13. Berlabuh

1287 Kata
"Apa dia tidak menjawab?" tanya Lea saat Frey nampak suram, menatap kosong pada ponselnya. Mereka saat ini sedang transit di Istanbul Airport sebelum kembali meneruskan perjalanan ke Bandara Charles de Gaulle Paris. Jevais sebelumnya mengatakan dengan yakin bahwa dia akan menyusul ke Paris, kenyataannya, dari detik dia pergi dari hadapan Frey di Bandara Internasional Soekarno Hatta sampai sekarang, sekitar dua belas jam kemudian, Jevais tidak merespon panggilan telponnya dan juga pesan teks yang dia kirimkan. Frey menggeleng. "Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk. Jevais pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa dan Chena juga tidak bisa dihubungi. Sebenarnya ada apa?" Suara Frey terdengar bergetar menahan tangis. Perjalanan ke Paris yang seharusnya menyenangkan kini menjadi sebuah perjalanan yang menyisakan rasa lelah yang berkepanjangan. Tapi meski begitu, dia tidak bisa membatalkan kepergiannya ke Paris begitu saja. Semuanya biaya tour sudah dibayar dan tidak mungkin membatalkan kepergian ke Paris, apalagi, Bianca dan Basil sudah sangat antusias berkeliling Disneyland Paris. Frey tentu saja tidak sampai hati membatalkan perjalanan ini dan membuat anak kembarnya kecewa. "Tenanglah Frey, aku akan mencoba mencari tahu, sebenarnya apa yang terjadi." Lea mencoba menenangkan Frey. "Kepalaku sangat pusing dan jantungku berdebar semakin cepat. Rasanya aku ingin kembali ke Jakarta dan mencari tahu apa pun yang terjadi pada Jevais. Persetan dengan ungkapan keingintahuan membunuh kucing. Aku manusia, bukan kucing dan aku tidak akan terbunuh karena keingintahuanku. Aku harus tahu apa yang sedang terjadi dengan suamiku!" Frey berkata emosional dan membuat Lea berusaha menenangkannya. "Frey, tenanglah. Kamu tidak ingin membuat anak-anak kaget kan? Kamu ingin mereka menikmati waktu berlibur ini. Aku akan membantumu mencari tahu apa pun yang sebenarnya terjadi dengan Jevais." "Thanks, Lea. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku seandainya kamu tidak berada di sini." Frey memeluk Lea erat. Dia sedikit merasa lega karena sahabat sekaligus manajernya, ada di sisinya. Meski Lea seringkali melemparkan komentar pedas, tapi Frey tahu Lea selalu bisa diandalkan. "It's oke, Frey. Kamu tahu, aku akan selalu berada di pihakmu. Nah, kamu bisa beristirahat dan menikmati coklat panas sementara aku mencari tahu, ada apa dengan Jevais. Oke?" Frey mengangguk. "Aku benar-benar berterima kasih." *** Ribuan kilometer jauhnya dari Turki, Jevais sedang berada di sebuah rumah sakit di Jakarta. Dia sedang berdiri di depan sebuah ruangan gawat darurat dengan wajah pucat pasi. Dia baru saja berlari begitu saja dari Bandara dan membatalkan perjalanan wisata ke Paris bersama istri dan anak-anaknya, padahal, dia sudah menjanjikan perjalanan wisata itu sejak lama. Akan tetapi, Jevais memilih untuk batal pergi ke Paris karena dia mendapatkan kabar dari Sheryl soal Kiyoko. Dia sudah mengucapkan selamat tinggal pada Kiyoko, tapi ternyata, dia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan wanita itu dan melupakannya. Terlebih, karena Kiyoko mengalami suatu keadaan yang membuat Jevais tidak bisa mengabaikannya. "Kenapa dia tidak memberitahuku dan memilih menerima perpisahan yang aku katakan padanya?" Jevais bertanya pelan pada Sheryl yang ada di sebelahnya. "Kamu pikir, Kiyoko akan mengemis kepada kamu? Setelah dia dibuang oleh Kai Sjahrir, kepercayaan dirinya merosot drastis. Kamu adalah seseorang yang membuatnya percaya diri kembali, tapi dia tahu, kamu bukanlah miliknya dan saat kamu memilih bersama Frey kembali, Kiyoko tahu bahwa dia telah dibuang untuk yang kedua kali." "Aku tidak membuangnya." "Kamu mengatakan akan kembali pada Frey, itu berarti kamu tidak memilih Kyo kan?" Jevais menghela napas. "Aku sudah menikah." "Itu salah kamu karena kamu tidak menjaga komitmen kamu dengan Frey. Seharusnya kamu tahu diri, jangan mendekati Kyo terlalu dekat karena kamu sudah menikah." "Ya...ya...semua memang salahku!" Jevais berkata keras dan ketus pada Sheryl. "Seharusnya kamu mengasihani Kiyoko. Dengan keadaannya sekarang, dia pasti akan mendapat gunjingan, apalagi, kalau Frey tahu, mungkin Frey akan marah besar dan melabrak Kiyoko. Semua itu tidak akan bagus untuk karirnya. Kiyoko tidak boleh kehilangan pekerjaan, kamu tahu bukan, dia harus membiayai adiknya yang sakit-sakitan." "Iya...aku tahu...." "Jadi, bagaimana kamu bisa menyelesaikan semua ini?" "...." "Aku sudah menduga kamu tidak punya jawaban." Sheryl mendecih meremehkan saat Jevais terdiam. Pikiran lelaki itu terasa sangat penuh dan sibuk. "Aku menyarankan sebuah jalan keluar untuk Kiyoko. Mungkin orang akan mengatakan ini kejam, tapi ini lebih baik untuk menyelamatkan semuanya. Kamu bisa kembali pada Frey, karir Kiyoko akan terus berjalan, sinetron ini akan terus menduduki rating pertama dan adik Kiyoko terus mendapatkan perawatan." "Apa yang kamu katakan pada Kiyoko?" "Menggugurkan kandungannya." Dalam sekejap wajah Jevais memerah karena marah, tangannya mengepal dan dia meninju tembok tepat di samping kepala Sheryl. "Tega-teganya kamu membuat Kiyoko seperti ini." "Jangan salahkan aku, salahkan diri kamu sendiri. Kamu tidak tahu apa-apa tentang bagaimana Kiyoko bertahan. Apa kamu akan memilih Kiyoko sekarang? Kiyoko akan hancur sendirian, anak itu," Sheryl menekankan "tidak bisa lahir sekarang." "Aku bersumpah, akan membuatmu membayar semua ini." Jevais menatap sengit Sheryl tapi wanita itu tidak gentar. Baginya, Jevais hanyalah lelaki tidak bertanggung jawab yang hanya menyengsarakan Kiyoko. "Keluarga Ibu Kiyoko Forest!" Sebuah panggilan terdengar dan Jevais tidak punya waktu lagi untuk berdebat dengan Sheryl. Dia segera berlari menyongsong perawat yang memanggil. "Bapak keluarga Ibu Kiyoko?"tanya perawat saat Jevais mendekat. Jevais mengangguk cepat. "Iya, saya." "Mari silahkan masuk, Pak. Dokter akan menjelaskan kondisi Ibu Kiyoko." Perawat membuka pintu ruang gawat darurat dan Jevais segera masuk ke dalam. "Bu Kiyoko mengalami pendarahan karena kelelahan, saat ini, kondisi umumnya bagus, janinnya juga dalam kondisi sehat, namun sangat disarankan untuk beristirahat total sampai trimester kedua. Jika tidak, dikhawatirkan Ibu Kiyoko mengalami pendarahan lagi jika kelelahan." "Jadi...janinnya selamat? Kiyoko tidak keguguran?" "Janinnya masih dalam kondisi sehat, dan ini yang harus kita perhatikan, jangan sampai kondisi Ibu Kiyoko drop dan mengalami pendarahan yang bisa menyebabkan keguguran." "Sebentar lagi, Ibu Kiyoko akan diantar ke ruang rawat inap sambil kita observasi lebih lanjut kondisi umum beliau dan janinnya. Setelah semuanya baik, beliau boleh pulang dengan catatan agar diperhatikan kondisinya agar tidak kelelahan dan stres." "Baik, Dok. Terima kasih." Jevais menatap Kiyoko yang tertidur di brankar. Sepertinya, dia tertidur karena efek obat yang diberikan padanya. Perawat mendorong brankar keluar dari ruang gawat darurat, menuju ruang rawat inap, Jevais mengikuti dari belakang. Sheryl bergegas mengikuti juga saat dia melihat Kiyoko sudah keluar dari ruang gawat darurat. "Biarkan aku yang mengurus Kiyoko," ucap Jevais. "Aku akan bertanggung jawab padanya." Jevais berkata lagi sebelum Sheryl mengatakan apa-apa. Sheryl berhenti mengikuti brankar yang membawa Kiyoko dan membiarkan Jevais mengurus Kiyoko. "Kalau ada sesuatu atau perlu bantuan silahkan hubungi kami di stasiun perawat, tekan nol, akan langsung tersambung," ucap perawat sebelum dia keluar dari ruangan rawat Kiyoko pada Jevais. Jevais mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu duduk di sisi ranjang Kiyoko setelah perawat keluar dan menutup pintu. Jevais menatap wajah Kiyoko yang nampak pucat, tertidur lelap. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap dahi Kiyoko perlahan, menyibakkan anak rambut yang jatuh ke sebagian sisi wajah Kiyoko. Berbagai perasaan berkecamuk dalam batin Jevais. Dia tidak tahu bahwa saat ini Kiyoko sedang mengandung anaknya. Sebelumnya, saat Jevais berada di bandara bersiap berangkat ke Paris, Sheryl menelponnya, memberitahu bahwa Kiyoko terjatuh dari anak tangga rumah yang dijadikan lokasi syuting dan mengalami pendarahan, dan Jevais tidak bisa memikirkan apa-apa selain ingin segera menemui Kiyoko dan mengetahui bagaimana keadaannya. Apakah dia baik-baik saja? Dan perasaan Jevais semakin tidak menentu seperti gelombang lautan saat dia mengetahui kehamilan Kiyoko. Dia bahagia, tentu saja, karena kehadiran seorang anak, tapi, masalahnya, Kiyoko bukan istrinya, dan juga, dia baru saja mengatakan pada Frey bahwa dia akan meninggalkan Kiyoko dan kembali pada Frey. Setelah hari ini, Jevais tidak bisa meninggalkan Kiyoko. Dia tidak tega meninggalkan Kiyoko sendirian bersama bayi dalam kandungan wanita itu. Seperti kapal yang berubah haluan karena adanya badai di lautan yang hendak ditempuhnya, hal yang sama diputuskan Jevais saat dia menatap Kiyoko yang terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit. Jevais tidak pernah bisa memutuskan kepada siapa hatinya berlabuh, Frey atau Kiyoko, dua-duanya adalah wanita yang menumbuhkan cinta dalam hatinya, tapi demi sebuah tanggung jawab, Jevais memutuskan bersama siapa dia akan berlabuh sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN