Langkah pertama

1955 Kata
Ingatan bagaimana orang tua Aasfa mengunjungi kediaman orang tuanya dan dengan lantang meminta diri Kanaya menjadi menantu berputar kembali di dalam pikiran gadis itu. Kanaya remaja rela melupakan benih-benih kasih yang tumbuh di hatinya, jangankan untuk membuat benih itu tumbuh menjadi pohon yang kokoh, menjadikannya tunas saja sudah tidak mungkin. Keinginan orang tua dan juga impian bodohnya membuat Kanaya lupa akan sebuah cinta tulus tanpa syarat yang ditawarkan Revan. Sifat rakus Kanaya yang tidak pernah sadar akan kekurangan diri membuat ia harus gigit jari di tinggalkan Aasfa sendirian di hari pernikahan mereka. Cukupkah rasa sakit Kanaya? Takdir seolah masih ingin bermain-main dengan gadis itu. Orang tua Aasfa tak henti meminta dirinya, menaklukkan pria yang sudah melukai harga diri keluarganya. keinginan gila yang ia tolak mati-matian tapi tetap saja hasil akhirnya ia harus lakukan. Permainan klasik takdir, penyakit jantung ayahnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan sekali lagi keluarganya harus menerima uluran tangan dari keluarga Anggono. Demi balas budi ia harus rela menggadaikan harga diri, berubah menjadi cantik, pintar, dan tampil elegan. Tugas utamanya agar bisa tampil sempurna di hadapan orang yang ia benci. Berhentikah kehidupan mempermainkannya? Ternyata belum! Menjalankan misi orang tua Aasfa semudah membalikkan telapak tangan untuk Kanaya, apalagi saat ini ada bunga-bunga dendam yang sedang mekar di hatinya, semua pasti akan terasa sangat mudah. Hal tersulit saat ini, ialah melihat pria yang ia cintai. Revan sangat dekat dengan dirinya, tetapi ia harus menjauh. Melihat pria yang ia cinta, tetapi harus membutakan mata. Begitu sakit cara Tuhan menciptakan cinta untuknya. “Kay, kamu ngelamun?” Tangan Amelia melambai-lambai tepat di muka Kanaya. Gadis itu lelah memanggil sahabatnya berulang kali. Kanaya menepiskan tangan Amelia perlahan, sedikit menarik bibirnya ke samping, membentuk seulas garis tipis di bibirnya. “Kenapa?” “kamu, ngelamunin apaan?” “Mikirin kamu, kapan bisa berubah, dari dulu sifat tomboymu nggak berkurang,” kilah Kanaya. “Jangan pikirkan aku. Dari dulu emang udah gini dan aku baik-baik aja,” sanggah Amelia. “Yang harus dipikirkan, bagaimana caranya merayu Aasfa agar setuju, dengan syarat kontrak yang kamu ajukan.” Amelia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dirinya menjadi tidak yakin, kalau urusan Aasfa dan Kanaya akan menjadi mudah. Kedua orang ini sama-sama memiliki sifat keras kepala. “Jangan terlalu khawatir, jika lusa dia tidak setuju untuk memenuhi persyaratanku, biar aku saja yang mengalah memenuhi persyaratannya,” hibur Kanaya. “Serius? Kamu mau ngalah sama kutu busuk amoral, itu?” tanya Amelia setengah tak percaya. Kanaya mengangguk kecil. Dirinya hanya ingin membuat Amelia tenang, tidak untuk mengalah. Sejak membaca surat dari Aasfa empat tahun silam, sudah tepatri janji di hatinya tidak akan pernah mengalah sedikit pun pada hamba dedemit berwujud manusia itu. Dirinya tidak akan pernah mengalah dengan Aasfa. *** Sepertinya kali ini tangan Tuhan bekerja untuk kanaya. Di dalam kamar Aasfa yang megah, ia telah disibukkan oleh Abigail yang rewel sepanjang hari. Anak kecil itu menangis tanpa henti, ingin melihat mama yang baru ditemuinya