Scars 6 Kehilangan?

1309 Kata
Akhirnya dengan berat hati, Adhia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya di toko kue itu. Dia tidak mau merepotkan ibu pemilik toko kue. Dia takut ancaman mertuanya akan jadi nyata. Dari cerita Tyas, ibu mertuanya tipe orang yang akan melakukan segala cara - kotor sekalipun- agar keinginannya bisa tercapai. Dia tidak mau terjadi hal yang buruk pada toko kue itu. Toko itu menghidupi banyak orang. Menjadi tempat mendapat rupiah bagi para karyawannya. Ibu pemilik toko itu bisa menerima alasan Adhia, walau sebenarnya dia berat hati. Adhia karyawan yang rajin dan cerdas. Hasil panganan buatannya pun enak-enak. Tidak pernah mengecewakan. Setelah memberi pesangon sesuai peraturan, dan tentu saja tambahan bonus, ibu pemilik toko melepas Adhia. Tarendra tentu saja heran kenapa Adhia tidak bekerja lagi. Tapi dengan alasan sebentar lagi akan melahirkan, dan biar bisa lebih fokus merawat bayi mereka, Tarendra menyetujui usul itu. "Sudah jadi kewajibanku untuk mencari nafkah untuk kita. Aku, kamu dan anak-anak kita kelak. Aku akan lebih berusaha lagi agar bisa dapat penghasilan tambahan. Lemburan di bengkel lumayan gede upahnya. Pak bos dan ibu, orangnya baik, gak pelit. Kamu yang tenang saja ya di rumah." Begitu kata Tarendra dengan yakin pada Adhia. Hanya saja, keduanya yang masih sangat muda, masih naif, tidak menyangka bahwa biaya hidup di Jakarta dengan bayi baru lahir, sangatlah besar. Beruntung ASI Adhia berlebih, jadi tidak perlu membeli sufor. Untuk imunisasi pun, Adhia rajin ke posyandu. Gratis! Program pemerintah. Mereka, yang ekonominya sangat terbatas, sungguh terbantu dengan program ini. Tapi untuk beli diapers dan perlengkapan bayi lainnya kan tidak gratis. Tarendra memang bekerja lebih giat lagi, sering lembur malah. Hanya saja belum bisa menutup kebutuhan mereka. "Pusing gue, bang! Punya bayi ternyata biaya gede banget ya." Keluh Tarendra pada Doel, kepercayaan Ilyas di bengkel, saat sedang istirahat makan siang. Dia tidak mau merokok lagi, sayang uang. Mending buat beli popok katanya. "Laaah, elu anak baru satu juga. Gue buntut tiga noh. Udeh pada sekolah pula. Lebih pusing mana coba? Alhamdulilah bos kita baek, sering kasih tambahan bonus tak terduga. Eeh... kenapa gak elu coba ngomong ke ibu bos? Ibu kayanya butuh tambahan karyawan buat kopi sop kan? Jadi tukang cuci piring sih, tapi lumayan banget tuh. Kalau bini gue bisa aja bakal gue suruh, tapi dia udah ribet ngurus sekolah krucil tiga biji. Noh bilang ama bu bos!" "Coffee shop bang, bukan kopi sop. Lu kate sop ayam apa. Duuh tapi gue minder sama ibu. Suka gak konsen kalau liat ibu." "Kenapa minder?" "Itu bu bos cuantiiiknya gak ketulungan, bang. Gue takut ileran kalau pas ngobrol sama ibu. Kan jadi malu gue." Tiba-tiba terdengar pletaaak...! Doel memukul kepala atas Tarendra sambil senyum. "Semua karyawan laki di sini awalnya kaya elu gini. Mangap semua kalau liat ibu bos. Kalian pada gak tahu aja sih perjuangan bos Ilyas naklukin tuh ibu. Gile bener! Tiga tahun dikacangin xixixi... untung aja gak jamuran tuh si bos." "Apa nih jamur-jamur? Bang Doel mah jangan ajari Tarendra macem-macem ya! Kakaknya temen pengajian ibu loh. Eeh ini ibu bawain makan siang sama cemilan. Gih dihabisin, jangan sampai ada sisa. Mubazir kan. Dosa ntar buang makanan." Ilyas yang memang akrab dengan karyawannya mendadak muncul dan langsung duduk sambil mencomot tahu isi buatan istrinya yang terkenal enak. Dia tidak sungkan duduk dan makan bersama karyawannya, sudah dari dulu, dari semenjak sang ayah mengepalai bengkel ini, dia diajarkan seperti ini. "Ya Allah si bos mah... dah kaya jaelangkung aja. Datang ujug-ujug gitu. Datang tak diundang pulang tak diantar. Kaget nih. Ini nih, si Taren lagi pusing gara-gara bayinya. Butuh duit gede banget katanya." Tarendra langsung melotot pada Doel yang kemudian cengar-cengir. "Loh, istrimu udah lahiran? Kapan? Kok gak bilang?" "Udah... Mas, sudah dua bulan lebih." "Lah kenapa gak bilang, Ren? Kamu kalau bilang kan kami kasih tambahan komponen upah, plus BPJS juga kami yang tanggung. Kamu urus aja ke Eti ya. Biar cepet beres." "Tapi saya belum bisa urus kartu keluarga, Mas." Keluh Tarendra. Dia satu-satunya yang memanggil Ilyas dengan sebutan Mas bukan bos, karena mengikuti kakak iparnya. "Kamu masih belum urus surat-surat nikah, Ren? Kamu gak kasihan sama anak istrimu? Hak mereka akan sulit didapat selama kalian belum resmi menikah secara negara. Segera diurus ya! Kalau ketahuan ibu, kamu bisa diomelin habis-habisan." Saran Ilyas. Dia tersenyum, membayangkan dirinya saat seumuran Tarendra dan berjuang mendapatkan cinta istri tercinta. Mirip dengan Tarendra. Hanya Tarendra terkendala restu orang tua, sedangkan dia berjuang setengah hidup mendapatkan cinta dan maaf dari calon istri. "Iya mas." "Bos, itu bininya Taren udah gak kerja lagi, gara-gara lairan kemarin. Tadi saya udah bilang ke Taren, kenapa gak coba kerja sama ibu aja." "Aah iyaa... ibu lagi butuh tambahan tenaga tuh. Coba deh kamu bilang ke ibu, siapa tahu rizki bayimu kan? Nanti sore pas ibu datang, kamu coba bilang aja ya. Gak usah diambil pusing, Ren. Rizki mah sudah diatur dari Atas sono. Gak akan mungkin tertukar. Tapi kamu kudu tetep usaha dan jangan putus sholat ya. Nanti aku bantu ngerayu ibu." Singkat cerita, Ilyas berhasil merayu istri cantiknya untuk menerima Adhia bekerja di usaha yang dikelola istrinya itu. Books, Coffee & Beyond Salah satu diversifikasi usaha yang dikelola istri cantiknya. Jangan bayangkan seperti coffee shop lain pada umumnya, yang hanya menjual kopi atau teh. Ilyas dan istrinya membuat suatu hal yang berbeda. Yang terpenting bermanfaat bagi masyarakat. Di ruko sebelah bengkel yang dibeli Ilyas, lantai satu digunakan untuk coffee shop dan menjual buku-buku tertentu saja. Lantai dua digunakan khusus untuk tempat pertemuan. Multifungsi. Bisa untuk pengajian, bisa untuk tempat rapat internal ataupun mengundang pengajian sekaligus makan untuk anak yatim dan kaum dhuafa yang selalu diadakan setiap hari Jum'at. Tujuannya satu, berbagi kebahagiaan. Rizki mereka berlebih. Daripada digunakan untuk hal-hal yang bersifat duniawi, sang istri cantik yang sudah berhijrah, mengajukan usul untuk berbagi rizki pada yang membutuhkan. Tanpa mereka sadari, hal yang mereka lakukan secara ikhlas itu semakin menambah rizki bagi mereka.  "Di... aku tadi sudah ngobrol sama ibu. Katanya beliau mau ketemu kamu, mau diajak ngobrol. Ibu bilang butuh tambahan tenaga buat bantu di dapur. Pas banget kan sama kamu. Tapi pastinya kerjain apa, aku juga gak tahu. Mending kamu langsung ketemu ibu, besok berangkat bareng aku ya." Malam hari, setelah Ilyas dan istrinya menyetujui usul Tarendra agar Adhia bisa bekerja di situ, Tarendra langsung memberi tahu kabar baik itu. Adhia yang masih sibuk menyusui bayi mereka, segera meletakkan bayi itu di kasur. Tersenyum gembira pada Tarendra, tapi mendadak dia bingung. Kalau dia juga bekerja, bayi mereka sama siapa? Dia tidak mungkin menitipkan bayi itu pada orang lain. Ke panti terlalu jauh. Membayar tenaga pengasuh? Jelas tidak mungkin! Uang yang didapat harus digunakan sebijak mungkin. "Tapi, Ren, kalau aku juga kerja terus Mas Andra sama siapa? Siapa yang momong dia? Aku kan gak mungkin ninggalin dia sendirian, Ren." Candrakumara Soemitro. Artinya putra rembulan. Seperti nama sang ayah, Tarendra yang berarti pangeran bintang-bintang. Keduanya putra langit. Mereka memanggil si bayi tampan itu, Andra. Andra perpaduan antara Tarendra dan Adhia. Wajah tampannya mengikuti sang ayah, tapi Andra terlihat sangat menggemaskan karena punyai mata bulat indah ibunya. Plus bulu mata yang lentik. Siapa pun yang melihat pasti akan langsung jatuh hati pada bayi montok itu. "Kata ibu, itu bisa diatur. Di ruko kan juga ada ruangan istirahat karyawan. Malah bisa gantian jagain Andra. Gitu kata ibu. Oh iya... ibu bilang, pas lihat foto Andra ngegemesin banget. Jadi keingat si bungsu pas bayi katanya. Sama cakepnya. Padahal mah beda banget. Walaupun ibu bilang si bungsu cakep, buatku mah lebih cakep bayi Andra, kan? Iya kan dek?" Tarendra seperti bermonolog, karena tentu saja bayinya belum bisa membalas percakapan itu. Bayinya hanya bisa tertawa, memainkan kakinya, berusaha mengemut jempol kakinya sendiri. Bayinya yang tampan, bermata bulat indah seperti ibunya. Bayi yang hanya akan ia miliki beberapa saat saja. Karena tanpa Tarenda dan Adhia tahu kelak, jalan hidup mereka begitu terjal. Mereka berdua akan kehilangan. Sama-sama kehilangan. Kehilangan cinta, dan yang paling mengenaskan, kehilangan putra tercinta satu-satunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN