"Kak Bima hati-hati!" teriak Tania mendongak mengawasi Bima dari bawah.
Setapak demi setapak Bima terus memanjat. Ini kali pertama dia menaiki pohon kelapa. Walau sulit, ia terus berusaha. Semangat mendapatkan air kelapa mengalahkan rasa takutnya akan ketinggian. Bima fokus melihat ke atas, ia ngeri melihat ke bawah. Akhirnya, setelah bercucuran keringat, ia sampai dipuncak pohon. Angin bertiup kencang seolah ingin menerbangkan apa saja yang bisa dibawa terbang bersamanya.
Sesaat Bima menarik napas dalam, dipeluknya erat batang kelapa. Setelah merasa tenang, ia mulai memetik buah kepala satu per satu hingga habis, ia hanya menyisakan buah yang kecil kecil saja.
Sebelum turun, Bima memperhatikan sekeliling. Tidak banyak yang bisa dia lihat. Sejauh mata memandang, hanya pepohonan hijau yang terbentang. Sepertinya mereka ada disebuah lembah. Bima segera turun. Telapak tangan dan kakinya mulai terasa perih tergores batang kelapa.
"Alhamdulillah, Kak Bima Hebat!" sambut Tania setelah Bima menginjakkan kaki di tanah.
Bima hanya tersenyum, ia sangat lelah, teramat sangat lelah. Lelaki itu duduk bersandar di pohon kelapa yang tadi di naikinya.
"Kak Bima istirahat saja dulu, biar aku kupas kelapa ini."
Tania mencari sesuatu yang tajam untuk membelah kelapa. Tapi tidak ada sesuatu yang tajam disana. Yang ada hanya batu bulat dan tumpul. Tani menghela napas, ia terus berpikir agar bisa mengupas kelapa itu. Tidak sengaja matanya tertuju pada sebuah batang kayu yang runcing. Sepertinya dahan itu patah, mungkin tertiup angin kencang.
Tania membawa satu buah kelapa mendekati dahan patah itu. Dengan sisa tenaganya di tancapkannya kelapa itu kemudian ditarik, sehingga serabut kelapanya terkupas. Tania terus melakukannya hingga serabutnya hampir bersih. Setelah itu ia kembali ke tempat Bima menunggu.
"Tania, apa yang kamu lakukan?"
"Kelapa ini harus di kupas agar bisa di minum airnya." ujarnya sembari mengambil batu. Setelah membersihkan ujung batu dengan ujung pakaiannya, dihantamkannya batu itu ke batok kelapa.
Bima memperhatikan gadis itu yang gigih berjuang demi mendapatkan air kelapa.
"Yaiii, berhasil! Teriak Tania kegirangan. "Ini buat Kak Bima, minumlah!" ujarnya sembari menyerahkan kelapa yang berhasil di belahnya
"Kamu saja dulu, aku masih kuat, kok!"
"Bagaimana kalau kita berbagi?"
Bima menganguk dan tersenyum. Dilihatnya Tania sangat menikmati air itu.
"Ini, buat Kak Bima. Biar aku pecahkan satu kelapa lagi."
"Tania!" panggil Bima menghentikan langkah gadis itu.
"Ya," jawab Tania sembari beralik menoleh.
"Hati-hati," ujar Bima menunjukkan rasa empatinya.
Tania tersenyum dan mengangguk. Kalimat itu seoalah baru saja memberinya energi berlipat kali. Dengan semangat, Tania kembali mengupas sabut kelapa.
Hari semakin sore, keduanya masih diam di tempat. Berharap, ada tim pencarian yang menemukan mereka di sana. Tapi, hingga kemilau senja dari ufuk barat muncul, tidak ada yang datang menjemput keduanya.
"Tania, sepertinya kita harus membuat perapian dan tenda untuk berteduh. Jaga-jaga, kalau sampai malam mereka belum menemukan kita di sini."
"Hem. Aku akan cari ranting kering."
"Jangan jauh-jauh!" pinta Bima saat Tania beranjak dari duduknya.
Lagi-lagi, Tania hanya tersenyum. Antara takut dan bahagia mengaduk rasa di hatinya. Bahagia? Iya, dia bahagia tersesat di hutan bersama Bima. Tapi dia harap hanya satu malam ini saja. Kalau seterusnya, dia juga tidak mau. Tapi saat membayangkan akan tidur di hutan seperti ini, bulu kudunya merinding. Walau dia pernah kemping saat pendakian gunung bersama teman temannya, tetap saja ada rasa takut di hatinya. Tempat ini sepertinya jarang dilalui manusia. Itu yang membuatnya takut. Bagaimana kalau di sini ada binatang buas? Atau hewan berbisa lainnya?
Setelah mengumpulkan beberapa ranting kering, Tania segera kembali mendekati Bima yang sibuk membuat tenda dari batang kayu di sekitarnya.
"Sepertinya cukup ya Kak Aldo?" tanya Tania seraya meletakkan dahan kering ke tanah.
"Sementara cukuplah, nanti kalau kurang, kita cari lagi." Bima merogoh kantongnya berharap menemukan mancis. Tapi tidak ada, hanya ponsel yang kehabisan batre yang ada di sakunya.
"Cari apa Kak Bim?"
"Korek api." jawab Bima frustasi.
Tania teringat kemaren malam saat membakar jagung, ia memasukkan mancis ke dalam kantong rok celannya. Di rogohnya kedua kantongnya. Wajahnya berseri saat menemukan mancis itu.
"Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah!" teriak Tania kegirangan.
Bima tertawa melihat ekspresi Tania, kemudian, ia melanjutkan pekerjaannya, merakit batang kayu dan dedaunan menjadi sebuah gubuk kecil.
Sesaat kemudian, api menyala. Tania segera membantu Bima mendirikan gubuk untuk mereka berteduh malam ini. Keduanya mulai menikmati suasana. Mau bagaimana lagi, menagis pun sudah tidak ada gunanya. Apa lagi marah- marah, hanya buang energi. Saat matahari tenggelam, akhirnya tenda darurat mereka selesai. Keduanya duduk bersebelahan di depan api unggun.
"Kamu lapar, hm?" tanya Bima menoleh.
Tania mengangguk, wajahnya terlihat lelah.
"Tapi hanya ada kelapa lagi, mau?"
"Nggak papa, kak Bim. Daripada mati kelaparan."
Bima tersenyum seraya menarik napas dalam. Antara kasihan dan gemas, di kuceknya puncak kepala Tania. Sesaat, keduanya saling pandang.
"Lapaaar!" rengek Tania dengan wajah memelas.
"Sabar, ya!" Bima segera meraih kelapa yang tak jauh di sampingnya. Lalu berjalan ke sebuah batang kayu yang patah, tempat Tania mengupas sabut kelapa, tadi. Setelah sabutnya bersih, Aldo kembali menghampiri Tania. Diraihnya batu yang tak jauh darinya, kemudian dipecahkannya batok kelapa muda itu.
"Ini, minum!"
Tania segera meraih kelapa itu, kemudian meneguknya. Keduanya saling berbagi isian kelapa muda, sekedar mengganjal perut.
"Kenyang?"
"Alhamdulillah," jawab Tania semringah.
Sesaat kemudian keduanya bersenandung, menyanyikan lagu favorit secara bergantian. Tawa dan canda membuat keduanya lupa rasa lapar yang datang berulang kali. Malam kian larut, keduanya terus bersenandung mengusir sepinya hutan, hingga Tania tak mampu lagi menahan rasa kantuknya.
Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas tumpukan daun. Matanya terpejam hingga fajar menyingsing. Saat terbangun di dapatinya Bima masih tetap terjaga, duduk di sampingnya.
"Kak Bima, tidak tidur?"
Lelaki itu menoleh dan menggeleng.
"Sekarang gantian, Kak Bima yang tidur, biar aku yang jaga."
"Baiklah, aku tidur sebentar, ya! Kamu jangan kemana-mana!"
"Siap, komandan." ujar Tania cengengesan.
Bima segera merebahkan tubuhnya, tidak menunggu lama, matanya langsung terpejam dan tertidur lelep. Tania memperhatikan sekeliling, mentari terlihat malu malu menampakkan sinarnya.
Saat Tania menoleh ke sebuah batang kayu yang rimbun, matanya membulat melihat ular melilit di dahan.
"Kak Bim.... Kak Bima.... Ba-banguuun! A-ada ulaaar!" tangannya menggoyang kaki Bima.
Bima terbangun dari tidurnya, sinar mentari menyilaukan matanya. "Ada apa?" tanyanya, mengucek mata yang sulit terbuka.
"Kak Bima, kita harus pergi dari sini, ada ular!"
"Ular? Diama?" tanya Bima tegang.
"Itu!" Tania menunjuk ke arah batang pohon yang rindang.
Bima menelan ludah, seketika ia merinding. Tapi gengsi menunjukkan rasa takutnya di depan Tania. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.
"Kita lanjutkan perjalanan?"
Tania langsung mengangguk. Keduanya bergegas membawa sisa kelapa yang hanya tinggal dua butir. Setelah merasa aman, keduanya kembali berjalan santai.
"Nanti jika kita sudah keluar dari hutan ini, apa yang pertama ingin Kak Bima lakukan?"
"Ngecas hape!"
Langakah Tania terhenti, mendengar jawaban Bima yang tak terduga olehnya. Tadinya dia pikir Bima akan menjawab; ingin ketemu Saras, atau mau makan makanan kesukaannya, atau apalah yang lebih bermutu.
"Ngecas hape?" tanya Tania menoleh menaikkan alis.
"Iya. Biar bisa nyimpan nomer kamu!" ujar Bima seraya melirik. Senyum indah tersungging di bibirnya.
Tania menunduk tersipu malu, ada bahagia dihatinya. Seketika kelapa bulat yang sejak tadi ditangannya, terasa ringan. Keduanya terus berjalan mengikuti kata hati. Disebuah pohon yang tidak terlalu rindang, mereka beristirahat sejenak, melepas dahaga, menghabiskan kelapa yang tersisa.
Kini, kuduanya sudah tidak punya bekal. Bima berpikir keras, mencari makanan untuk bekal mereka hari ini.