Minur menutup kopernya dan merasa puas berhasil menyusun semua pakaiannya dengan rapih, lalu menurunkannya dari tempat tidur. Terdengar ketukan pintu di kamarnya.
"Masuk!"
Reni, ibunya muncul dari balik pintu.
"Sepertinya kamu sudah membereskan pakaian yang akan kamu bawa nanti."
"Iya. Aku baru saja selesai. Ada apa?"
"Ibu sudah membuatkanmu kue kering untuk bekal camilan besok. Ini ambilah!"
Minur mengambil toples kue dari tangan ibunya.
"Terima kasih."
Tiba-tiba Minur menangis dengan sangat keras. "Ibuuuuu. Aku sangat terharu."
"Cup...cup jangan menangis!"
Reni memeluk Minur, lalu membelai-belai rambut putrinya.
"Ibu akan merindukanmu selama beberapa hari ke depan."
"Aku juga. Aduh bagaimana nanti kalau aku sudah menikah, aku akan jarang bertemu dengan Ayah dan Ibu."
"Huaaaaaa."
Minur dan Ibunya menangis bersama-sama.
"Ngoooooook."
Minur lalu memeluk Momocha dengan erat.
"Ngok."
"Aku juga akan merindukanmu, Momocha."
"Ngook."
"Ini sudah malam sebaiknya kamu tidur. Besok pagi kamu sudah harus pergi."
Minur mengangguk, lalu pergi tidur. Khusus malam ini Momocha tidur bersama Minur di tempat tidur.
***
Keesokan paginya tepat pukul 9 pagi, mobil jemputan yang dikirim Gasendra telah datang. Minur berpamitan kepada orangtuanya.
"Jaga dirimu baik-baik! Ingat pesan Ayah. Kamu harus makan sewajarnya di sana."
"Iya Ayah."
Ekawira menangis, lalu memeluk Minur, sedangkan ibunya terisak-isak menangis di samping suaminya. Minur kemudian memeluk ibunya.
"Ngoook."
Minur memeluk Momocha sambil menangis. "Ingat kamu jangan nakal ya."
"Ngok."
Minur kemudian masuk ke dalam mobil, melihat orangtua dan Momocha dari kaca jendela. Ia kembali menangis dengan sangat keras. Pak Didi, sopir keluarga Balker memperhatikan Minur dari kaca spion dan hanya tersenyum geli melihat tingkah anehnya. Ia senang kalau Tuan mudanya memilih Minur sebagai calon istrinya daripada wanita-wanita yang suka menggoda Tuannya itu.
Selama dalam perjalanan ke Jakarta, Minur tidur dengan nyenyak sampai Pak Didi membangunkannya.
"Nona Minur, bangun! Sudah sampai."
Perlahan-lahan Minur membuka matanya dan melihat ke sekeliling. Setelah semua kesadarannya terkumpul, ia langsung terbangun dan keluar dari mobil. Ia begitu terpesona melihat rumah Gasendra yang begitu besar dan mewah. Selama sesaat matanya tak berkedip.
Pilar-pilar depan rumah berdiri dengan sangat kokoh. Jika dibandingkan dengan rumahnya, tidak ada apa-apanya. Pak Didi membawakan koper Minur dan mengantarkannya masuk. Sebelum masuk, Minur iseng menggunakan indra penciuman supernya. Rumah Gasendra memiliki aroma gula-gula kapas. Air liur Minur hampir menetes. Ia sudah lama tidak memakan gula-gula kapas.
Minur teringat dongeng Hansel dan Gretel memasuki rumah permen di tengah hutan. Sempat terbersit di pikirannya jangan-jangan rumah Gasendra adalah rumah penyihir yang menjebak orang masuk ke dalam rumah permen. Bagi Minur tidak masalah kalau yang jadi penyihirnya adalah Gasendra yang tampan, imut dan lucu. Minur tertawa cekikian sendirian.
Kedatangan Minur disambut oleh Selina, ibunya Gasendra.
"Minur sayang, selamat datang!"
Selina nampak senang dengan kedatangan calon menantunya. Ia memeluk dan mencium pipi Minur. Ia langsung memerintahkan pelayannya untuk membawa koper ke kamar tamu. Selina membawa Minur ke ruang keluarga yang sangat besar. Selama beberapa saat yang lalu, Minur merasa takjub dan terpesona melihat isi rumah keluarga Balker. Ia berasa seperti hidup di dalam istana, bahkan ruang keluarganya sebesar rumahnya secara keseluruhan.
Mata Minur berbinar-binar melihat bermacam-macam kue ada di meja. Ia seperti menemukan harta karun yang sangat berharga dan sudah tidak sabar ingin segera memakannya.
"Kamu boleh makan kue-kue itu sepuasnya."
"Benarkah?"
"Tentu saja."
Tanpa disuruh lagi Minur langsung memakannya.
"Kue-kue ini sangat enak."
"Apa kamu suka?"
"Aku sangat menyukainya."
Mulut Minur penuh dengan krim hingga membentuk kumis. Selina tersenyum melihatnya dan senang kue-kue itu hampir habis dimakan oleh Minur.
