Hari ini hari Sabtu. Adhia ijin tidak masuk kerja karena Andra rewel, badannya demam tinggi dari semalam. Sepertinya juga diare karena sudah beberapa kali buang air besar. Padahal sudah diberi obat penurun panas dan anti diare yang dibeli di warung, sirup penurun panas untuk balita. Tapi demamnya tidak juga turun, membuat Adhia panik. Jadi hanya Tarendra yang berangkat kerja.
Hari Sabtu, bengkel Surya hanya buka setengah hari saja. Hari ini Tarendra bekerja tidak konsentrasi. Andra demam tinggi. Dan tadi beberapa karyawan bercerita padanya akan kejadian hari Jum'at kemarin. Tarendra sangat marah pada mamanya. Tidak habis pikir kenapa bisa mamanya berbuat senista itu. Dia tahu, Adhia tidak akan mungkin cerita hal seperti ini padanya. Adhia lebih suka menyimpan semua kesedihan sendiri.
Tadi pagi, Ilyas yang biasanya tidak pernah datang ke bengkel saat hari Sabtu, mendadak datang dan memanggilnya. Si bos memang tidak marah, hanya menasehati agar kejadian seperti kemarin jangan sampai terulang lagi. Kejadian yang tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang mengaku terhormat seperti mamanya. Dan Tarendra berjanji akan hal itu.
Tarendra sudah berencana, akan ke rumah mamanya dulu kemudian segera membawa Andra ke dokter. Bagaimanapun juga Andra salah satu tujuan hidupnya saat ini. Dia bertanggung jawab penuh pada anak dan istrinya. Saat akan pulang, Tarendra merasa ponselnya bergetar. Diliriknya layar ponsel. Tertera nama sang mama. Kebetulan!
"......"
"Iya ma... aku akan ke situ. Sekalian kita bicarakan apa yang sudah mama lakukan kepada Adhia kemarin!" Dimatikannya ponselnya, walau sang mama masih saja berbicara. Hilang sudah sopan santunnya pada sang mama karena emosi yang memuncak.
"Taren..., hati-hati bawa motornya. Gak usah ngebut. Kepala dan hatimu dibikin dingin dulu! Lihat tuh, langit mendung gelap banget, eeh... udah mulai gerimis malah. Hati-hati, jalan licin!" Pesan Bang Doel pada rekan kerjanya itu. Saat karyawan perempuan bercerita tentang kejadian yang menimpa Adhia kemarin, Doel juga ada di situ, jadi dia tahu kalau Tarendra sedang sangat emosi saat ini.
"Iyaa.... Makasih bang!" Tarendra tersenyum, saat Bang Doel menepuk pundaknya. Tarendra menutup helm full face yang dipakainya, dan segera melajukan motornya dengan ngebut! Lupa akan pesan Bang Doel. Dia igin sesegera mungkin sampai di rumah mama papanya.
Dan adu mulut terjadi di rumah itu. Mamanya marah besar karena Tarendra tidak pernah meminta restunya untuk menikah. Ketambahan lagi Tarendra memilih gadis yang tidak memenuhi standar sang mama. Gadis miskin, yatim piatu, latar belakang keluarga tidak jelas, pendidikan rendah, bla... bla.... masih panjang lagi kekurangan Adhia yang dijeberkan sang mama. Sementara seperti biasa, papanya hanya diam saja. Tidak mau ikut campur. Sekelebat ingatan Pak Soemitro teringat pada mantan istri pertamanya. Mamanya Tyas. Perkawinan mereka tidak pernah direstui karena alasan yang sama. Dia merasa de javu. Akhirnya sang papa pun menyingkir dari ruangan yang dipenuhi teriakan itu.
"Kamu tahu! Perempuan itu hanya mau uang kita saja!" Teriak sang mama.
"Adhia tidak begitu, ma! Awal pernikahan kami, malah dia yang membiayai kebutuhan hidup kami karena aku belum bekerja!"
"Ooh ya...., lalu, apakah dia pernah cerita sama kamu, kalau mama memberinya cek dengan nominal yang besar untuk standar hidupnya? Pernah? Tidak kan? Itu karena dia makan sendiri uang itu! Bullshit kalau dia tidak mau uang sebesar itu!"
Tarendra terdiam, mencoba mencerna perkataan mamanya. Jikalau itu benar, pantas saja mereka tidak pernah kekurangan selama setahun belakangan ini. Dia kira, itu karena Adhia pintar mengatur uang yang mereka dapat. Dan memang pada kenyataannya, itu yang terjadi, walau Tarendra tidak tahu. Tapi ada yang lebih mengusik pikirannya.
