Walau sudah putus, aku tetap mengantarkan Ervan ke bandara karena Ervan memintanya. Lagi pula, kami sudah berjanji untuk selalu menjaga hubungan baik sebagai teman.
"Kuliah yang bener di sini dan jangan pernah ladenin cowok-cowok yang deketin kamu."
Aku mencebikkan bibirku. "Kebalik! Aku loh, yang seharusnya bilang gitu sama kamu."
Ervan terkekeh. "Pastinya. Aku akan belajar lebih rajin supaya cepet lulus dan pulang nemuin kamu. Kalau soal cewek yang deketin, nggak akan ada yang mampu luluhin aku selain kami, An."
"Receh."
"Beneran! Kamu itu paket komplit. Susah nyari cewek yang kayak kamu. Aku akan pastiin jika hanya ada nama kamu di sini untuk sekarang, nanti dan selamanya." Ervan meraih tanganku dan membawa ke dadanya.
"Ehemm... " Deheman seorang perempuan memecah keheningan antara aku dan Ervan yang saling bertatapan dalam jarak wajah kami yang sangat dekat. "Pacaran mulu. Yuk ah, masuk! Udah waktunya."
Ervan melirik jam di pergelangan tangannya. "Lima menit lagi, ya, Vy! Gue masih mau kangen-kangenan sama Anita," ucap Ervan kepada sahabatnya yang bernama Livya itu.
Ervan dan Livya bersahabat sejak dari kecil karena rumah mereka yang bersebelahan. Dan selalu bersekolah di tempat yang sama, hingga kuliah juga. Livya kuliah di universitas yang sama dengan Ervan di luar negeri sana. Mereka sama-sama diterima di fakultas yang sama, hanya saja beda jurusan. Mereka berdua yang berasal dari keluarga kaya, jauh lebih kaya dari pada orang keluargaku, tentu saja sangat mampu untuk kuliah di luar negeri dengan biaya kuliah dan hidup yang selangit. Karena pilihan mereka berdua adalah salah satu universitas terbaik di benua Amerika sana.
"Ya udah. Lima menit, buru!" ujar Livya pura-pura cemberut.
Usai berbicara dengan Ervan, dia pun pamit padaku untuk segera masuk ke dalam. Sebelum itu, dia berpamitan pada orang tua, adiknya serta teman-teman kami yang ikut mengantar.
Ervan kembali padaku dan memelukku erat, setelah pamit kepada mereka semuanya. "I'm gonna miss you, my baby girl!"
"Me too," ucapku lirih, berusaha untuk tidak menangis. Tidak tahu setelah dia pergi nanti, aku tidak yakin bisa membendung air mataku untuk tidak menetes. Terlalu banyak kenangan di antara kami berdua.
Andai saja Ervan tidak kuliah di luar negeri, kami mungkin tidak akan memilih untuk berpisah. Namun, aku juga tak mungkin menghalangi impiannya untuk melanjutkan study di kampus yang dia inginkan hanya karena cinta. LDR itu mustahil, aku tidak mau hubungan kami menjadi rusak gara-gara salah paham atau kurangnya komunikasi akibat jarak yang membentang. Putus sekarang dan tetap menjalin pertemanan dulu lebih baik, dari pada nanti tiba-tiba ribut dan kami menjadi dua orang insan yang tidak saling mengenal lagi.
"Tenang aja, An. Kalau Ervan macam-macam, gue bakalan getok dia," ujar Livya. Kemudian, dia yang bersalamam denganku sebelum masuk.
Aku tertawa kecil. Livya memang selalu membelaku ketika aku ribut kecil dengan Ervan.
"Udah, sana masuk!" Aku mendorong Livya untuk menyusul Ervan yang telah berdiri menunggunya di depan pintu masuk.
Aku menghela napas menyaksikan punggung Ervan dan Livya yang mulai menghilang di balik pintu. Seketika ada perasaan aneh dalam diriku ketika Ervan merangkul perempuan yang sudah dianggap layaknya saudara bagi dirinya. Padahal, Ervan sering melakukan itu kepada Livya di saat kami berdua masih berpacaran.
***
"Mau makan siang di mana, An?" tanya Ayu. "Gue sama Diana mau makan di foodcourt bawah aja hari ini. Lo mau ikut?"
Teman satu divisiku yang lainnya sedang berada di luar kantor. Hanya aku Ayu, Diana dan kepala divisi kami yang berada di ruangan ini. Totalnya ada 8 orang di Divisi Marketing dan Pengembangan ini.
"Skip dulu deh! Gue lagi mager ke mana-mana. Mau delivery order aja kayaknya."
Ayu menatapku dengan sepasang alis terangkat. "Tumben? Biasanya nitip makanan ke gue kalau lo lagi mager turun."
"Hehe lagi pengen pesen sesuatu aja dari sini." Aku menunjukkan ponselku yang menampilkan salah satu aplikasi pesan makanan online di sana.
"Oh, ya udah."
Setengah jam kemudian, saat jam makan siang tiba, aku ikut Ayu dan Diana turun ke lobi untuk mengambil makan siang yang telah kupesan dari tadi. Kebetulan pas jam makan siang tiba, kurirnya mengabarkan jika dia sudah berada di lobi gedung ini. Setelah memberi tip pada kurir tersebut, aku kembali naik ke atas dengan senyuman yang mengembang di bibirku melihat 2 box makan yang berada di tanganku.
Tiba di lantai 15, aku menghela napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa gugup. Perlahan aku melangkahkan kaki ke arah tujuanku--sebuah ruangan yang letaknya tak jauh dari meja kerjaku. Aku mengetuk pintu ruangan itu.
Setelah mendengar seruan masuk dari dalam sana, aku meraih gagang pintu dan membukanya. Saat pintu terbuka, aku merasakan degup jantungku yang berdebar. Aku masuk ke dalam sana dengan langkah kaki pelan. Lelaki yang sedang duduk di balik di kursi sana belum menoleh, dia sedang terlihat fokus membaca kertas yang berada di tangannya.
"Ervan... " panggilku ketika sudah berada di depan meja kerja lelaki itu.
Lelaki itu mendongak ketika mendengar aku memanggil namanya. Tatapan mata kami berdua bertemu. Aku tersenyum manis padanya, sedangkan dia hanya menampilkan wajah tanpa ekspresi.
"Mau makan siang bareng? Aku beli makanan kesukaan kamu." Aku menunjuk dua box makanan di dalam plastik yang tengah aku pegang.
"Saya enggak lapar," balas Ervan dingin, membuat senyumku yang sempat merekah, perlahan memudar.
Wait, saya? Aku merasa seperti orang asing saat Ervan berbicara menggunakan kata itu padaku. Aku menggelengkan kepala. Mungkin saja Ervan berbicara formal padaku karena kami masih dalam lingkungan kantor. Mungkin...
"Bisa dimakan nanti kalau kamu belum ngerasa lapar." Aku mengeluarkan satu box di dalam plastik dan meletakkannya di atas meja. Tak apa, tidak bisa makan bersama dengan Ervan siang ini. Masih bisa di lain hari nanti.
"Ngapain kamu taruh di sana? Saya nggak akan memakan makanan yang kamu bawa itu."
Aku mengerjap. Ervan kenapa jadi sinis begini padaku? Lama tidak bertemu dan aku ingin mendekatinya perlahan untuk menanyakan tentang alasan dirinya yang menjauh selama ini, feeling-ku mengatakan bahwa rencanaku tidak akan berjalan dengan lancar.
"Van, aku salah apa?" tanyaku tak sabar. Aku memang terlihat tergesa-gesa ingin segera mengetahui alasan dibalik menjauhnya dia dariku selama beberapa tahun ini. Aku sudah menunggu ini bertahun-tahun lamanya. Dan pagi ini melihatnya, aku tidak bisa lagi untuk menahan rasa penasaran dan rindu padanya yang bercampur menjadi satu.
"Pak, panggil saya Pak Ervan," balas Ervan dingin. "Kamu lupa bahwa saya bos kamu di sini?"
Sepertinya aku terlalu bersemangat hari ini hingga melupakan status antara kami berdua. Dia seorang bos dan aku adalah karyawannya.
Aku tersenyum getir.
"Maaf, Pak," cicitku pelan. Semangatku yang tadi menggebu-gebu, sekarang jadi merosot turun. Merasa kenal dengan Ervan dan pernah memiliki hubungan spesial dengannya sempat membuatku percaya diri untuk berbicara dengannya, hingga menawarkannya makan siang kesukaannya.
"Jangan coba lagi mendatangi ruangan saya di luar urusan pekerjaan. Apalagi sampe membawakan saya makan siang. Saya nggak butuh itu."
Aku menganggukkan kepala sambil menggigit bibir bawahku berusaha menahan tangis mendengar ucapan Ervan.
Lo harus sadar diri sama posisi lo, An!
"Di sini hubungan kita nggak lebih dari sekedar bos dan karyawan. Jangan sampe kamu mencampur-adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Saya bisa menindak tegas kamu kalau itu terjadi. Paham kamu?"
Kata Ervan memang benar adanya. Tapi, hal itu terdengar menyakitkan bagiku.
Aku hanya sebatas karyawan?
Come on, An, apa yang lo harapkan?
"Iya, Pak. Saya paham." Aku menarik sudut bibirku membentuk senyuman tipis, walau di dalam hatiku tersenyum miris.
"Bagus kalau gitu. Sekarang kamu bisa keluar."
Sebelum aku keluar, seorang OB yang bernama Pak Amin masuk ke dalam ruangan Ervan.
"Ada apa manggil saya, Pak?" tanyanya pada Ervan.
"Saya lihat ada restoran di seberang sana. Kamu bisa tolong belikan saya makanan?"
"Bisa, Pak."
"Oke. Ini uangnya. Oh ya, kamu udah makan?"
"Saya belum sempat makan, Pak."
"Ya udah ini ambil aja buat kamu. Kebetulan ada yang beliin makanan buat saya, tapi saya sekali tidak selera untuk memakannya."
Langkah kakiku yang perlahan menuju pintu keluar mendadak lemas mendengar percakapan Ervan dengan Pak Amin. Aku tersenyum miris mengetahui Ervan yang sama sekali tidak mau memakan makanan pemberianku, padahal aku tahu persis itu adalah makanan kesukaannya. Tadinya, aku masih berharap jika dia akan memakan itu setelah aku keluar dari ruangannya, ternyata dia malah memberikannya pada orang lain di saat aku belum benar-benar keluar dari sana.