tadi siang. Bocah kecil ini berulang kali menangis, mengajak sang papa untuk mencari Kanaya. Entah ilmu pelet apa yang dipakai Kanaya pada Abigail, hingga anak itu menyukainya begitu banyak, padahal mereka baru berjumpa. Jika Abigail terus menangis tidak berhenti seperti ini, bukan tidak mungkin Aasfa harus menurunkan harga diri, dan meminta pada gadis itu bekerja sama demi buah hati tercinta. “Abi, mau mama?” tanya Aasfa pada gadis kecilnya. Anak kecil itu mengangguk, rambut ikalnya yang terurai indah ikut bergoyang seolah menyetujui keinginannya. “Mama Amelia, .au?” tanya Aasfa lagi. Berharap kali ini abigail juga akan menganggukkan kepalanya. Anggukan kencang yang tadi diberikan oleh Abigail berubah menjadi gelengan. “Abi nggak mau tante Amelia, maunya mama!” seru Abigail pelan. Manik mata anak itu, terlihat berkilau, tanda air mata telah membayang dipelupuk mata. “Abi, mau mama rambut panjang,” ucap anak itu sedikit terisak. “Chika suka pamer punya mama. Tapi rambut mama chika pendek.” Ya Tuhan ... haruskah Aasfa hapuskan semua mama yang ada di Jakarta, atau anak kecil yang suka pamer, punya orang tua? Anak-anak kecil di dunia ini memang sangat mengesalkan. Tidak bisakah mereka pamer yang lain? Tidak mengertikah sulitnya seorang ayah mencarikan seorang mama untuk mereka? “Ya ... besok akan Papa carikan, mama berambut panjang untuk Abigail, tapi sekarang Papa mohon Abi tidur, ok?” Aasfa mulai gusar mendengar keinginan aneh anaknya. “Mama yang rambutnya panjang dan cantik seperti Princess Rapunzel?” tanya gadis kecil itu meminta kepastian. Aasfa mengangguk dan tersenyum dengan terpaksa. Menolak permintaan Abigail sama saja bunuh diri dengan metode penyiksaan lahir batin. Anak itu tidak akan pernah berhenti menangis hingga keinginannya terpenuhi, tetapi yang lebih menyakitkan, dia akan mengadu dan memfitnah Aasfa pada opa dan oma-nya. Abigail tersenyum, wajah mendungnya berubah cerah. Cepat ia memberikan ciuman di kedua pipi Aasfa sebelum keluar dari kamar papanya, dan berlari masuk ke kamar tidurnya sendiri. Abigail sebenarnya anak yang mandiri dan penurut, dia bukan tipikal anak manja yang semua keinginannya harus di kabulkan, juga bukan anak yang terlalu banyak tuntutan. Itulah sebabnya Aasfa selalu berusaha memenuhi keinginan anaknya, walau rumit. Namun, mencarikan seorang mama berambut panjang? Ingin mama? ada-ada saja! Seandainya di dunia ini ada swalayan yang khusus menjual mama, Aasfa rela berada di sana seharian penuh. Seandainya juga tersedia rental khusus penyewaan mama, Aasfa akan menyewa seratus mama sekaligus untuk menyenangkan hati anaknya. Sayangnya semua andai yang ada dipikiran Aasfa tidak tersedia di negara ini, dan yang harus dilakukannya untuk mendapatkan mama buat Abigail adalah menyuruh Revan merevisi kontrak untuk Kanaya serta meminta gadis itu untuk bekerja sama. *** Revan tersenyum membaca pesan singkat dari Aasfa. akhirnya pria kaku tersebut mau mengalah juga demi Abigail, walau ia harus datang lebih pagi untuk merevisi surat kontrak kerja sama dengan mengurangi beberapa poin dari Kanaya dan menambah poin dari Aasfa. Tidak masalah, asalkan semua tugasnya bisa berjalan dengan lancar. Revan melajukan mobilnya membelah jalan raya yang selalu padat di Jakarta, inilah tugas utamanya selain sebagai rekan Aasfa di A&A