"Maksud mama, mama pernah menemui Adhia sebelumnya? Sebelum kejadian memalukan kemarin di tempat kerjaku?"
"Ya...! Tentu saja!"
"Kapan itu?"
"Saat Adhia sedang hamil. Di toko roti murahan itu!"
Tarendra mengepalkan tangannya! Pantas saja, Adhia ngotot ingin berhenti bekerja di toko roti itu, walaupun dia sangat betah bekerja di situ. Pasti mamanya mengancam Adhia!
"Mama sudah punya calon istri yang sesuai untukmu! Beri talak perempuan itu, dan menikahlah dengan pilihan mama! Dia jauh lebih cocok buatmu dibanding perempuan itu. Cantik, berpendidikan tinggi dan pastinya sederajat dengan kita! Anak orang kaya! Tidak rendahan seperti perempuan itu! Kalau dia dan anaknya butuh uang untuk biaya hidup, mama akan kasih, jauh lebih besar dibanding yang lalu! Asalkan dia meninggalkan kamu!" Bentak sang mama.
"Mama..., anak Adhia adalah anakku, darah dagingku! Cucu mama dan papa! Mama tega mau menyakitinya?"
"Dengar!!!" Mamanya maju beberapa langkah mendekati Tarendra, nampak sekali kemarahan di wajahnya.
"Mama tidak punya cucu yang berasal dari perempuan rendah seperti dia! Dan mama tidak akan pernah mau mengakuinya! Segera beri talak perempuan itu dan kamu kembali ke sini!" Dan petir pun terdengar menyambar di sore yang hujan deras itu. Membuat yang mendengarnya berjengit kaget. Pun Tarendra dan mamanya.
Tarendra mendungakan wajahnya ke atas, sebisa mungkin dia tidak mau durhaka pada sang mama. Dia sedih, sangat! Tidak menyangka mamanya akan tega seperti itu.
"Maaf ma..., Taren mencintai Adhia. Dan Taren bukanlah papa yang tidak bisa mempertahankan apa yang seharusnya diperjuangkan. Taren pulang dulu, semoga mama bisa mengerti. Taren akan datang lagi nanti kalau mama sudah tenang." Pamitnya dan segera mengeloyor pergi dari rumah mewah itu, menerjang hujan deras disertai petir, yang entah kenapa hujan turun semakin deras dan petir semakin sering terjadi.
"Tarendra!! Tunggu! Mama belum selesai bicara! Kembali ke sini! Tarendra" Teriak mamanya, berusaha mencegah kepergian sang anak. Tentu saja Tarendra tidak mendengar walaupun sang mama berteriak sekeras-kerasnya, karena selain sudah memakai helm full face, bunyi petir dan suara hujan deras juga menulikan telinganya. Tarendra mengetatkan jaket yang dipakainya, setidaknya mencegah tubuhnya terkena air hujan secara langsung. Hujan turun dengan derasnya, terasa tajam di tubuhnya karena terkena tetesan air hujan, tapi Tarendra tidak peduli. Dia sungguh kesal dengan sang mama karena sudah mencampuri terlalu jauh kehidupan pribadinya.
Sebelum melajukan motornya, Tarenda memegang sirup obat penurun panas yang tadi sempat diberi oleh ibu bos padanya. Disimpannya baik-baik obat itu, seakan itu nyawa anaknya. Dia menoleh untuk terakhir kali ke arah mamanya yang masih juga berteriak tidak jelas.
Segera Tarendra melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Tidak dipedulikannya lagi hujan dan petir yang memekakkan telinga. Dia ingin cepat pulang agar bisa segera membawa Andra ke dokter. Tanpa dia tahu bahwa dia-lah yang akan bertemu dokter.
Kemudian yang selanjutnya terjadi, dia tidak tahu! Tiba-tiba motornya tergelincir masuk ke bawah truk tronton yang sedang mogok. Botol obat sirup yang dibawanya pecah, membuat sirup penurun panas rasa strawberry itu terlihat seperti darah. Merah.
Adhia... Andra... maaf ... maaf... Maafkan aku Di...
Kepalanya berkunang, helmnya pecah, dan dia mendengar jeritan orang-orang yang sigap hendak menolongnya. Dia sempat melihat warna merah, entah itu darahnya atau sirup penurun panas itu, dia tidak tahu.
Terbayang wajah cantik Adhia dan wajah lucu Andra yang sedang berlarian. Dia tidak lagi bisa merasakan apa pun sebelum akhirnya matanya menutup.
Di... maaf... maaf...