Pemotretan outdoor di sebuah taman bermain dilakukan lebih singkat dari dugaan sebelumnya. Fotografer yang mengharapkan pose-pose natural pasangan ibu dan anak, dapat dilakukan oleh Kanaya dan Abigail dengan mudah.
Tidak lebih dari tiga jam mereka sudah berpindah lokasi ke sebuah mall, mengganti pakaian dan melakukan pengambilan gambar demi gambar.
Abigail yang biasanya rewel, kali ini cukup bersahabat dengan para kru, mengikuti arahan fotografer dan melakukan pose pose cantik dengan bantuan Kanaya.
Amelia yang mengikuti jalannya pemotretan melakukan conference video call, pada Revan dan Aasfa. Gadis itu cukup bangga menunjukkan gemulainya Kanaya dan mudahnya ia berpindah jiwa di setiap take demi take pengambilan gambar.
***
Range Rover Sport berwarna merah mendekati lokasi photo shoot. Seorang pria tampan yang keluar dari mobil tersebut, berjalan mendekati mobil di mana gadis tomboi itu berada. Pria itu menyandarkan tubuhnya pada mobil, memberikan sapaan ringan pada adiknya, Amelia.
“Dia Kanaya temanmu ‘kan? Yang dulu sering menginap di rumah?” tanya Revan, tangannya membuka tutup botol minuman ringan yang diberikan oleh salah satu kru.
“hu’um, dulu bukannya kalian juga dekat? Kau sering mengantarnya pulang, benarkan?” Gadis tomboy itu berbalik mengajukan tanya.
Amelia mulai mengerti kemana arah pembicaraan Revan. Saudara laki-lakinya sudah mengenal Kanaya sejak lama, apakah rasa cinta di antara mereka mulai mengintip kembali di hati kedua orang itu?
Amelia pernah melihat Revan patah hati ditinggalkan kanaya, cinta yang dipendam saudaranya dalam diam.
“Sekarang, dia semakin cantik.” Mata Revan yang bersembuyi di balik kacamata hitam yang ia gunakan tak lepas memperhatikan setiap gerakan kanaya.
Amelia menoleh pada Revan, menghantamkan tinju pelan pada lengan saudaranya.
“Empat tahun yang lewat hanyalah masa lalu, sekarang kau harus berjuang lagi dari awal.”
“Aku tau, dan lawanku juga bukan hanya Aasfa. Orang tua dan anaknya juga akan berdiri di belakang pria beruntung, tetapi b*****t itu!” umpat Revan.
Revan mengakui kedekatan empat tahun lalu antara dirinya dan Kanaya tidak bisa dijadikan jalan untuk menapak kasih di hati gadis itu lagi.
“Kau ada aku. Tak cukupkah untuk membantumu?” tanya Amelia iba. Membayangkan saudaranya berjuang untuk memiliki srikandi hati seorang diri.
“Terima Kasih, Cebol, tapi aku senang berusaha sendiri.” Tolak Revan, tangannya mengucek rambut Amelia kasar.
Amelia melirik sinis “Kau panggil aku cebol, mati kau!” ucapnya seraya memberikan tendangan di kaki Revan.
Tawa kedua saudara itu pecah, menertawakan keusilan mereka yang terlihat seperti bocah. Gelak tawa keduanya terhenti, memperhatikan kru yang mulai membereskan peralatan dan bersiap untuk pulang. Begitu juga Kanaya, gadis tampak sibuk menghapus make up di wajah Abigail. Menunjukkan kasih sayang, layaknya Abigail anak kandung sendiri, sementara baby sitter yang ditugaskan menjaga gadis kecil itu, sibuk membenahi beberapa mainan yang berserakan.
Amelia dan Revan mendekati Kanaya yang kini sibuk merapikan dirinya sendiri. Make up tebal yang menghias wajah sudah berganti dengan polesan bedak tipis tanpa lipstik.
“Abi, ayo pulang dengan Tante Amelia, dan Kanaya kamu sama Revan dulu, ya!” perintah Amelia yang diprotes oleh abigail.
“Abi pulang dengan mama Kay,” rajuk Abigail Wajah imutnya terlihat menggemaskan.
“Mama Kay masih ada sedikit pekerjaan. Abi pulang dulu dengan tante Amel dan istirahat di rumah, ya,” pujuk Kanaya lembut. Menyatukan keningnya dan Abigail hingga hidung bangir miliknya menyentuh pucuk hidung gadis kecil itu.
Entah sihir apa yang digunakan oleh Kanaya. Tidak perlu bicara dua kali, Abigail langsung menuruti semua ucapannya. Tanpa protes, gadis kecil itu mengikuti langkah baby sitternya menuju mobil Amelia. Menggoyangkan rambut ikalnya yang diikat ekor kuda, melambai-lambai seolah memanggil siapa saja yang melihat. Sementara itu, Revan dan Kanaya telah lebih dulu keluar dari lokasi photo shoot.
Di dalam mobil mereka berdua saling membisu, bingung harus memulai kata. Hanya mata Revan yang sesekali mencuri pandang pada Kanaya, yang terlihat sedang memainkan ujung jari, menutupi rasa gugup.
“Suka, kepiting bakar? Ada satu restoran yang aku suka menyediakan kepiting bakar yang enak. Tetapi tempat makannya lesehan, saung di pinggir pantai.”
Antara menjelaskan dan bertanya Revan mengajukan tempat makan favoritnya pada Kanaya. Setelah beberapa saat ia kembali melayangkan pandangan pada gadis di sampingnya yang hanya diam menatap jalan.
“Kalau tidak suka kepiting, kamu bisa pilih menu apa saja. Di sana nggak hanya menyediakan seafood ...”
“Aku suka kepiting.” Potong Kanaya cepat. Wajahnya bersemu merah, saat beradu pandang dengan Revan.
Laki-laki ini masih sama seperti dulu, mengingat tempat makan yang biasa kami kunjungi. Kanaya mencuri pandang pada Revan, pria yang masih menghadirkan getar rasa di hatinya.
Revan tersenyum, dirinya ingin merangkul gadis yang menjadi penghias mimpinya selama ini. ia sengaja memperlambat laju mobil yang di kendarai. Ingin menikmati kebersamaan dengan Kanaya lebih lama.
****
Di kantor Aasfa mengajukan keberatan pada Amelia, tentang Kanaya dan Revan. Dirinya tidak suka jika Kanaya harus keluar bersama Revan sementara Abigail dan baby sitternya diantar oleh Amelia dan di tinggal begitu saja di rumah.
“Memangnya apa yang salah? bukannya dari dulu Abigail sudah biasa aku antar jemput? Tumben jadi marah-marah begini?” tanya Amelia kesal.
Perempuan berambut pendek itu, meniup poni yang menutupi matanya dengan keras, menumpahkan emosi pada rambut yang tidak bersalah.
“Ingat isi kontrak kemarin? Temanmu itu, tinggal di rumahku, Ameeelll ... sudah sewajarnya dia pulang bersama Abi, dan mengurus anakku!” tukas Aasfa cepat.
Pemuda itu berdiri dan menunjukkan kertas yang di tanda tangani oleh Kanaya kemarin.
“Haaa ... hallooo, dirimu lupa apa isi kontrak itu? harus aku bacakan agar kau ingat, atau kau ingin aku merekamnya agar setiap saat bisa memperdengarkannya padamu?” sembur Amelia.
Darah gadis muda itu mendidih. Pantas saja Kanaya sangat ingin membuat laki-laki di hadapannya ini bertekuk lutut. Sifat egois yang sudah mendarah daging dalam dirinya, bisa membuat orang lain muntah darah.
“Apa? Kau lupa kalau di sini tertulis, dia akan menemani anakku bermain!” Aasfa mulai menaikkan nada suaranya, namun di balas dengan hempasan buku di meja oleh Amelia, membuat pria yang ada di hadapannya terlonjak kaget.
“Kau memberikan honor tambahan? Berapa banyak? Apa kau lupa, di sini tertulis walaupun kalian tinggal satu rumah dilarang untuk mencampuri kehidupan pribadi masing-masing!” teriak Amelia.
Emosi gadis itu sudah tidak dapat ditahan lagi. Tanpa sadar ia juga ikut berteriak mengimbangi suara keras milik Aasfa.
“Kenapa, jadi kau yang marah? Slow ... turunkan suaramu.” Aasfa berusaha menenangkan Amelia yang semakin tidak terkendali. Mendorong gadis itu ke arah pintu, memaksanya keluar dari ruangan kerja Aasfa.