agency, dirinya juga seorang Legal Officer untuk perusahaan milik keluarga Anggono. Pemuda yang memiliki mata bagai elang itu, segera menghubungi Amelia, meminta ulang data Kanaya yang akan segera menjadi bagian dari keluarga agency model milik mereka. Namun, sesaat dirinya terpaku, melihat biodata Kanaya yang dikirimkan Amelia lewat email. Nama, tanggal lahir, dan foto yang melekat pada kartu tanda penduduk wanita itu, adalah gadis yang selama ini ia rindukan. Dua titik bening menggulir hangat di pipi pemuda yang selama ini menutup pintu hatinya untuk perempuan mana pun. Selama empat tahun ia merindukan sosok gadis remaja gemuk yang memiliki kecantikan hati luar biasa, dan kini ketika sang pujaan hati kembali, ia tidak mengenalinya. Saat Kanaya dan Amelia tiba, mata Revan tidak mau lepas memperhatikan gadis itu. Ia memiliki kecantikan sempurna seorang wanita Indonesia. Rambut hitam panjang terurai, menghiasi keindahan wajah yang berpadu indah dengan bentuk hidung bangir, serta kulit sawo matang khas gadis asia beriklim tropis, membalut sempurna tubuh ramping wanita yang memiliki tinggi di atas rata-rata. Andaikan dirinya seberuntung Aasfa, tidak akan pernah ia lepaskan bidadari dunia yang ada di hadapannya, ini. Amelia mengibas-ngibaskan surat kontrak kerja di depan wajah Revan, memberikan pandangan penuh ancaman jika saudaranya berani bermain-main dengan Kanaya. Gadis tomboy itu sangat mengenal tatapan terpesona Revan Pria usil itu tidak jauh berbeda brengseknya dengan Aasfa. Menganggap wanita tak lebih selimut hidup yang bisa di gonta-ganti. “Jaga pandanganmu, Aku tidak perduli walaupun kau saudaraku!” Peringatan keras diberikan Amelia pada revan, yang hanya menyambutnya dengan sumringah bahagia. “Ayo kita ke ruangan Aasfa, dia sudah menunggu!” ajak Revan. Berjalan mendahului kedua gadis itu. Di dalam ruangan besar yang dipenuhi dengan perabot mewah, Aasfa menunggu dengan tidak sabar. Dirinya khawatir jika Kanaya menolak permintaan gila yang ia ajukan dalam kontrak. Namun, ia tidak peduli, bukankah semuanya harus di coba? Jika gadis itu menolak terpaksa Aasfa harus menggunakan kekuasaannya agar perempuan angkuh itu bersedia menuruti keinginannya. Ketukan di pintu menyadarkannya Aasfa dari lamunan, seiring terbukanya pintu, mengantarkan ketiga manusia yang telah ditunggunya sejak tadi. Masih dengan gaya sok berkuasa, Aasfa menyuruh ketiga orang itu duduk di sofa, khusus untuknya menerima tamu. Kanaya yang sedari tadi melihat tingkah Aasfa yang menurutnya menjijikkan, sok berkuasa dengan uang dan merasa sangat istimewa dengan wajah tampan miliknya, mendadak mual. Gadis berkulit eksotis itu duduk tepat di hadapan Aasfa tanpa mau melihat ke wajah pria yang selalu mencuri pandang padanya. Ia hanya memfokuskan diri membaca tiap-tiap point yang tertulis di kertas putih itu dengan hati-hati. “Aku setuju!” ucapnya. “Aku tidak memiliki tempat tinggal di sini, dengan tinggal di rumah boss besar setidaknya bisa mengurangi pengeluaranku untuk menyewa apartement.” Aasfa menarik nafas lega, ternyata Kanaya tidak serumit yang ia pikirkan, sementara kedua orang bersaudara yang ada di depan mereka tercengang. Semudah itukah kedua mahluk berbeda kutup ini berdamai? Yang lebih aneh, Kanaya setuju untuk tinggal di rumah Aasfa dan menjadi teman bermain