"Maafkan saya, Om. Saya berjanji akan membersihkan nama Om di perusahaan."
"Terima kasih... Tapi tolong lupakan Tania. Jangan pernah mencoba untuk mendekatinya. Jika Anda benar-benar mencintai Tania, tolong jauhi dia. Saya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpanya."
Bima membuang wajah, enggan untuk mengangguk. Sungguh, tidak ada sedikut pun niat mundur di hatinya. Bahkan kini dia benar-benar yakin dengan perasaannya pada Tania.
"Maaf, Om. Saya tidak akan pernah mundur selangkah pun. Saya mencintai Tania. Saya ingin dia lah yang menjadi pengantin wanita saya."
Pak Brata menatap Bima sayu. Dia bisa merasakan ketulusan cinta Bima pada Tania. Tapi, dia juga sadar ada jurang pemisah diantara keduanya.
"Maaf, Mas Bima. Saya ucapkan terima kasih atas perhatian Anda pada Tania putri saya. Tapi sekali lagi saya minta maaf, saya terpaksa menyembunyikan Tania dari Anda. Jujur, saya sangat khawatir dengan keselamatannya."
Bima menarik napas dalam, melonggarkan sesak di dadanya. Ada amarah yang memuncak dikepala. Tapi tidak tahu pada siapa melampiaskannya. Emtah kemana dia harus mencari Tania, gadis yang telah pergi membawa separuh jiwanya. Ingin rasanya dia memaksa meminta alamat Tania pada pak Brata, tapi tidak mungkin. Pak Brata tidak akan mau memberinya.
Kini yang harus dia lakukan adalah menyelesaikan urusannya dengan Saras. Memohon pada keluarganya agar membatalkan rencana pernikahan itu.
Bima menatap pak Brata lekat. Tanpa berkata apa pun, ia melangkah pergi.
Bima melacu mobilnya menuju Bandara. Tidak peduli bertemu atau tidak dengan Tania, ia nekad pergi ke Surabaya.
Setibanya di Surabaya, Bima menginap di salah satu Hotel. Ia terus mencoba menghubungi nomer Tania, tapi selalu tulalit. Ia membuka akun media sosial Tania dan mengirim pesan melalui inbox, di baca, tapi tidak di balas. Bima mengirim pesan lagi, kali ini cukup panjang.
[Hai, Tania.... Aku tahu kamu pergi untuk menghindariku. Dan aku minta maaf atas apa yang menimpa ayah kamu. Aku berjanji akan membersihkan nama baik ayah kamu. Tapi kumohon, temui aku sekali ini saja. Kita bicara kan masalah ini dan mencari solusinya. Jika kamu bersembunyi seperti ini, aku tidak tahu harus berbuat apa!
Tolong temui aku, kita harus bicara, apa pun keputusannya nanti. Aku menunggumu di hotel Kembang]
***
Pagi ini cuaca di kota Surabaya cukup segar. Mata hari bersinar malu malu.
Di rumah pamannya, Tania duduk termangu membaca pesan yang di kirim Bima barusan.
Gadis bermata jeli itu resah, ia tidak menduga Bima akan menyusulnya ke Surabaya. Jauh di sudut hatinya, ia sangat ingin menemui Bima tapi tidak mungkin. Dia sudah berjanji pada ayahnya tidak akan berkomunikasi dengan lelaki itu.
Tapi sungguh Tania tidak tega membiarkan Bima dalam kebingungan. Ia memberanikan diri membalas inbox dari Bima.
[Hai, Kak Bima... Aku sangat sedih harus menjauh darimu. Tapi setelah ayah di rumahkan dengan tuduhan korupsi, aku yakin mungkin sebaiknya kita memang tidak usah bertemu lagi.... Aku hanya akan merusak hubungan kak Bima dengan Mba Saras. Menikahlah dengannya. Jadilah CEO di perusahaan. Hanya satu yang aku inginkan dari kak Bima, tolong bersihkan nama baik ayah. Aku yakin ayah difitnah karena kedekatan kita. Kumohon dengan sangat kak Bima, kembali lah pada Mba Saras. Menikahlah dengannya. Dan tolong kembalikan nama baik ayah.]
Lama Tania menunggu balasan dari Bima. Ditatapnya ponsel yang tergeletak di meja. Bima sudah membacanya namun belum ada tanda tanda akan di jawab.
Di kamarnya, Bima gelisah. Remuk redam rasanya membaca balasan dari Tania. Bukan jawaban seperti itu yang dia inginkan. Tidakkah dia ingin memperjuangakan cinta mereka?
Bima mengepalkan tinjunya. Kesal, tapi tidak tahu melampiaskannya pada siapa. Diraihnya ponsel yang tergeletak di tempat tidur lalu mulai membalas pesan Tania.
[Kamu dimana? Aku akan menuruti semua permintaan kamu. Tapi katakan langsung di depanku!]
Tania buru buru meraih ponselnya setelah mendengar notif. Ia menggigit bibir membaca pesan Bima. Kali ini Tania nekad akan menemui Bima demi membersihkan nama baik ayahnya.
Setelah menentukan tempat janjian, Tania segera memesan taxi menuju lokasi.
Di dapatinya Bima sudah menunggu di sana, di sebuah taman hutan Keputih.
Keduanya saling berhadapan diam mematung, menahan gejolak di d**a. Menahan kerinduan yang tiba-tiba menyesakkan d**a.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Bima menatap Tania lekat.
Tania mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Ada kesedihan yang mendalam di hatinya. Ada perih yang terasa menyayat kalbu.
"Kak Bima juga baik-baik saja?"
"Hm,..." suara Bima terdengar parau. "Sehari tidak bertemu dengan kamu rasanya duniaku berakhir. Aku sangat takut tidak bisa melihat kamu lagi."
Tania menunduk, air matanya tumpah tak terbendung. Sesak sekali dadanya mendengar kalimat itu. Kalimat yang harusnya membuatnya bahagia. Tapi justru kalimat itu bagai belati yang mengiris kulitnya.
Bima mendekat, ia tidak sanggup membiarkan gadis pujaannya menangis tersedu. Di belainya puncak kepala yang terbalut kain itu.
"Katakan apa yang harus aku lakukan agar kamu bahagia?" bisiknya pelan, matanya lekat menatap wajah ayu di di depannya.
"Tolong bersihkan nama baik ayah! Ayah bukan koruptor! Ayah tidak mungkin mengambil uang yang bukan haknya!"
Suara Tania terdengar pilu, wajahnya memerah, matanya sembab. Ia sungguh tidak terima atas tuduhan keji pada ayahnya.
"Aku janji, aku pasti akan membersihkan nama ayah kamu... Maafkan aku telah mengacaukan hidupmu! Aku tidak tahu dari mana datangnya perasaan ini, perasaan yang selalu ingin menjagamu, aku ingin kamu selalu ada di sampingku, sama seperti saat kita tersesat di hutan itu... Andaikan kamu mau, aku akan membawamu pergi jauh dan tidak akan ada yang bisa menemukan kita.... Kita bisa mulai membina rumah tangga bersama. Kita akan tinggal satu rumah, tidur di bawah selimut yang sama."
Tania semakin terisak, sungguh dia pun menginginkan itu. Tapi bagaimana dengan keluarganya? Mana mungkin dia menikmati kebahagiaannya di atas penderitaan keluarganya.
"Tidak kak Bima... Kita tidak akan pernah bahagia di atas penderitaan orang-orang yang menyayangi kita... Aku tidak sanggup membiarkan ayah di fitnah. Dan aku juga tidak ingin menguasai kak Bima seorang diri. Ada orangtua kak Bima yang lebih berhak. Mereka telah susah payah membesarkan kak Bima. Manamungkin aku menyakiti mereka."
Wajah Tania terlihat kacau.
"Katakan aku harus apa?"
"Menikahlah dengan Mba Saras. Setelah kak Bima menjabat sebagai CEO tolong kembalikan nama baik ayah!"
"Baik, jika itu yang kamu mau, akan kulakukan! Tapi aku juga punya permintaan."
Mata indah Tania menatap Bima tegang. "Katakan apa yang kak Bima inginkan?"
"Kamu harus kembali ke Jakarta, lanjutkan kuliah kamu hingga selesai. Jangan pernah menangis untukku. Jatuh cintalah pada lelaki yang baik, kamu pantas bahagia!"
Tania tak mampu menahan air matanya, isak tangisnya semakin menjadi. Ditatapnya lelaki tampan didepannya. Mata keduanya saling bertaut.
"Boleh aku memelukmu untuk yang pertama dan mungkin yang terakhir, hm?" Bima mendekatkan wajahnya ke wajah Tania.
Tania memejamkan mata, menahan isak tangis yang tak mau berhenti. Tulangnya seolah rontok dan tak mampu menopang tubuhnya. Pelan ia mengangguk lalu merebahkan kepalanya di pundak kekar itu. Pundak yang pernah menemaninya antara hidup dan mati di hutan.
"Aku cinta kamu, ingat itu!" bisik Bima ke telinga Tania.
Tania diam membisu menikmati ungkapan perasaan lelaki pujaan hatinya. Tania mengangguk pelan.
"Jangan pernah menghindariku, aku ingin tetap melihatmu tersenyum, aku ingin melihatmu bahagia walau tak bersamaku. Biarkan aku bersembunyi menatapmu melepas rinduku... Jadi kumohon, jangan pernah sembunyi dariku!"
Untuk yang kesekian kalinya Tania mengangguk.
"Janji?"
"Janji..." jawab Tania mengaitkan kelingkingnya di jari kelingking Bima. Sebuah sentuhan lembut untuk yang pertama dirasahan Tania sebagia salam perpisahan.