Rasa Malu Kanaya

2001 Kata
“Aku telah menciumnya,” ucap Aasfa pada Revan. Sebuah pengakuan yang membuat pemuda bermata elang itu menatap Aasfa tak percaya. Dirinya belum memulai, tetapi sahabatnya sudah tancap gas. Mencium gadis yang sama-sama mereka cintai. “Dia menerima ciumanmu?” tanya Revan dengan nada kecewa. “Kau yang lebih mengenal Kanaya, apakah dia semurahan itu?” Aasfa memijit keningnya yang terlihat memerah. Sepulangnya mereka dari Anyer, Aasfa mendapati Kanaya seperti menghindar. Gadis itu lebih sering berdiam di kamar, dan jika berpapasan saat ada urusan kantor, Kanaya juga lebih memilih diam. Cara Kanaya menghindarinya membuat batin pria itu menjadi sangat sakit. “Kau memaksanya?” tanya Revan tidak percaya, ada kilat kemarahan di mata pemuda itu. Aasfa menghabiskan minumannya dalam sekali teguk. Dadanya terasa terbakar, menerima begitu banyak alkohol yang ditelan. “Aku tergoda dan tidak sengaja. Baru kali ini, merasakan sebuah dorongan yang sangat kuat untuk mencicipi bibir seorang perempuan.” Aasfa benar-benar merasa frustasi. Nyaris gila jika harus mengingat kebodohannya “Pria b******k macam apa kau, mencium seorang wanita dengan dalih tidak sengaja, tetapi di saat yang sama kau mengatakan tergoda!” Revan memaki dengan tajam. Tidak pernah dirinya memberikan makian setajam itu pada siapa pun, hanya Aasfa satu-satunya orang yang bisa memancing kemarahan Revan hingga mencapai ambang batas. Aasfa terdiam mendengar makian sahabatnya. Revan benar, dirinya sangat b******k, tergoda dan tidak sengaja dalam waktu bersamaan? Orang bodoh di belahan dunia mana pun tidak akan pernah mempercayai kata-katanya. “Aku mau pulang, lebih baik aku tidur dari pada semakin gila karena rasa bersalah sekaligus rindu pada bibir wanita itu.” kata-kata Aasfa mulai melantur. Aasfa berjalan sempoyongan menuju parkiran. Terlalu banyak minum dengan pikiran yang dipenuhi dengan Kanaya, membuatnya jadi lebih mudah mabuk. Gadis itu terlalu memiliki banyak pesona dan telah mencuri perhatiannya. “Ayo ikut aku! Jangan pulang ke rumahmu. Dalam keadaan normal saja kau bisa mencium tanpa sengaja, apalagi dalam kondisi mabuk begini. Bisa-bisa anak orang kau perkosa dengan alasan mimpi yang nikmat!" Revan menyambar kunci yang diberikan oleh Aasfa dan memapah tubuh pemuda yang selalu memamerkan lesung pipi tanpa henti. Ocehan tidak jelas, terdengar seperti gumaman yang dikumandankan oleh pemuda itu. Revan membuka pintu belakang mobil dan membaringkan Aasfa, tetapi pemuda yang sedang mabuk itu menendang perut Revan hingga ia terjungkal ke belakang. Aasfa bangun dan keluar, kemudian berpindah ke kursi depan, tersenyum penuh kemenangan pada Revan yang sedang meringis nyeri. “Sangat beruntung kelakuan bocahmu terjadi saat mabuk. Jika kau dalam keadaan sadar, aku tidak segan mengajakmu ke ring tinju!” umpat Revan. Sahabat bodohnya ini selalu bertindak seenaknya. Tidak peduli dalam keadaan waras atau pun sedang mabuk, Aasfa selalu saja bertingkah menyebalkan. Menuruti emosi yang tak tersalurkan, Revan menginjak pedal gas sekuat tenaga dan melajukan mobilnya sekencang mungkin. Aasfa yang sudah mulai terlelap, sontak bangun saat melihat jalanan hanya bagaikan bayangan hitam yang berkelebat. Namun, detik berikutnya ia kembali tertidur dengan nyenyak. *** Amelia heran saat melihat Kanaya berdiri di depan pintu apartemennya dengan membawa koper besar. Namun, ia tetap mempersilahkan sahabatnya untuk masuk dengan membukakan pintu apartemen selebar mungkin. Gadis berambut pendek itu