Tania duduk mendeprok beralaskan rumput. Ia sibuk mengipas jagung bakar. Sesekali tangannya trampil mengoles margarin pada jagung. Aroma yang tercium mengundang selera. Tania lebih menikmati proses membakarnya dari pada menikmati jagungnya. Jagung yang sudah matang, semua disajikan untuk anggota yang lain.
"Tania, gantian sini, nanti kamu capek," ujar Dimas ingin mengambil alih perapian.
"Enggak usah, Dim, aku menikmatinya, kok."
"Tapi kalau kamu mau istirahat bilang, ya." ujarnya.
"Oke, tenag saja."
"So sweet, perhatian banget, Siiiih?" Goda Tiara yang tidak pernah mau jauh dari Bima.
"Jangan cemburu donk, Tiara. Aku masih setia pada janji kita," balas Dimas, menggoda.
Sontak saja semua mata tertuju pada mereka berdua dengan senyum terkulum.
"Cieeee..... Ada yang cemburuuuu," sambung Tania, cekikikan.
"Siapa yang cemburu! Si Dimas buat kamu saja!" celetuk Tiara bete, bibirnya melengkung ke bawah.
Bima dan yang lainnya tertawa mendengar ketiganya saling ledek. Seswkali matanya matanya melirik pada Tania. Kehangatan api unggun membuat kantuk mereka hilang. Tawa dan canda menghiasi pesta bakar jagung malam itu. Berbeda dengan Tania, ia mulai mengantuk, ia izin untuk tidur lebih dulu. Tidak lama kemudian, Tiara dan Tanty ikut masuk ke tenda. Ketiganya terlelap hingga matahari kembali bersinar terang.
***
Saat mentari mulai menampakkan diri, Tania ke luar dari tenda, ia mengucek matanya melihat suasana di luar tenda yang masih sepi. Tenda pria masih tertutup rapat. Mungkin masih pada tidur, karena begadang semalam suntuk. Tania berjalan jalan di sekitar tenda, sembari menghirup udara segar. Panorama danau toba terlihat indah dari puncak bukit itu. Sekilas matanya melihat kelinci putih melompat di semak semak. Tania penasaran, dia ingin melihat lebih dekat. Dikejarnya kelinci itu. Tapi ia tidak melihat apapun. Saat ingin kembali ke tenda, ia melihat semak semak bergerak, dan benar saja, kelinci putih itu kembali terlihat dan melompat menjauh. Tania mengejar kembali kelinci itu.
Namun langkahnya terhenti mendengar teriakan Bima memanggil namanya.
Tania menoleh ke belakang, Bima terlihat setengah berlari mengejarnya. "Tania, kamu mau kemana?"
"Ada Kelinci, Kak Bima. Lucu."
"Biarkan saja, ayo kembali. Nanti kamu tersesat."
"Tapi aku mau menagkap kelinci itu, kelincinya putih, lucu banget." bantahnya. Matanya tajam mengawasi sekeliling. "Itu dia, Kak." teriak Tania menahan suaranya. Ia kembali mengejar kelinci putih itu.
"Tania berhenti! Kita sudah semakin jauh ke dalam hutan. Ayo kembali."
"Sebentar lagi, Kak Bim. Aku mau bawa pulang kelincinya."
Bima menghela napas, ia mencari akal membujuk agar Tania mau kembali. "Gini aja, nanti sesampainya di Jakarta, aku akan belikan kamu kelinci putih, bagaimana?"
"Beneran?"
"Hm, Tentu saja. Ayo balik."
Tania lompat kegirangan, tentu saja kelinci pemberian Bima lebih berharga dari kelinci manapun di muka bumi ini. Tania segera mengikuti langkah Bima dari belakang. Tapi sayang, keduanya menuju arah yang salah. Tempat itu terlihat sama semua. Setelah berjalan beberapa lama, Bima berhenti.
"Kenapa Kak Bim?" Tanya Tania dengan polos.
"Kok kita nggak nyampe nyampe ya ke tenda?" ujarnya sembari berhenti, lalu menoleh pada Tania.
Tania nenatap mata Bima tajam, keduanya saling pandang. Mereka diam membisu. Degup jantung di d**a mulai tak beraturan. Apa ini artimya mereka tersesat?
"Ya, Tuhan. Semoga mereka segera mencari kita." ujar Bima lemas.
Tania menelan ludah. Wajahnya mulai pucat. "Kak Bima, apa kita tersesat?"
"Sepertinya begitu. Aku tidak tahu arah menuju tenda. Tempat ini semua terlihat sama."
Sesaat kemudian, mata keduanya liar menatap sekeliling. Sepanjang mata memandang, hanya ada pohon pohon rindang dan semak belukar. Semua terlihat sama. Tidak ada tanda yang bisa membuat mereka menuntun jalan untuk pulang.