"Habiskan saja semuanya! Nanti aku akan menyuruh koki dapur membuatkannya lagi untukmu."
Mata Minur kembali berbinar-binar. "Terima kasih banyak, Nyonya Selina."
"Jangan panggil aku, Nyonya Selina! Panggil saja aku Ibu!"
"Baiklah, Bu."
"Setelah selesai makan kue kamu bisa istirahat di kamar. Oh ya bagaimana kabar orangtuamu?"
"Mereka baik-baik saja. Oh ya di mana Gasendra? Aku belum melihatnya sejak dari tadi?"
"Gasendra dan ayahnya sedang pergi ke butik. Sebentar lagi mereka juga datang."
Minur kembali memakan kuenya dan Gasendra baru saja tiba di rumah. Ia terkejut melihat Minur yang sedang makan kue yang sangat banyak. Mulutnya penuh dengan krim kue.
"Nah itu Gasendra sudah pulang."
Minur langsung menoleh. Kelopak bunga mawar dan bentuk hati berjatuhan di sekeliling Gasendra dan kepala Minur tumbuh bunga.
"Kyaaaaaa."
Minur langsung lari dan melompat ke pelukan Gasendra. Perasaan bahagianya meluap bisa bertemu lagi dengan calon suaminya, tapi Gasendra berhasil menghindar dan Minur kehilangan kesimbangan, lalu tersungkur jatuh dan kepalanya nyungsep di lantai yang sudah dilapisi karpet berbulu tebal.
Minur meraung kesakitan dan menangis. "Ayah, Ibu. Ayang Gasendra jahat."
"Mulutmu penuh dengan krim dan aku tidak ingin kamu mengotori bajuku."
Minur menangis semakin keras.
"Aduh kamu jangan membuat Minur menangis,"kata ibunya.
"Yang dikatakan Ibumu benar,"kata Matthew.
Gasendra pun jadi merasa kasihan melihat Minur yang terus menangis.
"Aku minta maaf. Sudah jangan menangis lagi nanti aku kasih es krim."
Minur langsung berhenti menangis dan matanya kembali berbinar-binar mendengar kata es krim.
"Es krim?"
"Iya es krim. Mau tidak?"
"Tentu saja aku mau."
"Nanti pelayan akan membawakan es krim yang banyak untukmu."
Gasendra membantu Minur berdiri, lalu ia mengelap krim yang masih menempel di mulut Minur dengan tangannya.
"Gasendra, antarkan Minur ke kamarnya ya,"perintah ibunya.
"Ayo Minur!"
Minur terdiam.
"Ada apa?"
"Aku ingin kamu menggendongku sampai ke kamar."
"Apa yang benar saja? Kamu kan berat."
"Kamu harus menggendongku,"rajuk Minur dengan memasang wajah cemberut.
"Turuti saja kemauan Minur,"kata ayahnya.
"Baiklah."
Minur tersenyum, lalu menaiki punggung Gasendra yang kokoh dan hangat.
Minur masih mengagumi kemewahan rumah keluarga Balker di gendongan Gasendra. Tangga utama yang setengah melingkar berdiri begitu kokoh. Lampu kristal besar tergantung menambah keindahan interior rumah. Lukisan-lukisan pemandangan alam tergantung di sepanjang dinding.
"Ternyata kamu berat sekali."
"Aku memang berat."
Minur tertawa cekikikan.
"Ayo semangat, ayang Gasendra!"
Minur memberi semangat saat Gasendra mulai menaiki tangga. Bagi Gasendra tangga rumahnya sekarang bagaikan tanjakan gunung yang sangat curam terlebih lagi mengangkut beban yang cukup berat di punggungnya. Selain itu kedua d**a Minur yang empuk menekan punggungnya. Wajah Gasendra berubah jadi merah padam, lalu ia teringat dengan mimpi fantasi liarnya dengan Minur. Pria itu menelan ludahnya.
"Sial! Minur tidak boleh tahu tentang itu,"bisik hatinya. Ia sama sekali tidak tahu kenapa ia bisa berpikiran m***m seperti itu. Ini semua karena Neng Minur, wanita teraneh yang pernah ia temui.
Mereka telah tiba di lantai dua. Gasendra mulai kelelahan dan ingin segera sampai di kamar Minur. Mereka melewati lorong rumah yang cukup panjang dan berkali-kali belok membuat Minur tambah pusing mengingat jalan menuju ke kamarnya. Bisa-bisa ia tersesat di dalam rumah pikir Minur.
"Aku tidak menyangka rumahmu besar sekali."
"Memang. Sekarang kamu sudah tahu."
"Aku tidak ingat lagi jalan menuju ke kamarku. Bagaimana ini?"
"Pakai google maps saja!"
"Memang bisa ya?"
"Kamu bisa mencobanya nanti. Setelah kamu beristirahat, kita akan melakukan tour supaya kamu tidak tersesat."
"Baiklah. Apa kamarku masih jauh?"
"Kamarmu sudah dekat. Sebentar lagi kita sampai."
"Apa di sini ada hantu?"
Gasendra menyunggingkan senyuman jahilnya.
"Ada."