Kamania membuka jendela kamarnya, memandangi burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon lain, juga para tetangga yang mulai sibuk dengan rutinitas pagi mereka. Hari ini tepat setengah tahun Kamania tidak keluar dari rumah. Bukan karena kakinya cacat atau mempunyai keterbatasan fisik lainnya, tetapi karena Kamania terlalu mencintai ayah hingga ia memilih terkurung dibandingkan melihat dunia luar.
Mengingat penghianatan ibu selalu menjadi luka untuk Kamania dan ayah, tapi Kamania tidak ingin larut. Ada hari yang jauh lebih penting untuk dijalani, ada ayah yang membutuhkan perhatian Kamania, serta ada keajaiban yang selalu Kamania tunggu, meskipun Kamania tidak tahu keajaiban apa itu.
Jam menunjukkan tepat pukul lima pagi. Kamania bergerak untuk merapikan tempat tidurnya, lalu setelah itu mengikat rambut sebelum memulai pekerjaan rutin. Di cermin kecil yang tergantung di dinding, Kamania bisa melihat dengan jelas bercak merah keunguan di sudut mata dan tulang pipi. Jangan lupakan luka yang mengering di bibir bawahnya.
Hal ini sudah biasa terjadi, sampai Kamania tidak pernah mengeluh merasa kesakitan lagi. Saat di mana ayah pulang kerja dalam keadaan mabuk dan selalu memukulnya tanpa sadar. Semua itu seperti kaset rusak yang berputar berulang-ulang, selalu sama setiap harinya. Terjadi lagi dan terjadi lagi.
Tidak ingin terlalu larut dalam pikirannya, Kamania bergegas keluar dari kamar. Ia menemukan ayah tertidur di kursi ruang tamu seperti biasa, dengan beberapa botol alkohol di atas meja. Dengan pelan Kamania mendekat, memakainan selimut yang tergeletak di lantai ke tubuh ayah guna mengurangi hawa dingin yang menyengat. Tidak lupa Kamania membawa serta botol alkohol untuk dibuang ke tempat sampah.
Tugasnya pun dimulai. Kamania memasak dengan bahan seadanya. Ayah selalu menyiapkan beberapa jenis sayuran, tahu-tempe, lauk serta telur untuk makan mereka sehari-hari. Meski sederhana, tetapi semuanya ada. Ayah selalu mengusahakan keperluan rumah tercukupi bahkan rela membeli sendiri karena saking tidak inginnya Kamania keluar.
Di saat Kamania sibuk memotong tempe, panggilan terdengar dari arah belakang. Rupanya ayah sudah bangun, dengan sigap Kamania menoleh, lalu mulai menggerakkan tangannya untuk bertanya, “Iya, Ayah? Mau Kama buatkan teh?”
Ayah menggeleng. Karena sudah lama berbicara hanya satu pihak, ayah mengerti apa yang Kamania katakan dengan bahasa isyaratnya. “Kamu harus mengobati lukamu. Ayah meletakkan salep dan obatnya di lemari sudut ruang tamu.”
“Terima kasih,” jawab Kamania dengan gerakan tangannya, jangan lupakan kedua sudut bibirnya yang melengkung ke atas. Pagi hari adalah saat di mana ayah menjadi ayah yang dulu, lembut dan perhatian pada Kamania. “Tunggu di ruang tamu. Kama nanti bawakan tempe goreng dan teh hangat untuk ayah.”
“Terima kasih. Maaf untuk yang terjadi tadi malam. Ayah menyesal melukaimu.”
“Tidak apa-apa, Ayah.”
Ayah kemudian pergi setelah itu, sementara Kamania kembali pada pekerjaannya. Percakapan mereka tadi pun merupakan hal yang terjadi berulang, di mana ayah memukul Kamania di malam hari lalu paginya menyesal telah melakukannya. Mau sakit bagaimana pun rasanya, Kamania tetap luluh dengan ayah. Kamania tidak bisa benci, ayah adalah orang yang paling Kamania sayang di dunia ini.
***
Suara gelak tawa anak-anak terdengar jelas. Kamania yang kebetulan selesai dengan segala aktifitas rumahnya memilih untuk menonton dari balik kaca dekat pintu. Rumah penduduk sini terhitung jarang-jarang, di mana halaman rumah bisa dijadikan tempat untuk bermain anak-anak. Entah itu main bola, kelereng, engklek, bahkan lompat tali.
Ayah sudah berangkat kerja pukul sembilan tadi. Tinggallah Kamania seorang diri, yang seringnya mencari kesibukan, entah itu membersihkan rumah, membaca serta mempelajari buku bahasa isyarat lagi, atau seperti yang tengah dilakukannya sekarang, melihat anak-anak.
Mereka masih SD. Pulang sekolah bukan berganti baju, melainkan bermain-main lebih dulu. Tempat Kamania memang terbilang tempat biasa anak-anak bermain, jadi tidak mengherankan lagi jika suara kicauan mereka terdengar ramai.
Kadang Kamania ikut tertawa jika ada hal-hal yang lucu ditemuinya dari anak-anak itu. Kadang juga, ikut memperhatikan permainan bahkan sampai merasa tertarik untuk ikut bermain, namun Kamania menahannya.
Hingga tiba-tiba Kamania dikagetkan dengan bola yang memantul mengenai teras rumahnya. Salah seorang anak berlari untuk mengambil, namun kemudian dia seperti kaget mendapati Kamania yang mengintip dibalik kaca jendela yang bening. Awalnya anak itu terpaku, lalu kemudian entah kenapa mendekat. Dari tatapannya, anak itu sarat ingin tahu.
“Kenapa Kakak tidak keluar?” tanyanya. Seingat Kamania, anak ini bernama Fatih. “Mengintip sama seperti penjahat. Hanya penjahat saja yang suka mengintip.”
Ucapannya terdengar seolah menakuti. Kamania justru tersenyum, karena tentu saja Fatih terlihat lucu alih-alih bisa mempengaruhinya. “Aku lebih senang mengamati kalian dari sini. Tidak ada yang bermaksud jahat, aku hanya melihat.”
“Kakak lagi apa? Kenapa tangannya gerak-gerak begitu?”
Sesaat Kamania lupa, selain ayah tentu saja tidak ada yang mengerti lagi tentang komunikasi Kamania. Orang-orang disekitarnya hanya tahu, Kamania anak menyedihkan yang dikurung ayahnya di dalam rumah. Tidak tahu lebih jauh kalau Kamania juga dilarang berbicara.
Demi tidak ingin membuat Fatih penasaran, Kamania bergegas ke dalam kamar untuk mengambil buku dan pulpen, lalu keluar lagi. Ia menuliskan apa yang dikatakannya tadi, kemudian diperlihatkannya pada Fatih untuk dibaca.
Lama Fatih menatap tulisan Kamania, hingga sesaat kemudian tatapan mereka bertemu kembali. “Lalu, kenapa Kakak memilih menulis dibandingkan berbicara?”
Anak-anak selalu syarat rasa ingin tahu. Kalau tidak dijelaskan, mereka tidak akan berhenti bertanya. “Aku tidak bisa berbicara. Caraku untuk berkomunikasi, lewat gerakan tangan. Itu dinamakan bahasa isyarat.”
Fatih membaca lagi, kali ini ia dibuat takjub dengan mulut sedikit membuka. “Gerakan tangan tadi berarti Kakak sedang bicara? Wah, hebat!”
Pujian itu membuat Kamania merona. Tidak pernah sekalipun selama belajar bahasa isyarat, ada yang bilang ia hebat. Ini pertama kalinya. “Terima kasih, Fatih,” ucap Kamania tulus.
“Itu artinya apa, Kak?”
Langsung Kamania menuliskannya kembali di buku. Persis apa yang dikatakannya lewat gerakan tangan.
“Ternyata seperti itu!” Fatih meletakkan bolanya, lantas bertepuk tangan. “Terima kasih, Kak! Nanti aku tanya ibu bagaimana bisa belajar bahasa isyarat. Aku tidak sabar ingin berbicara bahasa isyarat dengan Kakak!”
Setelah dengan semangatnya berseru, Fatih pun kembali mengambil bolanya kemudian melambaikan tangan. “Aku lanjut main dulu. Nanti aku ke sini lagi, Kak!”
Kamania pun membalas hal serupa, ditambah dengan anggukan dan senyuman. Melihat Fatih yang berbalik menjauh, tatapan Kamania setia mengikuti punggungnya. Mungkin orang lain menganggap percakapan ini biasa saja dan cenderung aneh, namun ketahuilah Kamania senang sekali. Setelah berbulan-bulan di dalam rumah, akhirnya ada teman kecil yang kagum dengan kemampuannya.
***
Di hari sabtu siang, Kamania tidak bisa apa-apa selain hanya meringkuk di atas ranjang. Ia memegangi sisi perut yang terasa sakit, bahkan hanya untuk bernapas saja Kamania lakukan secara perlahan.
Di nakas kecil dekat tempat tidurnya terdapat bungkusan obat yang telah kosong. Ada juga handuk yang kini terlihat sudah mengering, serta segelas air putih. Kamania mengingat kejadian tadi malam, di mana ayah bukan hanya memukul tetapi juga menendang mengenai perutnya.
Ada lebam kebiruan saat Kamania periksa. Bercaknya tidak begitu besar, namun tidak juga kecil. Tapi seperti biasa, Kamania tidak menyalahkan ayah. Seolah sudah memaklumi semua tindakannya, Kamania memilih untuk melupakan seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Lagipula tadi pagi ayah kembali menyesal dan meminta maaf. Ayah bahkan mengompres semua lebam Kamania juga membantunya meminum obat. Sedikit perhatian ayah, cukup menutupi semua kesakitan yang Kamania terima.
Di tengah usahanya memejamkan mata, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan. Jelas ini tidak biasa terjadi, karena sangat jarang sekali ada orang yang bertamu selama hampir setengah tahun terakhir.
Ayahkah itu? Pikir Kamania. Tetapi, ayah tidak membutuhkan ketukan. Ayah mempunyai kunci sendiri, selain kunci yang diam-diam Kamania sembunyikan tanpa sepengetahuan ayah. Kunci itu tadinya digunakan untuk Kamania kabur, namun nyatanya sampai sekarang ia tidak pernah menggunakannya.
Dengan tertatih-tatih Kamania bangkit. Tangan kanannya memegang sisi perut, menahan nyeri seiring dengan kakinya melangkah. Ringisan lirih terdengar, namun Kamania berusaha senormal mungkin.
Tiba di pintu, Kamania tidak segera membuka. Ia lebih dulu mengintip lewat kaca dan dibuat heran melihat seseorang dengan postur tinggi tegap, mengenakan jaket jeans dengan kaos, juga celana hitam. Siapa dia? Kamania bertanya dalam hati.
Ketukan terdengar lagi. Lebih banyak dari sebelumnya, membuat Kamania tersadar dari pengamatan. Bergegas Kamania meraih gagang pintu dan membukanya, karena mungkin saja ini teman atau kenalan ayah.
Cela pintu dibuka tidak begitu lebar. Cukup membuat Kamania dan orang itu leluasa menatap satu sama lain. Mereka saling diam saat netra bertemu netra, dengan Kamania yang tidak melakukan tindakan dan seseorang itu seolah terpaku sekarang. Hingga tiba-tiba deheman terdengar dan orang itu seakan mengalihkan tatapan ke arah lain. “Benar ternyata,” ucapnya lirih, namun masih bisa didengar oleh Kamania. “Informasi yang kutemukan tidak salah.”
Jelas Kamania bingung, namun ia tetap diam.
“Apa kabar?” Seseorang itu bertanya lagi, kali ini ia menatap Kamania ditambah dengan kedua sudut bibir yang melengkung ke atas. “Sudah lama sekali, ya, Kama.”
Kini suaranya terdengar lebih jelas, membuat Kamania merasa familiar. Otaknya segera saja memproses, mengingat-ingat siapa si pemilik suara tersebut. Hingga tiba-tiba Kamania memenukan sesuatu, lalu bola matanya sedikit melebar. Terlebih saat mereka kembali bertatapan.
“Sudah ingat sekarang? Iya, ini aku, Wishaka. Penggemar setia suara merdumu sejak SMA.”
***