“slaw slow, slaw slow. Pantas saja tidak ada perempuan yang betah denganmu, egois kepala batu. Bertingkah seperti raja!” rutuk Amelia. “Kalau kau cemburu, bilang saja, jangan anakmu dijadikan alasan!”
Gadis tomboy itu membanting pintu ruang kerja Aasfa dengan keras, kemudian tertawa tertahan mengingat raut wajah Aasfa yang ketakutan. Sementara di balik pintu, Aasfa mengusap dadanya pelan, menenangkan degup jantung yang hampir lari karena bantingan pintu Amelia.
Aasfa mengusap wajahnya gusar, dalam hati ia merutuk. Kalau saja kau bukan adik sahabatku, mulutmu sudah aku jahit, Amelia sialan.
Aasfa harus banyak bersabar menghadapi Amelia. Adik dari sahabatnya itu, seperti salah kodrat dari lahir. berpakaian layaknya laki-laki, rambut pendek, sifat egonya entah dia dapat darimana. Semua ciri pria, melekat pada gadis itu. Pantas saja selama ini, setiap laki-laki yang dekat dengannya selalu berakhir dengan kalimat, kami hanya teman.
Pria tampan yang memiliki tubuh atletis dengan rambut ikal dan lesung pipi yang nyaris hadir setiap ia tersenyum itu berubah menjadi sosok laki-laki dengan wajah kusut tak layak di pandang. Ketampanannya seolah hilang mendengar kata-kata Amelia, tidak mungkin ia cemburu pada Kanaya, gadis itu baru beberapa hari dikenalnya semudah itukah ia jatuh cinta?
Aasfa merasa tidak tenang melakukan apapun, lelah berjalan mondar mandir tidak jelas, ia beralih duduk di kursi, memainkan ujung pena dengan mengetuk-ngetukkannya pada pinggiran meja. Menyisakan tinta hitam yang membekas jadi noda.
Apa benar aku cemburu? Apa istimewanya Kanaya? Atau ... jangan-jangan Amelia yang cemburu dan perempuan jadi-jadian itu pecinta sesama jenis? Tidak bisa dibiarkan, aku harus menyelamatkan kanaya!
Pertarungan batin pria itu berakhir dengan keputusannya untuk mencari Kanaya, menyelamatkan seorang gadis yang lugu dan polos sudah menjadi tanggung jawab Aasfa agar tidak menjadi belok seperti Amelia.
***
Deburan ombak saling menggulung, menyapa bibir pantai tempat ia berlabuh sesaat sebelum kembali ke tengah laut. Beberapa kulit kerang ikut terdampar, terhempas ombak kejam yang kembali ke laut tanpa membawa teman.
Pengunjung dengan tingkah polah yang berbeda memenuhi pantai, menciptakan pemandangan unik untuk seorang pemerhati seperti Kanaya. Ada yang sibuk dengan dunianya sendiri, duduk di atas bebatuan tanpa perduli teciprat air. Remaja yang bergerombol menentang ombak kecil berkejar-kejaran bagaikan bocah.
Di sebuah saung sederhana, Kanaya dan Revan menikmati makan siang yang sudah sangat terlambat. Duduk menikmati hidangan di alam terbuka dengan angin pantai yang tak henti menyapa kedua makhluk tuhan yang tidak terlihat seperti manusia normal. Mereka diam dan berbicara hanya menggunakan pesan chat dari aplikasi sosial media berwarna hijau.
“Kita seperti orang bodoh, jarak sedekat ini tapi berbicara menggunakan ....” Kanaya membuka suara sambil menunjukkan aplikasi chatting di hp.
Revan tertawa menyadari kebodohan mereka selama berjam-jam hanya berkutat dengan hp. Sementara lawan chat ada di depannya.
“Aku malu bicara secara langsung, apalagi hanya berduaan denganmu,” aku Revan jujur. Pria itu mengalihkan tatapan matanya pada sepiring kepiting yang baru saja tiba diantarkan pelayan.
Kanaya tersenyum kecut mendengar pengakuan abstrak Revan. “Kenapa harus malu?”
“Aku tidak menyangka kau bisa berubah menjadi secantik ini,” jawab Revan jujur, kali ini mata elang pria itu mulai berani menatap kanaya.
“Apa dulunya, aku tidak cantik?” goda Kanaya, tangannya cekatan mengupas kulit kepiting dan menyuapkan isinya pada Revan.
Dari dulu Kanaya sangat tahu, Revan tidak pernah peduli dengan tampilan fisiknya. p
Pemuda itu mencintainya tulus, terbukti dengan Revan masih mengingat makanan kesukaan kanaya. Seafood serba bakar.
“Dari dulu kau sudah cantik, tetapi sekarang jauh lebih cantik. Seandainya saja aku tidak terlalu memilih sahabat, pasti saat ini kita sudah bahagia,” sesal Revan, tangannya menyelipkan bunga kecil di rambut Kanaya.
Sudut mata Kanaya melihat bibir Revan.
“Bibirmu, kenapa menjadi hitam seperti itu? kau merokok? Sejak kapan?” Kanaya bertanya penuh selidik. Seingatnya Revan tidak pernah merokok dan bukan seorang perokok.
“Iya, aku merokok sekarang,” jawab Revan, malu. “Sejak kau menolakku dan memilih menjadi istri Aasfa, kemudian semakin menjadi ketika kau ditinggalkan tetapi aku menjadi pengecut tidak berani menyelamatkanmu dari rasa malu!”
Revan kembali menyesali kebodohannya. Andaikan waktu itu dirinya mau berusaha sedikit keras meyakinkan Kanaya akan cintanya, atau setidaknya ia punya sedikit keberanian untuk menjadi pengganti Aasfa mengucapkan ijab kabul pada wanita itu. Janji suci pernikahan yang seharusnya dikumandangkan Aasfa bisa dengan mudah ia ambil alih. Andai saja ia tidak terpaku dengan ejekan Aasfa pada wanitanya.
“Itu hanya masa lalu, lupakanlah! Kau tidak bersalah, dan tidak mungkin aku memintamu menyelamatkan harga diri keluargaku di saat aku sudah menolak cintamu,” jawab Kanaya.
Tangannya menangkup kedua pipi Revan.
Di hati gadis itu masih ada cinta untuk pria di hadapannya, tidak mungki ia menyalahkan laki-laki yang memiliki hati sebaik Revan untuk sebuah kesalahan yang tidak ia lakukan. Pria yang ada di hadapannya ini, merupakan sosok manusia sempurna di mata Kanaya. Jika tuhan mengizinkan, dirinya ingin sekali menjadi pendamping hidup Revan.
“Kembali padaku, lepaskan perjanjianmu dengan Tante Wike. Izinkan aku yang mempersuntingmu,” Pinta Revan.
Tangannya menggenggam erat kedua tangan Kanaya, memberikan pandangan memohon, agar gadis berhidung bangir itu mau menuruti pintanya. Jika diberikan kesempatan kedua, dirinya tidak akan pernah menyia-nyiakannya lagi.
“Aku tidak berani menjanjikan apapun padamu,” jawab gadis itu singkat, ia menarik kedua tangan dari genggaman Revan.
Bukan dirinya tidak mencintai laki-laki itu, tetapi ada sebuah hutang yang harus ia lunaskan pada keluarga Anggono.
Kanaya hanya tidak ingin hidup di bawah hutang budi yang membuat kedua orang tuanya bisa di cap sebagai yang gagal mendidik anak. Kanaya juga tidak mau mereka sekeluarga akan diberi label keluarga yang tidak tahu berterima kasih.
Revan terdiam, menatap hampa pada gelombang yang terhempas dibibir pantai. Tidak menyadari kebersamaan dengan Kanaya menjadi perhatian sepasang mata yang melihat mereka berdua dengan penuh amarah.
Kedua tangan pria itu mengepal sempurna dengan muka yang memerah dibalut emosi. Ia berusaha menahan diri untuk tidak mengobrak abrik saung tempat Kanaya dan Revan duduk makan bersama.
Pemilik mata yang memerah saga itu adalah Aasfa. Kini laki-laki itu menyadari apa yang dikatakan Amelia benar. Dirinya cemburu pada Kanaya, dan tidak rela melihat wanita yang baru saja dikenalnya itu mengakrabkan diri dengan Revan, sahabatnya sendiri.
Di dalam hati Aasfa tepatri janji yang tiba-tiba saja ia ikrarkan, bahwa Kanaya adalah miliknya dan harus menjadi miliknya.