Abigail? Kedua bersaudara itu saling pandang, tetapi tidak lama bersikap tak acuh. Berpikir masa bodoh, asalkan semua permasalahan ini selesai. “Jika sudah setuju, tolong segera tanda tangani ... Sayang!” Revan menyerahkan pena pada Kanaya, mengedipkan sebelah mata, menggoda gadis itu. Amelia menendang kaki Revan sembari membelalakkan mata, membuat saudara laki-lakinya itu meringis ngeri. Kanaya hanya tersenyum, melihat tingkah kedua kakak beradik itu yanh sudah sering dilihatnya sejak dulu. “Aku setuju, tapi aku juga akan mengajukan satu syarat lagi!” seru Kanaya. “Tinggal serumah bukan berarti kau bisa mendikteku. Tidak perlu melibatkan perasaan dan tidak ada yang boleh mencampuri kehidupan masing-masing!” Kanaya meletakkan kembali pena yang diberikan Revan, ia menunggu tanggapan Aasfa yang ternyata langsung mengangguk puas dan menyetujui persyaratan yang diberikan gadis itu. Amelia tergelak, sementara Kanaya hanya tersenyum penuh arti melihat Revan menggerutu karena harus mendraft ulang perjanjian kontrak. Betapa bodohnya mereka berempat yang ada di dalam ruangan ini, kenapa tidak dari awal membicarakannya agar semua lebih mudah. Kebodohan Aasfa menular juga pada otaknya. *** Rumah besar milik Aasfa terasa sunyi, hanya ada pelayan yag selalu lalu lalang berpuluh kali melintas di setiap ruangan. Seorang anak kecil berlari menuruni tangga menyambut kedatangan Kanaya. “Mamaaaa ....” teriakan gadis kecil itu menggema di ruangan yang besar dan penuh dengan hiasan guci-guci mahal juga boneka crystal. Kanaya merentangkan kedua tangan, menyambut gadis kecil itu ke dalam pelukannya, memeluk, dan memberikan kecupan lembut pada anak kecil yang telah mencuri hatinya sejak kemarin. Sementara itu, jantung Aasfa berdebar, melihat bagaimana Kanaya memperlakukan anaknya penuh kasih sayang. “Abiii ... Mama kangen sama pipi montoknya, sini Mama cium lagi.” Canda Kanaya pada gadis kecil itu. Mata abigail membulat sempurna, terlihat semakin menggemaskan saat ia tertawa lepas. “Mama, bobo dengan Abi?” tanya gadis kecil itu. Kanaya mengangguk, “kalau itu yang diinginkan tuan putri Abigail, Mama Kay tidak bisa menolak.” Kanaya mengusap rambut Abigail lembut. Pertama melihat Abigail, Kanaya sudah merasa sangat menyayangi anak itu. sifat ramah, lembut, sabar, manja, dan dewasa menyatu dalam pikiran polosnya sebagai anak-anak. Kanaya menggendong gadis kecil dan membawanya masuk ke dalam kamar yang sudah di sediakan Aasfa untuknya. “Papa ingin bicara dengan mama Kay. Abi, bisa menunggu di luar?” tanya Aasfa yang baru saja datang melihat mereka berdua. Anak kecil itu mengangguk dan merosot turun dari gendongan Kanaya, berlari kecil keluar kamar dan menutup pintu. “Semoga, kamu suka kamar ini. Perabotnya memang sederhana, tetapi jika menurutmu ada yang harus diganti, lakukan saja,” jelas Aasfa. “Kamar ini sudah lama kosong ....” “Kosong sejak ibu dari anakmu pergi!” potong Kanaya cepat. “Maaf, aku tidak berminat mendengar cerita menyedihkan darimu!” Kanaya mendorong Aasfa keluar dari kamar yang akan ia tempati. Walaupun kamar ini dulunya milik Arinda, ia tidak perduli. Aku tinggal dirumah ini, bukan untuk mencintaimu, tetapi untuk membuatmu mencintaiku. Kamar ini tidak ada pernah ada hubungannya denganku. Batin Kanaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN