"Maaf, Kanina memang ... baru kehilangan ibunya," ucap Abi dengan suara bergetar.
“Oh yang cantik ini namanya Kanina, ya? Kanina mau bermain sebentar dengan Tante?" Kanina tersimpuh malu, lalu mengangguk penuh semangat.
“Ayah, mau main di taman sama Ibu,” kata Kanina. Abi menatap wanita yang Kanina panggil ibu—menuntunnya masuk ke dalam mobil setelah mendapat anggukan tanda setuju dari wanita yang bernama Bintang.
“Kanina tetap duduk di car seat,” titah Abi dan Kanina mengangguk patuh.
“Ibu duduk di belakang dengan Kanina ‘kan, Yah?” Bintang menyeringai saat Abi kembali menatapnya.
“Iya, tantenya dengan Kanina di belakang,” jawab Abi.
Kanina yang biasanya pemalu dengan orang asing saat ini sedang bergelayut manja dengan Bintang—memeluknya erat. "Ibu!" seru Kanina dengan mata berbinar—mengusap sayang wajah Bintang. Abi yang duduk di kursi kemudi tertegun melihat keduanya dari kaca spion. Bintang memiliki kemiripan luar biasa dengan almarhumah istrinya. Meski ada perbedaan, tapi ekspresi lembut di wajahnya, senyumnya yang menenangkan, dan sorot mata yang penuh kasih sungguh mengingatkan Abi pada Aira.
Suasana di mobil riuh dengan tertawa kecil dan celotehan Kanina yang saat ini tengah memamerkan tasnya yang berisi banyak mainan pada Bintang. Wajah anak kecil itu terlihat lucu di mata Bintang. Mata, hidung dan bibirnya masih memerah karena menangis saat melihat Bintang akan pergi. Bahkan di pelupuk matanya masih tersisa air mata.
“Sekali lagi saya minta maaf karena merepotkan kamu,” kata Abi, tapi Bintang menggeleng cepat tidak setuju.
Bintang mengatakan bahwa dia tidak merasa repot karena Kanina anak yang baik. Sebelum menuju taman kota, mereka menyempatkan diri singgah membeli es krim kesukaan Kanina.
***
Abi membisu, tapi penuh rasa syukur melihat Kanina tersenyum lagi setelah sejak kemarin diliputi kesedihan. Bintang pun tampak antusias bermain dengan Kanina di taman kota. Keduanya sesekali bergantian saling menyuapi es krim, sementara Abi hanya berdiri di kejauhan, memperhatikan dengan mata yang tak lepas dari sosok wanita yang tampaknya telah membawa secercah cahaya ke dalam dunia gelap mereka.
Saat asyik bermain di taman, tiba-tiba langit yang tadinya cerah berubah gelap, dan hujan turun dengan deras tanpa tanda-tanda. “Yeay! Hujan,” pekik Kanina tertawa riang sambil melompat di bawah hujan. Bintang yang berada di dekatnya berusaha melindungi Kanina dari hujan deras—menggendongnya—berlari ke arah mobil.
Abi yang menyadari hujan segera mengambil payung di mobilnya. Tanpa berpikir panjang, dia berlari kecil menuju Bintang dan Kanina yang masih berlari.
“Maaf, Ayah terlambat. Kanina sudah basah begini,” kata Abi. Kanina dan Bintang tertawa kecil sementara Abi terlihat khawatir. "Ayo, masuk ke dalam mobil!" seru Abi dengan suara tegas, tapi penuh perhatian, sambil memayungi Bintang dan Kanina.
“Ada apa?” tanya Abi melihat Bintang sesekali menatapnya.
“Bapak juga basah,” kata Bintang mengarahkan posisi payung hingga semuanya berada di bawah payung.
“Ibu, bukan Bapak, tapi Ayah,” koreksi Kanina, nada bicaranya kurang jelas, tapi Bintang mengerti maksud Kanina membuatnya menyeringai segan.
"Kanina sini pindah ke depan sebentar. Ayo, ganti baju biar nggak masuk angin," kata Abi lembut. Namun, ketika Abi bersiap menyambut sang anak, gadis kecil itu menggeleng dengan cepat. "Ayah, Kanina mau ganti baju dengan Ibu," pintanya dengan suara manja, matanya menatap Bintang penuh harap.
Abi terdiam sejenak, merasa sedikit canggung. Namun, dia lalu menoleh ke arah Bintang yang juga tengah menatapnya dengan senyum tipis di bibirnya. "Tidak masalah?" tanyanya dengan nada penuh pengertian.
Bintang mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja, biar Tante bantu." Abi menyerahkan pakaian ganti untuk Kanina kepada Bintang. Dengan hati-hati, Bintang membawa Kanina mendekat dengannya—mulai membantu berganti pakaian. Kanina tampak nyaman dan ceria, tertawa kecil setiap kali Bintang berbicara dengannya.
Sementara Abi sesekali melihat interaksi keduanya dari kaca spoin. Saat Bintang selesai membantu Kanina berganti pakaian, Abi baru menyadari bahwa pakaian Bintang sendiri juga basah. Meskipun tidak sepenuhnya basah, pakaian itu menempel di tubuhnya, memperlihatkan bentuk tubuhnya dengan jelas di bawah pakaian yang tipis.
Abi menelan ludah, merasakan detak jantungnya meningkat. "Pakaianmu basah juga. Sebentar …." Abi mencari pakaiannya di dalam tas miliknya, kemudian mengulurkan kemeja berwarna gelap miliknya pada Bintang.
Bintang tersenyum dengan sedikit kikuk, tapi menerima kemeja itu. "Tapi …," jawabnya ragu.
Menangkap kegugupan Bintang, Abi tersadar dan dengan cepat menawarkan solusi, "Saya keluar dulu, biar kamu bisa ganti pakaian dengan nyaman."
Namun, Bintang cepat menolak, wajahnya masih menyiratkan ketidaknyamanan. "Tidak perlu, Mas. Eh, Pak. Sebentar lagi saya juga akan pergi,” kata Bintang membuat Kanina cepat memeluk Bintang seolah paham maksud wanita itu.
“Ibu jangan pergi, tidak boleh!” katanya membuat Bintang dan Abi beradu pandang.
Bintang menenangkan Kanina yang terus merengek. Abi terdiam sejenak, mencoba memahami alasan Bintang, kemudian berkata, “Pakaianmu itu basah, bagian dalam tubuhmu saja kelihatan jelas."
Seketika itu juga, wajah Bintang memerah, merasa malu dengan kata-kata Abi yang terlalu terus terang. "Pak!" Bintang memekik kecil, menutup bagian depan tubuhnya dengan tubuh Kanina sementara kedua tangannya menutup telinga anak kecil di pangkuannya, rasa malunya semakin menjadi. Tatapannya melirik ke arah jendela mobil, berharap bisa segera keluar dari situasi ini.
“Saya bicara apa adanya. Atau lebih baik kamu pakai jaket ini saja,” tawar Abi memberikan jaketnya pada Bintang.
Suasana di dalam mobil berubah menjadi sunyi. Abi pun merasa bersalah, tapi ada rasa lega karena bisa mengungkapkan kekhawatirannya. Sementara itu, Bintang masih memeluk Kanina yang duduk di atas pangkuannya, berharap momen canggung itu berlalu.
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Langit mulai berubah warna, memancarkan gradasi oranye dan ungu yang menenangkan. Kanina akhirnya terlelap di pangkuan Bintang, nafasnya tenang, matanya terpejam dengan senyuman kecil menghiasi wajahnya yang polos. Abi yang sejak tadi hanya diam mengamati, merasakan beban yang sedikit terangkat dari dadanya. Meski masih terasa aneh, kehadiran Bintang memberi kehangatan yang berbeda.
"Saya rasa, saya harus pergi sekarang," ucap Bintang perlahan sambil membelai rambut Kanina.
Abi merasa ada dorongan kuat untuk menghentikannya, tetapi kata-katanya tersekat di tenggorokan. "Terima kasih," akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. "Terima kasih untuk hari ini ... untuk membuat Kanina tersenyum."
Bintang tersenyum lembut. "Senang bisa membuat hari kalian sedikit lebih baik. Saya pindahin Kanina ke car seat, nggak apa-apa?"
“Iya, di car seat saja,” balas Abi tanpa menoleh.
“Sekali lagi terima kasih dan mohon maaf merepotkan,” kata Abi dan Bintang hanya tersenyum segan—menganggukkan kepalanya.
Saat Bintang bangkit dan berjalan pergi, Abi terus memandanginya. Langkah-langkahnya yang tenang seolah meninggalkan jejak ketenangan di hati Abi yang masih berduka. Namun, saat jaraknya semakin jauh, kesadaran tiba-tiba menyambar Abi seperti kilat di siang bolong.
"Kenapa nggak tawarin antar pulang, ya?” Abi kesal sendiri, merasa tak berguna sebagai lelaki. Dia mengusap kasar wajahnya.
Kini dia kembali tersadar, dia bahkan tidak bertanya nama wanita itu. “Kita bahkan belum saling mengenal," gumamnya sendiri, setengah berbisik, setengah berteriak.
Dia ingin mengejarnya—menyalakan mobilnya, tapi kakinya seperti tertahan. Apakah pantas, di hari pemakaman istrinya, dia memikirkan wanita lain? Namun, ada sesuatu pada Bintang yang membuatnya merasa ... hidup lagi, meski hanya sejenak. Pikiran itu mengusik hatinya, seperti pertanyaan yang belum terjawab.
"Apakah ini jawaban dari Tuhan untukku?" tanyanya dalam hati. Seolah ingin mencari alasan untuk mengejarnya. “Mungkinkah kami akan bertemu … lagi?”