Bab 1 : Pertemuan Tidak Terduga

1096 Kata
Abi terduduk di lantai melihat perawat mendorong brankar di mana tubuh sang istri terbungkus kain putih menutupi seluruh tubuhnya. Mata Abi menatap kosong ke arah mereka yang kini sudah menghilang dari pandangannya. Suasana ruangan terasa begitu dingin dan sunyi, hanya diisi oleh suara isak tangis pelan ibu mertuanya. Apa yang baru saja dia saksikan tadi seperti palu godam yang menghancurkan seluruh dunianya. Ia mencoba menenangkan diri, tapi jantungnya berdebar keras, dan perasaannya campur aduk antara marah, bingung, dan terpukul. “Maafkan kami, Abi,” suara ibu mertuanya terdengar parau, penuh penyesalan. Wanita tua itu menggenggam tangan suaminya erat, air mata terus mengalir membasahi pipinya. “Aira tidak pernah ingin kamu tahu. Dia takut kamu akan meninggalkannya jika tahu tentang penyakitnya ....” Abi menggelengkan kepala, hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Papa dan Mama tahu, tapi tidak ada yang memberitahuku?" tanyanya dengan suara pelan tapi penuh ketegasan. Pandangannya tertuju ke wajah ayah mertuanya yang juga menundukkan kepala dengan wajah penuh penyesalan. "Itu permintaan Aira," lanjut papa Aira dengan suara bergetar. "Dia tidak ingin kamu menikahinya karena merasa kasihan atau terpaksa, bahkan mungkin menolak menikahinya. Aira sudah menyukaimu sejak lama, Abi. Dia ingin mencintaimu tanpa syarat ... dan dia berharap kamu juga mencintainya dengan cara yang sama. Apa Papa salah jika ingin melihat anak papa bahagia walau hanya sesaat Abi?" Abi merasakan darahnya berdesir mendengar kata-kata itu. Benarkah selama ini Aira telah memendam perasaan itu, bahkan saat dirinya tidak pernah sepenuhnya mengerti atau menyadari? “Aku ... seandainya Abi tahu ....” Abi menggigit bibirnya, suaranya pecah di tengah kalimat. Dia memejamkan mata sejenak, berharap bisa menghapus perasaan bersalah yang kini menghantuinya. “Maafkan keegoisan Papa, Abi.” Jika saja Abi bisa memutar waktu kembali, bahkan hanya sekali, dia ingin sekali memperbaiki semua kesalahannya. Dia ingin menghapus setiap sikap acuh dan dingin yang pernah dia lakukan kepada Aira. Dia ingin memeluk Aira erat-erat, dan belajar mencintai istrinya. “Ayah, Ibu mau dibawa ke mana? Kanina mau bersama Ibu,” rengek Kanina memeluk leher Abi. Air mata Abi jatuh tanpa permisi, Kanina melihat itu mengulurkan tangannya mengusap lembut pipi Abi. “Jangan menangis, Ayah. Ayo, kita jemput Ibu.” *** Hari pemakaman Aira tiba diiringi dengan rintik gerimis yang tak kunjung reda sejak pagi. Tanah masih basah dan licin, aroma hujan bercampur dengan bau tanah yang baru saja digali menguar ke udara. Abi berdiri diam di tepi makam yang baru saja ditutup tanah bersama Kanina berdiri di sampingnya, menatap kosong ke arah batu nisan yang kini menjadi tempat peristirahatan terakhir ibunya. Hujan sudah berhenti, beberapa peziarah berangsur pergi meninggalkan makam Aira termasuk mertua dan juga orang tua Abi. “Mas, biar Kanina denganku saja,” kata Dion, sang adik, menawarkan diri membawa Kanina ke mobilnya. “Tidak mau Papa Dion. Kanina mau sama Ayah, Ibu Kanina bobok di sini,” tunjuk Kanina pada batu nisan Aira membuat air mata Abi kembali mengalir. “Kanina main dengan Kak Aruni, yuk, sama bunda Aya,” tawar Dion sekali lagi, tapi Kanina tetap tidak ingin meninggalkan ayahnya seorang diri. Dion pun akhirnya undur diri bersama keluarganya keluar dari area pemakaman. “Ibu …,” bisik Kanina lembut, memanggil dengan suara kecil. Abi menoleh ke arah putrinya, matanya berkaca-kaca. Hatinya seperti teriris mendengar panggilan putrinya yang begitu polos dan penuh harapan. Dia ingin menjawab, tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Kanina melepaskan genggaman tangan Abi dan berjalan pelan ke arah nisan. Tangan kecilnya mengelus-elus permukaan batu yang dingin, seolah sedang membelai wajah ibunya. “Ibu, bangun ... kita pulang,” katanya lagi, suaranya memohon. “Jangan bobok di sini, Ibu,” sambungnya. Abi memejamkan matanya, menahan sesak di dadanya yang terasa begitu berat. Dia berjongkok di samping Kanina, memeluk putrinya erat. “Ibu sudah di tempat yang tenang sekarang, Sayang,” ucapnya sambil menahan isak. “Ibu di surga, tapi tetap akan selalu ada di hati kita.” Kanina menatap wajah Abi dengan mata yang penuh air mata, tampak bingung tapi mencoba mengerti. “Ibu tidak pulang lagi, Ayah? Ibu tinggalin kita lagi?” tanyanya, suaranya bergetar. Abi tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan pada putri kecilnya tentang kepergian yang begitu tiba-tiba dan tak terelakkan ini? “Kita pulang ke rumah, ya, Kanina. Besok kita ke sini lagi,” ajak Abi dan Kanina menolak—menggeleng—mengingatkan Abi kalau besok jadwal mereka bertiga ke pantai. Abi kembali membujuk Kanina, kemudian bersuara lantang meminta izin pada Aira pamit pulang dan berjanji akan datang kembali besok. “Tidak mau—” Tiba-tiba Kanina mengalihkan pandangannya—terpaku, dan dengan nada tinggi yang mengejutkan, dia berteriak, “Ibu …!” Abi langsung mendongak, mencari arah pandangan Kanina. Di kejauhan, berdiri seorang wanita mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya diikat rapi, sorot mata dan raut wajahnya sangat mirip dengan Aira. “Aira?” Abi merasakan jantungnya berhenti berdetak sesaat. Wanita itu menoleh melihat Kanina yang berteriak dan berlari kecil mendekatinya. Abi tertegun, terhipnotis oleh kemiripan itu, hingga kakinya hampir melangkah maju sebelum akal sehatnya mengambil alih. “Tidak mungkin,” bisiknya, tapi suaranya terdengar lebih seperti harapan yang tak terucap. Wanita itu melihat sekitar, wajahnya terlihat bingung. Dia tidak melanjutkan langkahnya karena Kanina berlari ke arahnya. Hati Abi berdebar kencang, matanya tak lepas memandang. Abi terlambat mengejar Kanina yang kini sudah memeluk wanita itu yang berjongkok menyambut Kanina dalam kebingungan. Ketika jaraknya cukup dekat, Abi bisa melihat dengan jelas bahwa meski sangat mirip, wanita itu bukan Aira. Harapannya hancur, tersapu oleh kenyataan pahit. Wanita itu tersenyum kecil, seolah memahami keterkejutan Abi. "Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu," katanya lembut. "Saya hanya ... ziarah di sini, dan tiba-tiba saya ...." Kanina, dengan polosnya, memandangi dan mengusap lembut wajah wanita itu. "Ibu," panggilnya dengan suara penuh harap. Wanita itu menggeleng pelan, dan senyum simpulnya mencerminkan kesedihan yang tak terucapkan. "Bukan, Sayang," jawabnya lembut. Abi cepat mengusap air mata yang kembali mengalir. Dia berjongkok, meraih Kanina—membawanya ke dalam gendongannya—memeluk Kanina erat-erat, seolah memeluk seluruh dunia yang kini terasa runtuh di sekelilingnya. "Bukan Ibu, Kanina. Kita pulang, ya. Ayah ada di sini, Kanina," bisiknya. “Ayah akan selalu di sini untukmu.” Tangis Kanina pecah mendengar bisikan itu, memeluk leher Abi dengan erat seraya menggeleng. Abi memejamkan mata, mencoba menenangkan perasaannya yang kini dipenuhi penyesalan dan kesedihan yang mendalam. “Maafkan anak saya,” kata Abi. “T—tidak masalah, Pak. Kalau begitu s—saya permisi—” “Ibu jangan tinggalin Kanina,” tangis Kanina kembali pecah berusaha meraih wanita itu yang merasa iba dengan keadaan Kanina saat ini. “Ibu … tolong … jangan tinggalkan Kanina, Ibu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN