"Seriusan, Ervan jadi bos di kantor lo sekarang?"
"Ho'oh."
"Kok, lo baru bilang?"
"Kan gue baru ketemu lo sekarang, Ray. Males cerita lewat HP, mendingan pas ketemu aja."
Temanku yang bernama Ray tersebut manggut-manggut.
Ray merupakan teman satu geng Ervan ketika masih sekolah. Saat lulus, kebetulan dia kuliah di universitas yang sama denganku dan mengambil jurusan yang sama pula, yaitu Public Relations. Waktu masih sekolah, kami hanya saling sekedar mengenal saja--jarang berbicara. Pas kuliah, baru lah kami menjalin hubungan pertemanan dekat. Ray yang selalu ada untukku, sering menjadi tempatku berkeluh kesah, mulai dari tugas kuliah hingga bercerita tentang Ervan.
Hubungan kami sekarang tak lebih dari sekedar sahabat. Ray tahu persis bagaimana aku yang setia menunggu kepulangan Ervan. Jika ada yang menggangguku, Ray lah yang berada di posisi paling depan untuk melindungiku. Sedangkan dia sendiri, aku heran kenapa sampai saat ini dia belum mempunyai seorang kekasih. Setiap kali aku menyinggung soal itu, katanya belum ada yang cocok. Tapi, aku tak pernah mendengar dia sedang mendekati perempuan mana pun di kampus dulu. Dia pun juga tak pernah bercerita.
Ray itu tampan. Jika dibandingkan dengan Ervan, Ray tidak kalah jauh. Bahkan, dari zaman sekolah hingga kuliah, dia termasuk ke dalam jajaran lelaki most wanted karena kadar ketampanannya yang tak perlu diragukan lagi. Hanya saja, aku tidak pernah merasa tertarik padanya. Bagiku, tetap Ervan lah yang paling menarik.
"Terus-terus, gimana rasanya satu kantor sama dia? Lo seneng banget dong pastinya bisa ketemu dia setiap hari."
Aku menggelengkan kepala lemah. "Itu dia yang mau gue ceritain sama lo, Ray."
"Kenapa-kenapa?" Ray tampak antusias dengan menggeser kursinya maju. "Lo udah ngobrol banyak sama dia? Udah tahu penyebab dia selama ini menjauh?"
Bukan hanya aku saja, Ray juga sudah lama tak komunikasi dengan Ervan. Sama sepertiku, kata Ray, Ervan tak pernah membalas pesan atau email yang dikirimnya.
Lagi, aku menggelengkan kepala.
"Nggak ada yang berubah walau saat ini gue ketemu dia setiap hari kerja, Ray. Dia tetap Ervan yang sama. Bahkan, sekarang rasanya gue sama dia itu kayak dua orang asing yang baru kenal. Hubungan kami nggak lebih dari sekedar bos dan karyawan. Gue sama sekali nggak punya kesempatan untuk ngomong hal pribadi sama dia."
"Lo udah coba untuk ngobrol sama dia?"
"Baru gue pengen mulai aja, dia udah minta gue untuk menjauh, Ray." Aku tersenyum getir. "Dari dulu sampai saat ini gue masih bingung, salah gue di mana? Gue nggak ngerasa pernah melakukan kesalahan."
Ray meraih tanganku yang berada di atas meja dan menggenggamnya. Ray selalu berusaha menghiburku di saat aku merasa sedih.
Air mataku menetes seketika. Mendadak sedih rasanya mengingat sikap Ervan kepadaku. Dia yang namanya masih bertahta di hatiku, namun bersikap seolah tak mau mengenalku di saat kami bertemu kembali setelah sekian lama tidak berjumpa.
"Gu-e harus gimana, Ray? Lo tahu 'kan kalau gue masih sayang banget sama dia?"
"Gue tahu banget, An. Gue tahu... " Ray mengusap punggung tanganku. "Jangan sedih! Inget kalau ada gue di sini yang akan selalu ada buat elo."
***
Hampir sebulan Ervan menjadi CEO di tempatku bekerja, ada beberapa perubahan sikapnya yang aku rasakan dibandingkan dulu. Bukan hanya aku saja yang merasakannya, tapi karyawan lainnya juga. Ervan terkenal dengan sosok CEO yang arrogant, dingin dan juga galak ketika ada karyawan yang melakukan kesalahan atau tak sesuai dengan pendapatnya. Namun, walau begitu, tetap banyak karyawan perempuan yang memujanya. Bahkan, karyawan lain yang juga berada di dalam gedung yang sama. Nama Ervan menjadi terkenal di gedung ini walau belum ada satu bulan menginjakkan kaki di sini.
"Duh, makin hari semakin ganteng aja bos kita." Diana bertopang dagu menatap Ervan yang baru saja datang--berjalan melewati divisi kami pagi ini menuju ke ruangannya.
"Tapi dingin cuy! Ngalahin es batu kayaknya," celutuk temanku yang bernama Dimas.
"Nggak peduli!" Diana senyum-senyum sendiri dengan matanya yang terus mengikuti Ervan sampai lelaki itu masuk ke dalam ruangannya. "Yang penting ganteng, pintar dan berwibawa."
"Sayangnya hanya bisa lo bayangin. Ya kali, dia bakalan ngelirik lo," ucap Dimas sarkas. "Kalian ciwi-ciwi yang ada di sini, sama sekali bukan tipe dia pastinya."
Diana manyun. Ayu dan yang lainnya melotot pada Dimas. Sedangkan aku, hanya diam saja mendengarkan tanpa ekspresi. Di Divisi Marketing dan Pengembangan ini hanya terdapat 2 orang laki-laki, yaitu Dimas dan Pak Hendry, yang merupakan kepala divisi kami. Tapi, Pak Hendry jarang berada di kantor. Jadi lah si Dimas ini ikutan comel mulutnya karena bergabung bersama kami para perempuan yang hobinya mengghibah.
"Lo itu matahin semangat orang aja."
"Sadar diri, Mbak!" ledek Dimas lagi. "Orang kayak Pak Bos kita itu pasti udah ada yang punya."
Aku jadi kepikiran, apa iya Ervan sudah mempunyai seseorang yang spesial dalam hidupnya?
Aku beberapa kali berinteraksi dengan teman-teman Ervan atau teman sekolah SMA yang lainnya juga. Tapi, tak pernah mendengar info apa pun tentang Ervan. Sang ratu gosip di sekolahku dulu juga sama sekali tak mendengar gosip apa-apa tentang Ervan ketika aku bertanya. Dia malah mengira jika aku masih langgeng bersama lelaki itu.
"Nggak akan menyerah sebelum dapet info valid kalau Pak Bos punya pasangan. Kali aja dia jodohnya gue. Bisa aja dia tipe cewek yang dia suka itu ada dalam diri gue. Seorang karyawan mempunyai hubungan khusus dengan seorang karyawan, nggak ada yang nggak mungkin, bukan?" sahut temanku yang bernama Lily dengan percaya dirinya.
Lily itu cantik. Pakaian yang digunakannya selalu mengikuti trend dan sudah pastinya barang branded juga yang sanggup dibeli oleh seorang Event Marketing Specialist. Bukan berarti yang lainnya dan aku sendiri tak pernah menggunakan barang branded juga. Aku pribadi juga membelinya, namun hanya seperlunya saja, tidak terlalu sering. Karena seorang business development juga membutuhkan itu untuk menunjang penampilannya ketika bertemu dengan klien. Selain presentasi dan pemilihan kata yang tepat saat berbicara dengan klien, penampilan juga dapat meyakinkan mereka dalam menilai lawan bicaranya.
"Gue sih, maju terus. Toh kita nggak jelek-jelek amat. Ya nggak, An? Lo mau ikutan saingan juga nggak buat dapetin Pak Bos ganteng?" tanya Lily yang meja kerjanya bersebelahan denganku.
"Anita itu nggak tertarik kayaknya sama Pak Bos. Nggak kayak kita-kita, Ly," sahut Diana.
Aku hanya tertawa kecil menanggapinya. Andai mereka tahu kalau aku pernah ada hubungan spesial dengan CEO kami itu. Bagaimana kah reaksi mereka? Aku sama sekali tak berminat untuk berbagi kisah asmaraku dengan orang di kantor ini.
Saat semuanya sudah mulai sibuk dengan layar yang berada di depan mereka masing-masing, Maya, sekretarisnya Ervan datang menghampiriku.
"Mbak Anita, disuruh Pak Ervan datang ke ruangannya."
"Gue?" Aku menunjuk diriku sendiri. "Ada apa, ya?"
Ada perlu apa Ervan denganku?
Maya mengedikkan bahunya. "Gue juga nggak tahu, Mbak. Barusan ditelepon gitu, diminta sampein ke Mbak Anita."
"Ayo loh, dipanggil Pak Bos. Ngerasa ada salah nggak lo?" tanya Lily cekikikan.
Pasalnya, 2 minggu yang lalu itu beredar gosip jika Mbak Mila, manajer keuangan kami kena omel oleh Ervan. Gara-gara ada laporan keuangan ada yang mengganjal katanya. Banyak yang bilang, jika mata Mbak Mila sembab begitu keluar dari ruangan Ervan. Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu persis karena sedang tidak berada di kantor hari itu.
Lalu ada juga salah satu karyawan bagian customer service yang ditegur juga karena dinilai kurang rumah. Begitu yang kudengar. Sehingga julukan bos galak juga tersemat pada diri Ervan.
Aku masuk ke dalam ruangan Ervan setelah mengetuk pintu terlebih dahulu dan dipersilahkan untuk masuk.
"Pagi, Pak. Kata Maya, Bapak manggil saya?"
"Hmmm."
"Ada apa ya, Pak?" tanyaku ramah.
"Saya minta kamu siapkan ruang meeting sekarang. Saya ingin meeting dengan kalian dari Divisi Marketing dan Pengembangan."
"Saya yang nyiapin, Pak?" Karena biasanya yang segala sesuatu untuk meeting, seperti kesiapan ruangannya dan memberi info kepada setiap peserta meeting itu adalah sekretarisnya.
"Iya, kamu. Kenapa?" Ervan menatapku dengan bersedekap d**a. "Kamu keberatan?"
"Bukan begitu, Pak. Tapi saya rasa ini bukan tugas saya. Sebelumnya-- "
"Saya bosnya di sini. Saya berhak memberi tugas apa pun kepada bawahan saya di posisi mana pun dia berada."
Aku menghela napas pelan. "Baik, Pak. Saya akan menyiapkannya. Tapi untuk saat ini kebetulan Pak Hendry sedang ada meeting di luar."
Ervan melirik jam dipergelangan tangannya. "Jam 10. Kita meeting jam segitu. Hubungin Pak Hendry sekarang dan pastikan beliau sudah ada di kantor pada jam itu."
Aku mengangguk.
"Ada lagi, Pak?"
"Udah. Itu aja."
"Kalau begitu, saya pamit keluar dulu. Permisi, Pak! "
Sebelum tiba di depan pintu, Ervan memanggil namaku.
"Ada lagi yang harus saya kerjakan, Pak?"
Ervan menggeleng.
"Saya cuma mau bilang. Mulai besok, saya nggak mau lihat kamu menggunakan rok atau dress lagi ke kantor. Pake celana aja."