membantu membawakan koper sahabatnya ke kamar tamu. Kanaya duduk dengan gelisah di ruang makan, menggenggam erat gelas yang berisi penuh air. pikirannya mengembara pada kejadian beberapa hari lalu di pantai Anyer. Keluguannya berbuah rasa malu setiap kali teringat telah berciuman dengan Aasfa. Ciuman yang seharusnya tidak ia lakukan. “Kay, kamu sehat?” Amelia menghampiri Kanaya dan duduk tepat di hadapan gadis itu yang terlihat gugup. “hu’um,” Kanaya mengangguk, tetapi matanya tidak berani menatap Amelia. “Cerita padaku, kalau kau punya masalah,” tawar Amelia. Gadis tomboi itu sangat mengerti dengan karakter Kanaya. Lebih suka menyimpan semuanya sendirian, dan jika sudah terpojok, barulah gadis itu akan bercerita dengan air mata berurai, atau amarah yang berlebihan. “Aku izin tinggal di sini. Berdua denganmu,” ucap Kanaya sambil menggenggam tangan Amelia yang duduk di hadapannya. Amelia tersenyum mengiyakan, walau dalam hatinya bertanya, apakah sahabatnya yang cantik ini telah menjadi bodoh. Meninggalkan istana kemudian berpindah tempat tinggal di kandang kuda. Namun, saat ia melihat wajah gelisah yang ditampakkan Kanaya semenjak kedatangannya, gadis tomboy itu mengetahui ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi antara Kanaya dan Aasfa. Haruskah ia menelepon Revan, kakak laki-lakinya yang kebetulan berteman dengan Aasfa? Namun, lebih baik tidak. Mereka berdua sedang menjadi rival memperebutkan cinta Kanaya. Bertanya pada Revan, sama saja ia melukai perasaan saudaranya sendiri. “Yakin tidak ingin bicara padaku?” kembali Amelia bertanya dan hanya mendapatkan anggukan kepala kanaya sebagai jawaban. “Baiklah kalau begitu, jika nanti kau berubah pikiran, aku sedang menonton televisi.” Amelia menyerah, tidak ingin lagi memaksa sahabatnya. Jika Kanaya siap, ia bisa bercerita sendiri. Amelia berdiri hendak meninggalkan Kanaya sendirian, tetapi langkahnya terhenti saat Kanaya menggenggam tangannya dan bertanya sesuatu yang menurut Amelia sangat lucu. “Kau pernah berciuman dengan laki-laki?” suara Kanaya terdengar pelan, seakan bergumam pada dirinya sendiri. Amelia kembali duduk. Kali ini posisinya lebih dekat dengan kanaya. Sahabatnya ini bagaikan seorang gadis remaja labil yang masih sangat polos. Masalah sekecil debu bisa mejadi sebesar gunung dalam pikiran gadis itu. Ia memiliki kekhawatiran yang terlalu berlebihan. “Apa yang kau takutkan? Ceritakan padaku,” pinta Amelia. “Beberapa hari yang lalu, Aasfa membawaku ke pantai dan di sana kami berciuman,” jelas Kanaya dengan suara yang sangat pelan, tetapi masih dapat di dengar Amelia dengan jelas dan menyebabkan tawa gadis itu pecah seketika. Wajah Kanaya memerah dan tertunduk dalam. Menceritakan hal tabu seperti ini pada Amelia, merupakan kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan. Gadis berambut pendek itu bukannya kasihan malah menertawakan dirinya seperti orang bodoh. “Kay, itu hanya ciuman, apa yang kau takutkan?” Amelia tertawa terpingkal-pingkal. Baru sekali ini ia menemukan jiwa gadis kuno di dalam tubuh seorang wanita modern. “Sudahlah, aku tidak jadi bicara. Pergi saja tonton film romatismu sana!” ketus kanaya, yang ternyata cukup berhasil membuat Amelia merasa bersalah. “Baiklah, aku minta maaf,” ucap Amelia sambil berusaha meredakan tawa. “Ketika aku berciuman dengan Aasfa, awalnya tidak merasakan apa-apa. Tetapi setelah ia menyatakan cinta dan menciumku sekali lagi, aku ikut menikmati ciuman itu.” Cerita Kanaya malu-malu, wajahnya semakin terlihat memerah dan tertunduk kian dalam. “Ciuman hal biasa yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda gender, kenapa kau malu? Terkecuali kau menikmati ciuman dari sesama teman wanita, wajib curiga dirimu tidak normal,” Amelia menjawab sambil bergerak menuju kulkas. Mengambil sekotak s**u cair dan mengeluarkan beberapa potong cake dari wadah, kemudian memindahkannya ke dalam piring. “Bukan itu maksudku,” tukas kanaya dengan wajah cemberut. “Bagaimana pandangan Aasfa, Kau, Revan, dan yang lain jika mengetahui aku berciuman dengan orang yang bukan kekasihku.” Kanaya merasa sedikit kesal. Seenaknya Amelia berpikir dirinya tidak normal. Kanaya hanya memikirkan pendapat orang lain saat melihatnya. Bisa saja sebagian dari mereka mengatakan kanaya murahan. “Kau menceritakan ini pada semua orang?” tanya Amelia dan mendapat jawaban berupa gelengan kepala dari sahabatnya. “Jika tidak, untuk apa kau takut? Pertama, yang memulai ciuman itu adalah Aasfa. Kedua, aku dan Revan tidak pernah menganggapmu jalang. Ketiga, semua orang pernah berciuman, dan itu sudah menjadi hal yang biasa, tidak perlu dipikirkan.” Penjelesan panjang dari Amelia, sedikit membuka hati gadis polos itu, walaupun rasa malu masih meluap di dadanya. Namun, setidaknya sekarang dirinya sudah jauh lebih baik. “Masih ingin menginap di sini?” tanya Amelia mendadak. “Kau mengusirku?” “Tidak nona besar, aku hanya berpikir alangkah ruginya dirimu meninggalkan istana megah untuk menginap di sebuah kandang kuda.” “Istana itu hanya keindahan emas di luar, tapi emas yang di dalam ada di sini. Di kandang kuda bersama sahabatku,” jawab Kanaya sambil memeluk Amelia. Kedua sahabat itu tertawa. Mereka pindah ke ruang depan untuk melanjutkan obrolan sambil menonton televisi. Rutinitas yang biasa mereka lakukan setiap kali menginap bersama. *** Revan menuangkan segayung air pada wajah Aasfa yang masih tertidur pulas. Pria itu kalau sedang mabuk, tidur seperti kerbau. Susah bangun dan sangat lama. Apa laki-laki itu lupa, walaupun saat ini jabatannya masih CEO, tetapi posisi Aasfa saat ini hanyalah seorang karyawan yang bisa dipecat kapan saja. Masih belum mengertikah dia, jika Kanaya sangat profesional membedakan urusan pribadi dan pekerjaan? Tidak akan ada toleransi dari wanita itu untuk keterlambatan. Awalnya gadis itu memang tidak berniat untuk turun langsung mengurus perusahaan, tetapi melihat gelagat tidak baik yang diciptakan oleh Yurika, mau tidak mau ia harus muncul setiap hari di kantor, untuk memanasi hati wanita itu. “Revan, kau mau kupecat? Berani menyiramku saat sedang tidur nyenyak?” oceh Aasfa dengan setengah sadar. “Silahkan kalau kau bisa dan jika Kanaya berkenan. Gayamu seperti pemilik perusahaan saja. Cepat bangun atau kau yang akan dipecat Kanaya.” Revan yang mengingatkan Aasfa tentang posisinya yang sudah jatuh miskin di pagi hari, membuat laki-laki itu segera bangun dan berjalan ke kamar mandi. Bertelanjang d**a memamerkan tubuh atletisnya. “Bajuku masih ada di sini?” tanya Aasfa, sesaat sebelum dirinya masuk ke kamar mandi. Revan menunjuk pada wardrobe yang ada di samping kiri Aasfa. “Jika kau mau, bisa pakai bajuku.” “Tidak, terima kasih. Aku butuh parfum saja. Kau pergilah duluan, aku akan sedikit terlambat.” Jawab Aasfa pelan sambil menguap. Revan mengangkat kedua bahunya. Tidak peduli jika Aasfa terlambat atau tidak. Ia segera keluar dari kamar yang dipakai Aasfa dan berangkat ke kantor dengan mobil yang melaju kencang. *** Kedatangan Kanaya bagaikan duri dalam daging untuk Yurika. Ia yang