Bima mengambil rumput jalar lalu mengikatnya ke pohon di depannya. Tania mencari batu runcing, lalu memberi nomer pada pohon itu.
"Ayo kita jalan lagi, semoga kali ini arah kita benar." ujar Bima.
Tania setengah berlari menyalip langkah Bima. Ia takut jalan di belakang. Sesaat ia melirik Bima, Lelaki bertubuh atletis itu merapatkan bibirnya membentuk garis lurus. Tania kemudian cengir kuda membuang rasa malunya.
Keduanya kembali berjalan, mereka memberi tanda setiap pohon yang dilalui. Tapi tenda tempat asal meraka belum juga terlihat.
"Kak Bima, aku haus." ujar Tania yang terlihat kelelahan. Peluh membasahi sekujur tubuhnya.
"Kamu sabar, ya. Semoga kita segera bertemu sungai."
Tania kembali berjalan. Langkahmya mulai lambat. "Kak Bima, kita istirahat dulu, ya. Aku capek." ujarnya sembari duduk di akar pohon yang besar.
Bima memperhatikan sekeliling, ia khawatir ada binatang berbisa di dekat mereka. Setelah yakin aman. Ia duduk di depan Tania.
Di tenda, Andi, salah satu panitia penyelenggara, mulai panik. Tidak satupun dari mereka menemukan Bima dan Tania.
"Mungkin nggak, kalau mereka pulang duluan?" tanya Dimas dengan napas terengah-engah. Ia sudah mencari ke berbagai arah. Tapi Bima dan Tania tidak berhasil ditemukannya.
"Tidak mungkin. Untuk apa mereka pulang tanpa memberi tahu. Kita pulang saja, dulu. Kita harus cari bantuan." ujar Andi.
"Dasar Si Tania, nyusahin aja!" grutu Tiara berkacak pinggang.
"Mas, bagaimana ini, saya harus bilang apa pada orangtua saya?" tanya Tanty panik. Ia takut membayangkan wajah ayah yang murka.
Andi hanya menatapnya iba. Tapi sebenarnya dia lebih iba pada dirinya sendiri. Bagaimana dia harus mempertanggung jawabkan ini semua? Oh, Tuhan, semoga Bima dan Tania baik baik saja dumanapun mereka berada.
Di dalam hutan, Bima memperhatikan Tania yang tertidur lelap sembari duduk menyandar di pohon. Hatinya mulai cemas. Apakah mereka akan bermalam di hutan ini? Ah, celaka. Semoga tidak ada binatang buas atau binatang berbisa. Semoga Tuhan melindungi mereka berdua. Bima tidak bisa istirahat dengan tenang, ia sangat khawatir ada binatang melata yang tiba tiba datang mendekat.
Matahari kian condong ke atas, tapi mereka masih belum menemukan jalan kembali. Tidak ada persediaan air apalagi makanan. Bagaimana ini? Dia harus menemukan sungai. Setidaknya mereka tidak mati kehausan.
Tidak lama kemudian, Tania bangun dari tidurnya. Dilihatnya Bima yang terjaga duduk di depannya. Cahaya matahari meliuk di antara dedaunan, sinarnya menyilaukan mata. Tania menutup matanya dari kilauan sinar yang sesekali menyisir wajahnya.
"Tania, ayo kita jalan lagi, kita harus menemukan sungai."
Tania mendongak melihat Bima yang kini berdiri bersiap melanjutkan perjalanan yang tidak tahu akan berakhir dimana. Dengan berat hati, Tania beranjak dan mengikuti langkah Bima. Tenggorokannya terasa kering, tidak ada air untuk diminum. Ia berdoa semoga Tuhan menunjukkan jalan pulang. Ia sangat takut bermalam di hutan itu. Apalagi tanpa perbekalan apa apa.
"Kak Bim, lihat itu, ada pohon kelapa?"
"Iya, ayo kita ke sana."
Keduanya bersemangat mendekat.
"Kak Bima bisa manjat?"
Bima tercenung sesaat, pelan ia mendongak melihat puncak kelapa yang menjulang tinggi ke langit. Sebenarnya ia tidak yakin. Tapi, demi air kelapa itu, ia akan mencoba.
"Akan kucoba," ujarnya sembari mengetuk mengetuk batang kelapa dengan batu. Ia tidak mau terperangkap dengan ular di atas sana.
"Hati-hati, Kak Bima. Kalau ragu, mending tidak usah. Kita cari sungai saja."
"Tidak apa apa, kamu tenggu di bawah. Sekalian aku mau lihat sekeliling. Siapa tahu dari atas sana terlihat sungai."
Tania menganguk, ia cemas melihat Bima mulai menaiki batang kelapa.