“Kama, ayo bernyanyi! Ayah akan mendengarkan sebelum pergi bekerja.”
Saat itu Kamania sedang menyapu lantai, sementara Ibu menyiapkan bekal untuk Ayah. Ini bukan kali pertama Ayah meminta Kamania bernyanyi, tapi ini sudah menjadi rutinitas mereka setiap pagi dan malam hari. Kata Ayah, suara Kamania yang merdu bagaikan suntikan penyemangat dan juga pelepas lelah untuk Ayah.
Bakat yang Kamania dapat dari Ibu membuat Ayah selalu memujinya dengan bangga. Ayah sepenuhnya mendukung kelebihan Kamania. Meskipun tidak bisa mengikuti les menyanyi untuk mengasahnya, tapi Ayah selalu berusaha untuk membuat Kamania bernyanyi setiap hari.
“Lagu yang itu, Nak, graw-graw.”
Kamania langsung terkikik mendengarnya. Kamania memang lambat dalam menyerap pelajaran, tapi untuk lagu dan penyanyi kesukaannya, Kamania cepat menangkap. Bahkan, Kamania hapal di luar kepala. Itu berkat lab komputer yang ada di sekolah sehingga memudahkan Kamania untuk menonton videonya, serta lirik lagu yang Kamania tuliskan kembali di bukunya. “Maksud Ayah, McGraw?”
“Nah itu!” seru Ayah sambil menunjuk-nunjuk. “Ayah hanya ingat graw-graw, karena terdengar seperti auman harimau.”
“Ih, Ayah, enggak sama tau!”
Tawa Ayah terdengar selanjutnya, begitu juga dengan Ibu yang kini ikut bergabung setelah meletakkan tas bekal di atas meja. “Ayahmu mana tahu penyanyi itu, Kama. Kalau lagunya lagu dangdut, baru itu bidang Ayah. Ibu rasa sepertinya Ayah hapal semua nama penyanyi dangdut.”
“Kan karena Ibu. Dulu sebelum menikah, Ibu selalu menyanyi lagu dangdut. Itu yang memotivasi Ayah untuk mencaritahu dan mengingat nama penyanyi aslinya.”
Ayah dan Ibu saling melontarkan senyuman, hal itu membuat Kamania juga ikut tersenyum. Kamania selalu menyukai interaksi keduanya, terlebih Kamania bisa melihat sendiri betapa besar perasaan Ayah pada Ibu. Dulu Ibu adalah biduan organ tunggal, yang bernyanyi dari satu panggung ke panggung lain, dari satu acara ke acara lain. Ibu bertemu ayah di sebuah acara amal dan mereka saling menyukai satu sama lain.
Saat diajak Ayah menikah, Ibu berhenti menjadi penyanyi. Hal itu teramat sangat disayangkan oleh orang-orang yang menyukai suara merdu Ibu. Ayah yang hanya tamatan SMA, berjanji akan bekerja keras untuk membahagiakan Ibu. Walaupun kehidupan yang mereka jalani sangat sederhana, tapi Ayah akan selalu berusaha untuk membuat Ibu tersenyum.
Semua itu ditepati oleh Ayah. Buktinya selama 22 tahun pernikahan, hampir jarang sekali Kamania mendapati mereka bertengkar. Mereka seperti saling melengkapi satu sama lain dan tidak terlalu mempermasalahkan, ketika uang tidak ada dan beras hanya tersisa sedikit.
Kamania tumbuh dengan kasih sayang yang berlimpah. Ibu yang selalu mengajarkan hal-hal yang tidak diketahui Kamania, serta Ayah yang selalu mendukung apa pun yang Kamania lakukan. Bahkan keduanya tidak kecewa saat Kamania tidak naik kelas. Mereka justru merangkul Kamania, membisikkan pada Kamania kalau Kamania sudah berusaha dengan baik.
“Kama, kenapa melamun, Nak?”
Mata Kamania berkedip cepat. Kamania tersenyum kemudian segera meletakkan sapu ke tempat asalnya. Setelah itu Kamania kembali dan berdiri di depan kedua orang tuanya. “Yang Ayah maksud, lagu my little girl, kan?”
“Iya, Nak. Coba sini Ayah dengar.”
Kamania mengangguk. Sebelum mulai bernyanyi, Kamania menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Hal itu dilakukan tiga kali berturut-turut. Selanjutnya Kamania melakukan pemanasan kecil, sebagaimana para penyanyi melakukan pemanasan.
Dirasa sudah siap, Kamania mendongak menatap Ayah dan Ibu. Kamania tersenyum kemudian mulai bernyanyi,
“Beautiful baby from the outside in.
Chase your dreams but always know the road that’ll lead you home again.
Go on, take on this whole world.
But to me you know you’ll always be, my little girl.”
“When you were in trouble that croocked little smile could melt my heart of stone.
Now look at you, I’ve turned around and you’ve almost grown.
Sometimes you’re asleep I whisper “I Love You” in the moonlight at your door.
As I walk away, I hear you say, “Daddy Love you More!”.”
Tepuk tangan langsung menyambut saat Kamania mengakhiri nyanyiannya. Kamania menatap Ayah dan Ibu bergantian, dengan napas terengah namun senyum yang mengembang lebar. Ini yang selalu disukai Kamania, Ayah yang berbinar menampilkan raut bangganya serta Ibu yang mengangguk serta menatap Kamania dengan teduh.
“Bu, lihat betapa hebatnya anak kita! Ayah janji akan bekerja lebih keras lagi, mengumpulkan uang supaya setelah lulus SMA, Kama bisa melanjutkan pendidikannya. Mengambil jurusan seni musik sesuai dengan bakat yang Kamania punya.”
Kata-kata itu membuat Kamania langsung menghambur ke pelukan Ayah. Kamania menekan wajahnya di d**a Ayah dan air matanya mengalir di pipi. “Terima kasih banyak, Ayah. Kama bersyukur karena sudah menjadi anak Ayah dan Ibu.”
“Kami lebih beruntung, Nak,” bisik Ibu kemudian ikut memeluk Kamania dan Ayah.
Semua itu terdengar sederhana, namun sangat luar biasa bagi Kamania. Kedua orang tua yang mendukung dan menyayanginya, adalah suatu anugerah yang paling besar Kamania terima.
Namun, kebahagiaan dalam jangka waktu yang tidak sebentar itu langsung hilang sekejap saat suatu hari Ayah memergoki Ibu bersama seorang pria yang Kamania tahu anak bos sawit di daerah tempat tinggal mereka. Waktu itu Kamania baru pulang dari sekolah setelah kelulusannya. Betapa kagetnya Kamania menemukan Ayah yang berteriak penuh emosi. Mata Ayah bahkan memerah dan urat lehernya terlihat dengan jelas.
“Ternyata ini yang kamu lakukan saat aku bekerja, Ishana!” Kedua tangan Ayah sampai mengepal dan napasnya tidak beraturan. “Kupikir tidak ada yang salah dengan rumah tangga kita. Kamu tersenyum menyambutku pulang, melayaniku dengan baik, bahkan selalu menjadi pendengar keluh kesahku tentang pekerjaan yang berat. Tapi ternyata, aku salah! Kamu menipuku, menipu kami!”
“Kamu pikir aku mau selamanya seperti ini, Dharma?! Cukup 22 tahun dihabiskan dengan memuakkan! Aku benci kehidupan ini, di mana semuanya serba kekurangan dan aku harus pura-pura bahagia karena kasihan melihat usahamu. Sekarang aku tidak bisa menahannya lagi! Aku tidak akan sanggup menghabiskan seumur hidup dalam kemiskinan!”
Ayah sampai mendongak, mengusap wajahnya berulangkali. Tidak lama tawa terdengar, tawa yang teramat getir di kuping Kamania. “Begitu rupanya. Jadi, selama ini kamu berbohong. Kamu layak diberikan penghargaan atas kebohonganmu itu.” Suara Ayah terdengar serak. “Baiklah, akhiri semua ini. Akhiri keadaan yang membuatmu muak ini, Ishana!”
“Tanpa perlu kamu katakan, aku pasti melakukannya!” Nada Ibu teramat dingin. Selanjutnya Ibu menghampiri pria itu dan menggenggam tangannya erat. “Adam menawarkan kehidupan yang layak untukku. Terima kasih untuk waktu tersulitnya!”
Setelah berkata dengan sarkas dan menyakitkan, Ibu pergi dengan pria yang disebutnya Adam. Ibu bahkan berlalu di samping Kamania tanpa berhenti atau pun menoleh. Tubuh Kamania serasa membatu, air mata terus berjatuhan sementara pandangannya terpaku ke depan.
Bibir Kamania bergetar, terlebih saat melihat Ayah mulai membanting semua barang-barang yang ada di kamar. Ayah melempar kursi pada cermin, membuat benda itu pecah dan berhamburan. Ayah bahkan menampar dinding sambil berteriak keras.
Kamania tersadar saat Ayah luruh ke lantai dengan keadaan tangan berlumuran darah dan memukul-mukul kepalanya. Ayah terisak seperti anak kecil, membuat Kamania segera menghampirinya dan memeluk Ayah erat. Seseorang yang selalu Kamania lihat tersenyum bahkan di saat lelahnya, kini menunjukkan sisi terlukanya. Kepergian Ibu terlalu mengejutkan, bahkan teramat sangat mengejutkan setelah alasan yang keluar dari mulut Ibu sendiri. Kamania rasanya tidak mempercayai ini semua.
“Ayah punya Kama,” bisik Kamania menenangkan, meski saat itu Kamania juga menangis. “Ayah punya Kama.”
Ayah memberontak, bahkan Ayah tidak sadar dan menodorong Kamania dengan keras sampai punggung Kamania membentur dinding. “Pembohong! Wanita penipu! Tega-teganya kamu menipuku belasan tahun! Wanita berhati iblis!” Lalu Ayah berusaha bangkit dan menyeret kursi yang tergeletak di lantai. “Akan kubalas penghianatanmu! Supaya kamu tahu, bagaimana rasa sakit yang kurasakan!”
Saat Ayah melewati pintu kamar, Kamania merangkak di sela kesakitannya. Kamania menangkap kaki kursi namun Ayah menariknya dengan kuat sampai Kamania terjerembab. Tidak putus asa, Kamania tertatih-tatih bangkit lalu berlari untuk menahan langkah Ayah. “Jangan, Ayah! Tidak boleh!”
“Lepaskan tanganku anak sialan!” Ayah menyentak pegangan Kamania sampai terlepas, namun Kamania kembali menahan tangan Ayah. “Menjauh dariku! Kamu menipuku juga, hah?! Ingin meninggalkanku seperti wanita iblis itu?!”
“Tidak, Ayah! Kama tetap di sini, sama Ayah,” jawab Kamania sambil menggeleng cepat. Mata dan hidungnya terasa panas akibat terlalu banyak menangis. “Ayah tidak boleh ke luar, tangan Ayah terluka. Kama obatin tangan Ayah.”
Mata Ayah berkilat menatap Kamania, tanpa diduga Ayah tiba-tiba berjongkok lalu menjambak rambut Kamania dengan kencang. Ayah menyeret Kamania ke kamar mandi kemudian menenggelamkan kepala Kamania sampai Kamania hampir kehabisan napas. “Suaramu mirip wanita itu! Tidak! Kamu mewarisi suaranya! Aku membencinya!”
Kedua tangan Kamania berusaha mencari pegangan namun nihil. Mulut Kamania terbuka mencari secuil udara, namun tak Kamania temukan. Paru-paru Kamania terasa sesak, kepalanya seolah diikat dengan tali yang kuat, rasanya sakit. Sakit sekali. Hingga dalam upaya terakhirnya, Kamania memejamkan mata dan semua terasa gelap.
***
Kamania mengerjapkan matanya. Semua terasa memburam sampai Kamania kembali memejam dan membuka lagi. Ini kamarnya, Kamania mengenali dengan jelas. Selanjutnya Kamania merasa kepalanya pening dan hidungnya seolah disumbat sesuatu.
Suara tawa disertai tangisan seseorang terdengar. Itu Ayah. Tanpa pikir panjang Kamania langsung bangkit, bahkan hampir terhuyung karena pergerakannya terlalu tiba-tiba. Tapi Kamania mengabaikan itu semua dengan bergegas keluar dari kamar dan menemukan kondisi rumah sangat berantakan.
Di sana, di kursi paling sudut ruang tengah, Ayah duduk bersandar dengan tangan memegang sebuah botol dan sesekali meminumnya. Ayah seperti tidak berada dalam kesadarannya karena minuman itu.
Botol-botol berserakan di dekat kaki Ayah. Saat Kamania mendekat, aroma pekat langsung tercium olehnya. Itu alkohol. Seketika perasaan teriris melingkupi Kamania, Ayah yang selama ini tidak pernah menyentuh barang haram itu, kini mengonsumsinya. Bahkan dalam jumlah yang besar. Sebegini terpuruknya keadaan Ayah.
Kamania berjongkok, menyingkirkan semua botol dan mendekati Ayah. Dapat Kamania lihat, luka yang menganga serta darah yang mengering di punggung dan telapak tangan Ayah. Kamania menggenggamnya dengan hati-hati dan membawanya ke pipi. Dengan tergugu tangis, Kamania bertanya, “Ayah tidak apa-apa? Sudah makan? Sini lukanya Kama obati.”
Ayah perlahan menunduk, memandangi Kamania beberapa saat sebelum merangkum wajah Kamania untuk dipeluk. “Maafkan Ayah, Kama. Maafkan Ayah.”
“Tidak. Ayah tidak salah apa-apa, jadi jangan meminta maaf.”
“Maafkan Ayah, Kama,” lirih Ayah sarat akan rasa bersalah. “Jangan tinggalkan Ayah. Tetap bersama Ayah di sini, Kama.”
Karena tidak sanggup menjawab, akhirnya Kamania mengangguk berulang kali. Kamania balas memeluk Ayah dengan erat. d**a Kamania terasa sesak, ayahnya ... pahlawannya sangat terluka. Kamania menyayangi Ayah, teramat sangat menyayanginya.
“Janji kamu tidak akan pergi dari Ayah?”
Kamania kembali mengangguk. “Kama janji ..., Ayah.”
Lalu seolah tersentak, tubuh Ayah menegang dan Ayah melepaskan pelukan mereka dengan paksa. Ayah menatap Kamania dengan tajam dan mata memerah. Detik selanjutnya, Ayah melayangkan pukulan di pipi Kamania. “Pembohong! Kamu pasti akan pergi juga! Suaramu seperti wanita itu! Aku membenci suaramu!”
“Ayah, maafin Kama. Maafin Kama.” Kedua tangan Kamania mengangkup, dengan posisi telungkup Kamania memohon. “Kama tidak pergi, Ayah. Maafin Kama.”
“Jangan berbicara! Aku membenci suaramu!”
Langsung Kamania menggigit bibirnya dengan keras, sementara itu tangannya tidak berhenti menangkup meminta maaf. Isakannya terkumpul ingin keluar namun Kamania berusaha menahannya.
“Mulai hari ini kamu tidak boleh berbicara! Kamu tidak boleh keluar dari rumah! Kalau sampai kamu melanggar itu semua ...” Ayah menjambak rambut Kamania sampai Kamania terdongak. “Ayah akan memukulmu, Kama!”
Dengan cepat Kamania mengangguk. Mata Kamania memejam dan buliran bening tidak berhenti keluar dari sana. Bibir Kamania asin karena darah, akibat terlalu keras digigit. Kamania tahu Ayah begitu terpukul dengan penghianatan Ibu dan takut Kamania akan berbuat serupa. Kamania menyayangi Ayah, maka dari itu Kamania akan tetap di samping Ayah dan menuruti semua keinginan Ayah.
Hingga hari-hari selanjutnya, Kamania jalani dengan terkurung di dalam rumah. Kamania berubah menjadi gadis bisu yang mulai mempelajari bahasa isyarat. Kamania habiskan sepanjang hari dengan mengerjakan apa yang bisa Kamania kerjakan dan kalau ada waktu yang tersisa, maka Kamania habiskan untuk berdiri di tepi jendela, melihat pemandangan luar. Melihat orang-orang yang berlalu lalang dengan penuh perhatian.
Ayah pergi pagi dan sering pulang malam. Meski sudah menuruti kehendak Ayah, hal itu tidak serta merta membuat Ayah berhenti memukul Kamania. Setiap Ayah pulang, Ayah membawa alkohol dan selalu meracau dan melampiaskan kemarahannya pada Kamania. Lalu paginya Ayah menyadari itu semua dan meminta maaf. Hal itu terus berulang setiap harinya, sampai Kamania merasa semua itu sudah biasa. Sampai Kamania menganggap memar-memar di wajah dan bagian tubuh lainnya tidak menakutkan lagi.
***