"Kenapa terlambat sekali? Aku sudah menunggumu dari pagi di sini," tanya Edward, yang duduk pada sofa, di dalam ruangan Griffin.
"Wanita itu berulah. Dia hampir saja membunuhku!" cetus Griffin dengan raut wajah kesal.
"Kenapa kamu masih saja menahannya? Kembalikan dia, Grif. Kembalikan saja dia kepada keluarganya." Edward kasihan. Ia tidak tega melihat wanita yang tidak tahu apa-apa itu menjadi sasaran amarah Griffin.
"Tidak akan. Ini terlalu mudah. Aku ingin membuat mereka semua merasakan penderitaan!" cetus Griffin penuh ambisi.
"Kamu terlalu keras kepala. Jangan sampai hal ini menjadi bumerang untuk dirimu sendiri," peringatan yang Edward berikan.
"Tenang saja. Aku lebih tahu, tentang apa yang sedang aku lakukan. Jadi lebih baik, kita urus saja masalah pekerjaan. Kamu menginginkan sebuah kerja sama bukan? Jadi ayo, lakukanlah!" cetus Griffin.
Edward tak memiliki pilihan lain, selain meneruskan hal yang memang menjadi maksud serta tujuannya datang ke sini. Keduanya pun mulai sibuk membahas masalah pekerjaan. Hingga ponsel milik Griffin berdering nyaring. Keduanya menghentikan pembicaraan diantara mereka.
"Ya halo? Ada apa?" tanya Griffin melalui sambungan telepon seluler miliknya.
"Tuan, Nona tidak sadarkan diri dan juga, dia demam, Tuan," ucap seorang pelayan yang ditugaskan oleh Griffin untuk mengurus kelinci kecilnya.
"Biarkan saja! Dia tidak akan mati hanya karena demam!" cetus Griffin, yang membuat kerutan yang begitu banyak di dahi Edward.
Griffin mengakhiri panggilannya. Ia menatap Edward yang sedang menatapnya, dengan raut wajah tak percaya.
"Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku??" tanya Griffin.
"Wanita itu sakit? Dan kamu biarkan saja dia begitu???" tanya Edward dengan raut wajah tidak percaya.
Griffin menyunggingkan senyumnya. Sepertinya, kawannya ini sedang berusaha ikut campur ke dalam masalah, yang sedang dihadapinya.
"Iya. Memangnya kenapa? Dia tidak akan mati hanya karena demam bukan? Dan anggap saja, ini adalah hukuman, karena dia berani-beraninya ingin melenyapkan nyawaku!" cetus Griffin yang kembali sibuk membaca setiap poin membahas kesepakatan diantara perusahaan yang ia pimpin, dengan perusahaan sahabatnya, Edward.
Setelah beberapa jam membahas. Kini, keduanya pun telah mencapai kesepakatan bersama. Griffin kembali melanjutkan pekerjaannya. Sementara Edward kembali ke perusahaan, yang diberikan oleh sang ayah dan sedang ia kelola serta kembangkan.
"Aku pergi dulu," ucap Edward sebelum keluar dari dalam ruangan Griffin.
Edward melangkah cepat dan pergi ke lift. Sebelum akhirnya pergi ke parkiran dan melaju dengan mobil merahnya. Ia melaju cukup kencang. Bukan ke perusahaan miliknya. Akan tetapi, ke sebuah villa milik keluarga Anderson.
"Dimana wanita itu??" tanya Edward ketika sampai ke tempat tujuannya.
"Ada di atas, Tuan," ujar pelayan, yang bertugas mengurus villa ini.
"Tolong bawa saya kepadanya."
Permintaan yang Edward layangkan dan tak lantas diberikan lampu hijau begitu saja. Pelayan itu memang mengikuti perintah. Tapi, hanya perintah dari Tuannya. Meskipun, ia tahu orang berada di hadapannya saat ini adalah sahabat karib Tuannya. Tetap saja, tanpa persetujuan dari Tuannya, hal itu tidak akan ia lakukan.
"Maaf. Saya tidak bisa, Tuan. Saya hanya menuruti perintah dari Tuan Griffin."
Pernyataan yang membuat Edward kebingungan. Tapi, tidak kehabisan akal.
"Dia yang menyuruh saya datang ke sini. Wanita itu sedang sakit bukan??"
Sebuah siasat yang Edward buat, untuk mengelabui pelayan tersebut.
Tanpa banyak kata lagi. Edward digiring ke kamar atas dan diantarkan langsung, untuk menemui wanita yang entah siapa namanya. Yang Edward tahu, ia adalah putri dari keluarga Livingston. Itu saja.
Pintu kamar dibuka. Edward bergegas masuk dan menghampiri wanita, yang tengah terpejam di atas tempat tidur, dengan selimut yang menutupi tubuh, hingga mencapai lehernya.
"Apa sudah diberi obat??" tanya Edward seraya memalingkan wajahnya, kepada pelayan yang berdiri di sampingnya.
Pelayan tersebut mengangguk pelan dan menjawab singkat. "Sudah, Tuan."
Tangan Edward terulur ke arah kening, disentuhnya kening Grizelle dan masih tetap hangat. Disibaknya selimut yang menutupi tubuh Grizelle, lalu dibukanya kedua kelopak mata Edward lebar-lebar. Saat melihat luka di sekujur tubuh Grizelle, yang hanya berbalut kemeja putih, hingga atas lututnya.
"Astaga! Apa dia sudah gila???" gumam Edward.
Edward membuka jas abu-abu yang membalut tubuhnya dan menutupi, tubuh bagian depan Grizelle, lalu mengulur kedua tangannya. Dan hendak membopong tubuh Grizelle yang tak bertenaga. Namun, si Pelayan mencegah hal itu dilakukan.
"Tuan! Nona mau dibawa kemana?? Saya diperintahkan untuk tidak membawa Nona kemana pun!" ujar pelayan tersebut panik.
"Tenanglah. Tidak apa-apa. Saya hanya akan membawanya ke rumah sakit. Kondisinya memperihatinkan. Jangan sampai terlambat ditangani," ujar Edward seraya melangkah pergi. Namun, tetap dihadang juga.
"Tapi Tuan, nanti Tuan Griffin pasti akan memarahi saya."
"Tidak akan. Kamu bisa mengatakan, aku yang membawanya pergi. Kita tidak bisa menganggap ini remeh. Dia bisa kehilangan nyawanya!" cetus Edward yang membuat Pelayan mulai terlihat serba salah.
"Ayo cepat bantu saya!" permintaan Edward, yang kali ini langsung dilakukan.
Pelayan tersebut pergi ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar, agar Edward bisa lewat. Hingga saat ia berada di bawah, pintu mobil pun Pelayan bukakan untuknya.
Setelah itu, barulah Edward pergi melaju dengan mobilnya dan pergi ke rumah sakit.
Di perjalanan. Grizelle yang mulai merasakan sebuah pergerakan, karena polisi tidur pun terbangun. Ia membeliak kaget, dan mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling.
Ini di jalan dan di dalam mobil. Tapi, siapa lelaki di sampingnya ini??? Yang jelas, itu bukanlah laki-laki yang sudah menyekapnya beberapa hari ke belakang.
"Kamu siapa!? Aku mau dibawa kemana!??" pekik Grizelle dengan sisa tenaga yang ia miliki.
Edward melirik sekilas ke arah wanita yang sedang menatapnya, lalu mulai menepikan mobilnya di depan.
"Kamu mau apa!? Aku mau dibawa kemana??" pertanyaan yang kembali Grizelle layangkan, ketika mobil telah berhenti melaju.
"Tenanglah. Jangan takut. Aku Edward. Dan aku, akan membawa kamu ke rumah sakit," tutur Edward lembut. Kepada wanita yang terlihat ketakutan ini.
"Aku mau pulang. Aku cuma mau pulang," lirih Grizelle dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Edward menelan salivanya sendiri. Mungkin, sudah seharusnya ia membawa wanita ini kepada keluarganya. Di sana, ia akan dirawat dengan sangat baik bukan.
"Baiklah. Tunjukkanlah jalannya. Aku akan mengantarkan mu pulang."
Sebuah kalimat yang membuat Grizelle amat bersyukur serta bernapas lega. Akhirnya, ia bisa keluar, ia bisa bebas dari perangkap iblis berwujud manusia.
Mobil kembali melaju. Menuju kediaman keluarga Livingston. Dan berhenti tepat di depan gerbang besar yang menjulang tinggi.
"Kita sudah sampai," ucap Edward.
Grizelle membuka pintu mobil dengan terburu-buru. Dan belum sempat ia keluar, Edward mencegahnya.
"Hei tunggu dulu!" cegah Edward.
Grizelle menoleh dan menatap Edward dengan kerutan di dahinya.
"Siapa namamu??" tanya Edward.
"Grizelle. Namaku Grizelle. Terima kasih, sudah mengantarkan aku pulang," ucap Grizelle sebelum akhirnya keluar dari dalam mobil Edward dan menutup pintunya kembali.
Edward sempat tertegun sejenak. Memandangi Grizelle yang menghilang dari pintu gerbang, dengan dibawa oleh para penjaga. Setelah itu kembali melaju pergi ke perusahaannya.