terbiasa menjadi pusat perhatian dan selalu mendapatkan fasilitas utama dari Aasfa, harus kehilangan semuanya, dan itu terjadi dalam sekelip mata. Dulu atas nama Arinda dan Abigail, Yurika mudah mendapatkan apa pun yang diinginkannya dari laki-laki loyal, tetapi bodoh. Terlalu mengagungkan cinta, hingga buta mata hati. Cinta Aasfa pada Arinda sering ia manfaatkan mengatasnamakan saudara sepupu. Sedangkan Aashfa akan senang hati memberikannya tanpa perhitungan. Kekesalan Yurika semakin memuncak ketika Kanaya berhasil memikat Aasfa dan mulai mengalihkan hati pemuda itu hanya dalam hitungan hari. Sementara dirinya yang telah bertahun-tahun berada di samping Aasfa tidak pernah sekali pun dilirik oleh pria itu sebagai wanita. “Yurika, apa kau sudah cukup melamun?” jari lentik Kanaya mengetuk-ngetuk meja kerja Yurika. Sudah cukup lama Kanaya memperhatikan Yurika yang sedang sibuk bermain dengan pikirannyan sendiri, sehingga tidak menyadari kedatangan Kanaya yang menanyakan keberadaan Aasfa. “maaf, Bu. Saya sedang tidak fokus,” jawab Yurika gelagapan. “Aasfa sudah datang?” tanya Kanaya tanpa basa basi. “Belum, Bu. Beliau juga tidak menghubungi saya akan datang terlambat.” “Kamu keruangan saya, ada beberapa dokumen yang harus direvisi.” “Saya, Bu? Tapi saya sekrestaris Pak Aasfa,” Yurika memandang Kanaya tak percaya. Apa presiden direktur yang baru ini sudah menjadi gila? Kenapa tidak menyuruh sekretarisnya saja? “Sekarang kamu adalah sekretaris saya. Dan segera pindahkan barang-barangmu. Saya tidak suka menunggu,” jawab Kanaya tersenyum manis, membuat hati Yurika semakin panas. “Tapi, Bu ...” ucapan Yurika terpotong oleh pandangan tajam yang diberikan kanaya. Hanya satu patah kata yang keluar dari mulut wanita itu walaupun diiringi senyuman semanis madu, sudah bisa membuat orang lain merasa terbakar. Pedas dan tanpa basa basi. “Ngomong-ngomong, kemarin saya mengecek banyak sekali pengeluaran pribadi Aasfa untuk belanja keperluan wanita. Kalau saya tidak salah tebak kamu yang menggunakannya. Tolong segera kembalikan kartu platinum yang pernah Aasfa pinjamkan padamu.” Jawab Kanaya memotong kata-kata Yurika. “Kartu platinum itu diberikan pada saya bukan dipinjamkan!” tolak Yurika tegas. Mudah sekali kanaya ingin mengambil satu-satunya pohon uang yang tersisa milik Yurika. "Kau lupa? Perusahaan ini milik saya, uang yang dipakai untuk membayar kartu kredit itu bukan lagi milik Aasfa. Kalau kau keberatan mengembalikannya, tidak apa-apa, saya bisa memutuskan kerja sama untuk pembayarannya dengan pihak bank.” Lagi ucapan Kanaya menyakiti hati Yurika, membuat malu gadis itu di hadapan semua pegawai yang mencuri pandang. Melihat pertikaian mereka. Ingin rasanya Yurika menjabak rambut sang atasan egois yang sangat suka mempermalukannya dihadapan umum. Yurika tidak bisa mendiamkan hal ini begitu saja, ia akan membuat perhitungan pada Kanaya, dan jika perlu akan meminta bantuan Arinda. Sepupunya pasti tidak keberatan mengusir Kanaya. Karena itu merupaka pekerjaan yang sangat mudah untuknya. Sama seperti menjentikkan kedua jari tangan. Lihat saja, bagaimana aku akan menghancurkanmu, iblis betina! Geram Yurika dalam hati. Dengan perasaan malu dan marah, Yurika membereskan semua barang-barang miliknya. Bertukar tempat dengan sekretaris Kanaya yang sudah tua bangka. Terbayang oleh Yurika, meja milik sekretaris sebelumnya pasti penuh dengan koyo dan bau balsem. Bagaimana pun, Yurika harus membalas semua perbuatan kanaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN