Bab 4 : Cemburu?

1296 Kata
Keceriaan Kanina kembali, terlihat jelas dari tawanya yang menggemaskan dan celotehannya yang riang. Abi hanya bisa mengamati dari kejauhan, merasakan perasaan hangat yang tumbuh di hatinya setiap kali melihat interaksi antara Bintang dan putrinya. Ia tak bisa menyangkal, ada sesuatu tentang Bintang yang membuatnya teringat pada Aira—bukan sekadar wajah atau sikap, tapi kehangatan dan kepedulian yang tulus. Kini pandangan Bintang jatuh pada Abi. Dia pun mendekat membuat Abi sedikit salah tingkah. “Pak Abi kalau mau kembali bekerja silahkan dilanjutkan saja kegiatannya. Kanina sudah ceria, saya rasa dia sudah bisa ditinggal. Siang nanti bisa dijemput kembali,” terangnya. “Oh iya, tapi saya tidak bekerja, maksudnya saya—” “Zaman sekarang memang sulit mendapat pekerjaan. Saya doakan semoga disegerakan, ya, Pak," timpal Bintang tanpa tahu bahwa Abi adalah seorang CMO (Chief Marketing Officer). “Oh, maaf, Pak. Bagaimana kalau Pak Abi menunggu di kafetaria? Ada orang tua murid juga yang menunggu anaknya di sana,” lanjutnya. Abi melirik ke arah Bik Tari yang sedang mengulum senyumnya. “Terima kasih, Miss,” balas Abi, menganggukkan kepalanya ketika Bintang meninggalkannya. “Ada yang lucu, Bik?” tanya Abi sinis, sementara ART-nya berusaha menahan tawanya. “Nggak, Den, maaf. Kita jadi ke kantin, Den?” tanya Bik Tari berusaha mengalihkan pembicaraan. Abi menjelingkan matanya jengah—berjalan lebih dulu meninggalkan Bik Tari. Beberapa langkah dia membalikkan badannya—berkacak pinggang seraya berkata, “Memangnya saya terlihat seperti pengangguran, Bik? Maksudnya wajah saya yang tampan ini tidak terlihat seperti CMO?” tanyanya membuat Bik Tari tak dapat menahan tawanya. “Maaf, Den. Den Abi tentu tampan. Sepertinya Miss Bintang perlu kaca mata,” bela Bik Tari. “Nah, benar. Dia yang perlu kaca mata, tidak sopan,” gerutu Abi kembali melanjutkan langkahnya. *** “Tidak mau! Pokoknya Ibu harus ke rumah Kanina, titik!” rajuk Kanina pada Bintang. Dua minggu berlalu, Kanina tidak mau jauh dari Bintang. Sejak bertemu kembali dengan wanita cantik itu di playground, ia langsung merasa nyaman dan seolah menemukan sosok ibu yang selama ini dirindukannya. Abi memperhatikan kedekatan mereka dengan rasa campur aduk. Ia senang karena Kanina akhirnya bisa tersenyum dan ceria lagi, tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang mengusik hatinya segan karena selalu merepotkan Bintang. Meski Bintang pun dengan sabar memenuhi keinginan Kanina yang selalu ingin bersama dengannya. Setiap pulang sekolah, Kanina sering meminta Bintang untuk mengantar ke rumah. Tak jarang, Bintang datang berkunjung ke rumah Abi hampir setiap hari. Hal ini membuat hubungan Abi dan Bintang semakin dekat, bahkan Abi mulai tahu lebih banyak tentang keluarga Bintang. Sebelumnya Abi mengira, Bintang adalah jawaban dari Tuhan untuknya atas pertanyaannya dulu. Namun, mengingat first impression mereka saat bertemu kembali, Abi jengah dengan Bintang yang semena-mena menilainya. Abi adalah seorang CMO di sebuah perusahaan keluarganya yang terkenal di Bandung. Dia terpaksa menyembunyikan identitasnya dari Bintang setelah mengetahui dari rekan guru bahwa Bintang anti menjalin hubungan dengan orang dari kalangan teratas. Bintang mengerutkan keningnya, matanya membulat sempurna memberi isyarat ke arah Abi yang mengedikkan bahunya tidak mau ikut-ikutan. “Pak,” protesnya. Abi mengulum senyum melihat betapa frustasinya Bintang. Tidak hanya Kanina, sejujurnya Abi juga merasa nyaman dan kagum pada guru sang anak hingga sempat terbesit melihat ini bagai sebuah peluang untuk mendekati Bintang, menjadi celah untuk bisa lebih mengenalnya. “Besok Miss ke rumah Kanina, ya. Hari ini Miss ada janji dengan seseorang,” kata Bintang. Sebuah motor besar berhenti tepat di hadapan mereka—memanggil Bintang dengan panggilan sayang. Tanpa mengenalkan lelaki itu, Bintang berpamitan saat Kanina lebih tenang dalam gendongan Abi. Hal itu menarik perhatian Abi—melihat keduanya berlalu menjauh. “Ayah, kenapa Ibu peluk Om tadi?” tanya Kanina dengan mata berkaca-kaca. Sesampai di rumah Kanina masih menangis karena sejak tadi Kanina menghubungi Bintang, tapi tidak di angkat. Melihat putrinya sedih, Abi mencoba menghiburnya. “Miss sudah bilang ‘kan besok ke rumah kita? Sabar, ya. Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja? Kita beli es krim,” usulnya. Kanina pun mengangguk pelan, menyetujui saran Abi meskipun matanya masih basah oleh air mata. Abi membawa Kanina ke sebuah mal berharap putrinya bisa melupakan kesedihannya sejenak. Abi mencoba mengalihkan perhatian Kanina dengan mengajaknya bermain dan membeli es krim untuknya. Di tengah suasana yang ceria itu, mereka melihat seseorang yang sangat dikenali yaitu Bintang. Namun, kali ini Bintang tidak sendiri. Ia tampak bersama dengan pria yang mereka temui di depan sekolah tadi—memegang tangannya dengan mesra. Kanina yang semula bersemangat, mendadak terdiam. Abi juga terkejut, tetapi ia mencoba bersikap biasa saja. Melihat Bintang, Kanina berlari ke arahnya seraya memanggil Bintang, lalu memeluknya. “Ibu.” “Kanina! Pak Abi!” sapa Bintang, terkejut. Abi mengangguk segan, sementara Kanina masih betah di pelukan Bintang. “Oh, ya, Pak Abi. Ini Zafran,” katanya memperkenalkan pria di sampingnya. “Mas kenalin ini Pak Abi dan Kanina,” lanjut Bintang. Pria itu mengulurkan tangan dan menyapa dengan ramah. Kemudian Bintang menjelaskan kalau Kanina adalah muridnya. Senyum di wajah Kanina hilang. Mata kecilnya berkaca-kaca saat mendengar kata-kata Bintang. “Kanina anak Ibu,” gumamnya pelan, tetapi cukup jelas terdengar oleh Abi dan Bintang yang beradu pandang. “Zafran, saya calon suami Bintang, Pak,” ujar Zafran. Abi mengangguk paham. Dia menyadari perubahan di wajah putrinya. “Ayo, Kanina, kita jalan lagi,” katanya lembut sambil menggenggam tangan Kanina yang mulai dingin—menarik Kanina pelan. “Kami permisi, Miss Bintang,” ucap Abi sebelum pergi. “Ibu,” lirih Kanina enggan berpisah, tapi Abi segera menggendong putrinya menjauh. Mereka pun memisahkan diri, melanjutkan kegiatan mereka berdua. *** Di perjalanan pulang, Abi masih terus mencoba menghibur Kanina yang masih diam dan tampak sedih. Mereka hendak singgah membeli buah tangan untuk Bik Tari, martabak kesukaan ART-nya. Namun, tiba-tiba mata Abi menangkap sesuatu yang tidak terduga. Di seberang jalan, ia melihat pria yang tadi diperkenalkan sebagai calon suami Bintang, Zafran, sedang bersama wanita lain. Mereka terlihat sangat akrab, seperti pasangan yang sedang jatuh cinta. Di mana Zafran mengecup punggung tangan dan kening wanita di hadapannya. Abi tertegun sejenak, mencoba memastikan apa yang dilihatnya. Wanita itu tertawa sambil menggandeng Zafran, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Hati Abi berdesir. Dengan segera dia menghubungi Bintang. “Halo, Pak Abi. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Bintang lebih dulu. “Kamu di mana?” tanya Abi tanpa membalas sapa dari Bintang. “Pak Abi?” Nada bicara Bintang terdengar bingung mendengar cara bicara Abi yang begitu santai dari biasanya, tapi terdengar tegas. “S—saya di halte mau pulang. Ada apa ya, Pak?” Bintang menjelaskan pada Abi setelah dipaksa, mengatakan bahwa dia berpisah dengan sang kekasih karena Zafran mendapat panggilan telepon untuk menjemput mamanya. Abi mengatakan kalau dia akan menjemput Bintang, memaksa Bintang untuk memberi tahu keberadaannya saat ini. Semula Bintang menolak, tapi pada akhirnya dia tetap memberi tahu keberadaannya pada Abi. Tidak butuh waktu lama Abi tiba di sebuah halte—meminta Bintang masuk ke dalam mobilnya membuat Bintang bingung karena melihat Kanina tidur di car seat-nya dengan lelap. “Pak ini sebenarnya ada apa, ya?” tanyanya bingung. Abi menghela napas. "Sebaiknya kamu putuskan saja kekasihmu itu," kata Abi membuat Bintang bingung. Ada jeda hingga akhirnya Bintang tertawa. "Sebentar, Bapak datang hanya untuk bicara ini saja?” “Saya melihat kekasih kamu bersama wanita lain. Saya pikir dia bukan lelaki baik-baik, jadi sebaiknya kamu—” “Sepertinya Pak Abi salah paham, Zafran sedang menjemput mamanya,” jawab Bintang dengan tenang. “Sebaiknya, Pak Abi pulang—” Abi mengembuskan napas panjang mendengar kalimat Bintang. “Saya tidak akan capek-capek jauh ke sini jika yang saya lihat itu salah. Kekasihmu bersama wanita lain, dia bahkan berpegangan tangan dan mencium—” “Stop! Pak Abi tidak berhak mengatai calon suami saya. Kita bahkan tidak seakrab itu, jadi jangan campuri urusan saya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN