa berusaha bunuh diri, ia seperti kerasukan sekarang sedang ditangani oleh orang tuanya di dalam," sahut Pak Ridwan.
Akmal melempar senyum ke arah Nirmala, tetapi senyumnya tidak disambut ramah oleh wanita yang berdiri tepat di hadapannya itu. Nirmala fokus masuk melihat kejadian di dalam ruangan, menyaksikan Rosa sedang berontak, tubuhnya menggeliat-liat, dan memelotot ke arahnya. Padahal tangan Bapaknya Rosa sedang memberi doa di atas ubun-ubunnya.
"Nirmala, kau harus mati beserta sahabatmu ini, hahahahaa!" Ancaman keluar dari celotehan mulut Rosa yang meracau tidak terkontrol dan tiba-tiba terbang menyerang Nirmala yang masih berdiri di ambang pintu, mencakar wajah mulusnya.
Nirmala memegang tangan Rosa sembari komat-kamit berdoa, tetapi tenaganya melemah ketika Rosa memukul dadanya dengan kencang dan membuat wanita bermata belo itu luruh ke lantai, merasakan sesak di jantungnya. Akmal spontan menolong sang wanita yang tadi bersikap judes, membantu Nirmala berdiri.
Rosa menatap nyalang dan berkacak pinggang. "Aku adalah kiriman dari seseorang yang menginginkan kalian semua mati!"
Pak Ridwan menatap tajam ke arah Rosa dan melempar tasbih besar berwarna hijau. Tasbih itu pun akhirnya tepat sasaran masuk ke leher Rosa lalu, tubuhnya melemah dan tidak sadarkan diri. Ayah Rosa dan ibunya menangis sembari membopong sang anak kembali ke bangsalnya. Darah deras mengalir dari urat nadinya Rosa, segera mereka memanggil dokter dan Nirmala terduduk lesu ketika melihat sosok yang keluar dari tubuh Rosa adalah wanita berselendang yang ditemui tadi di sungai.
'Siapakah yang ingin membunuhku?' batin Nirmala meracau sedih, menunduk dan meremas jari-jari lentiknya itu.
***
Hasil darah pun sudah Nirmala terima ternyata golongan darahnya 0-, hasil itu membuatnya terkejut. Tubuhnya semakin berguncang hebat akibat tangis yang ditahan. Nirmala, memeluk tubuhnya mencoba mencari-cari ketenangan diri. Namun percuma, kenyataannya seperti sebuah tamparan keras di pipi putihnya itu.
"Aku bukan anak bunda dan ayah," lirih Nirmala pelan.
Suster itu mengusap punggung Nirmala dan memberitahu kalau darah golongan 0- masih bisa mendonorkan darahnya ke golongan darah AB-, Akmal yang diam-diam mengikuti Nirmala berdiri terdiam di sebuah sudut jauh dari pandangan sang wanita.
Nirmala bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah ruangan donor darah. Ia hanya memejamkan mata dan pasrah, ketika darahnya mulai diambil. Walaupun tubuhnya gemetaran karena takut dan sebuah tanda tanya besar menggerogoti pikirannya. Ia menghela napas berat, mencoba meringankan penat hatinya yang sedang berkecamuk.
Setelah dapat dua kantong darah, wajah Nirmala mendadak pucat. Ia berjalan keluar dari ruangan dengan langkah pelan, menyandarkan kepalanya di tembok lalu, luruh ke lantai bulir mata itu sudah tidak bisa dibendung lagi. Akhirnya, suara tangisnya memecahkan keheningan malam.
Akmal menyodorkan sebotol minuman dan roti." Makan dan minumlah, supaya kamu segar kembali!"
Nirmala mendongak ke arah lelaki sipit yang berdiri di hadapannya, mengatupkan bibir merah delimanya itu.
"Aku tak mau," sahut Nirmala menepis makanan dari Akmal.
"Nanti badanmu, lemas dan kalau sakit siapa yang mau ngurusin. Jangan bilang mau saya yang ngurusin?!"
Nirmala mendengkus kesal, ia berdiri menatap tajam ke arah lelaki bermata sipit itu. "Bukan urusanmu!"
"Aku tahu kalau kamu bukan anak Ibu Susi dan Pak Boni," ucap Akmal sembari mengulas senyum manis.
Nirmala mengkerutkan dahinya, manusia di depannya itu sangat menyebalkan.
Dari mana ia tahu kenyataan sebenarnya? Sedangkan dirinya juga baru tahu sekarang. Pikirannya terus meracau dalam batin. Akmal masih menyodorkan minuman dan roti, menurutnya Nirmala adalah wanita yang unik.
"Ayo dimakan!"
"Bisa tinggalkan aku sendiri!" bentak Nirmala sembari berkacak pinggang.
Akmal menggeleng kasar dan menarik tangan Nirmala kasar untuk mengikuti dirinya keluar dari rumah sakit. Sang janda kembang itu berontak, minta tolong sembari mengumpat pria yang menggenggam tangannya dengan begitu kencang. Namun, pria itu memberikan pernyataan ke orang-orang rumah sakit kalau mereka sepasang kekasih yang sedang berantem.
"Kamu mau bawa aku ke mana? Hei, jangan gila. Aku sedang menunggu orang tuaku." Nirmala dengan suara serak serta mata yang gerimis oleh air mata. Ia ketakutan kalau pria jangkung itu akan melakukan niat tidak baik.
"Saya akan menunjukkan sebuah kebenaran," sahut Akmal tenang sembari melempar senyum.
"Maksudmu apa? Kebenaran apa?" Nirmala mengernyit dan ia menghela napas panjang.
Hari ini kenyataan pahit sudah diterima olehnya, maka kenyataan apalagi yang menimpa janda kembang tersebut.
"Lepas, aku tak mau ikut."