Rencana 2 Ibu

1171 Kata
Maria terperangah mendengar perkataan Ansell, ia bingung harus berkata apa dihadapan Ansell. "Iiih itu kan mau nya kamu," sahut Maria dengan wajah masam. Ansell tertawa dengan reaksi Maria, ia makin gemas ini menganggu Maria. "Maria, kamu masih kuliah?" tanya Ansell. "Iya." "Besok kamu ada acara ga?" "Ga ada. Memang kenapa?" "Aku udah lama banget nih ga di Madrid, pengen jalan aja menikmati kota ini." "Ooh iya kamu di New York yaa selama ini." "Iya, besok bisa ga kamu menunjukan tempat-tempat indah disini." "Hmm, nanti deh aku pikirin. Aku memang lagi libur kuliah sih." "Besok berarti jadikan...." "Eh, aku kan belum setuju, kamu kok main iya-in aja." Ansell tertawa lagi, ia semakin penasaran dengan Maria. "Kalau gitu sekarang aja gimana?" Ansell berdiri dan menarik tangan Maria. "Eeh, tunggu." Maria akhirnya ikut berdiri karena tarikan tangan Ansell. Ansell dengan santai menggengam tangan Maria, Maria tidak merasa keberatan.  "Kita mau kemana?" tanya Maria. "Kemana aja asal sama kamu." "Idiih, apaan sih gombal banget. Ga lucu." "Siapa juga yang mau melucu, aku cuma ngomong aja." "Nyebelin!" Maria pergi meninggalkan Ansell, tapi Ansell tetap mengikuti Maria. "Ga usah ikutin aku deh." "Siapa juga yang ngikutin kamu, aku mau kearah sana." Maria melihat Ansell dengan kesal, ia baru pertama kali bertemu dengan laki-laki model seperti Ansell. "Ayo jalan, jangan cemberut gitu," goda Ansell lalu mencium pipi Maria. "Eh, ga sopan yaa cium-cium pipi aku!" "Kan cuma pipi, apa kamu mau bibir lagi kayak malam ini?" ujar Ansell sambil menaik turunkan alisnya. Maria tak sanggup berkata-kata lagi, Ansell memang pria yang menggoda. Seandainya ia belum memiliki kekasih Exel pasti terpesona dengan Ansell. Maria dan Ansell berjalan berdua menikmati kota Madrid, Spanyol. Mereka pergi ke Plaza Mayor, alun-alun yang berbentuk persegi panjang terletak di pusat kota Madrid. "Ayo Maria, jangan lemes gitu," ujar Ansell yang melihat Maria seperti kelelahan. "Panas," keluh Maria. "Biar kamu sehat, kamu jarang olah raga ya." "Enak aja! Aku tuh sering olah raga." "Serius... kok aku ga percaya. Jangan-jangan olah raga diranjang lagi." "Yaa ampun, Ansell. Kamu yaa jangan suka mancing-mancing." Ansell menarik Maria dihadapannya, Maria kaget saat ia berada didekapan Ansell. "Matamu indah," ujar Ansell melihat lekat mata Maria, menyentuh dengan lembut rambut wanita yang tersipu malu dihadapannya. Maria merasakan jantungnya berdetak lebih kencang, Ansell membuat hatinya kelelahan. Jantungnya bagikan berlari-lari marathon didalam tubuhnya. "Mau olah raga ranjang sama aku," ucap Ansell lembut. "Kamu m***m Ansell. Kita baru dua kali ketemu, jangan harap yang lebih." "Kamu ini pikirannya yang m***m, maksud aku tuh olahraga ranjang sit up, crunch, gerakan half bridge, donkey kick semua bisa dilakukan diatas ranjang untuk kaum rebahan yang males ke gym kayak kamu." "Ooh..." bibir Maria mengkerucut, ia sudah salah sangka. "Tapi kalau kamu ingin olahraga ranjang yang lain yang bisa bikin sehat dan enak, aku siap melakukannya," bisik Ansell ditelinga Maria lalu menenggelamkan kepalanya di curuk leher Maria. Desiran aneh menyeruak di dalam tubuh Maria, ia menutup matanya. Ansell berhasil membangkitkan gairahnya yang meronta-ronta ingin diperlakukan lebih dari pada ini. Maria mendorong tubuh Ansell, ia tak sanggup bila Ansell terus menerus menggodanya. "Kamu kenapa?" tanya Ansell sambil tersenyum jahil. "Jangan kayak gitu yaa, aku... aku..." "Kamu kenapa? Pengen lebihkah?" "Ansell, maaf aku sudah punya kekasih," ujar Maria dengan suara pelan. "Kamu sudah punya kekasih?" tanya Ansell. "Iya." "Aku mengerti mana mungkin gadis secantik dan sexy kayak kamu tidak memiliki kekasih, tapi tenang aja aku ga peduli. Selama lonceng gereja belum berbunyi, aku ga akan menyerah." Maria tak percaya mendengar perkataan Ansell, ia mengira Ansell akan mundur jika mengetahui dirinya memiliki kekasih, tapi pria ini bukan pria yang mudah menyerah dan hal tersebut membuat ia tertarik.  "Aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihatmu, Maria." Ansell menyentuh wajah Maria dengan lembut, mendekatkan bibirnya didepan bibir Maria. Mencium bibir Maria dengan lembut, desiran angin yang bertiup sepoi-sepoi di Plaza Mayor membuat suasana menjadi berbeda.  Maria bingung harus melakukan apa, membalas ciuman Ansell atau tidak. Keadaannya sekarang berbeda bukan dalam pengaruh minuman beralkohol lagi. Maria yang bingung harus membalas atau tidak ciuman Ansell. Akhirnya memutuskan untuk menutup matanya membalas ciuman Ansell. Bagi Maria tidak ada masalah jika hanya sebuah ciuman dan tidak lebih dari itu.  Mereka saling berciuman dengan lembut, indra pengecap Ansell dan Maria saling bertautan. Maria sangat menikmati ciuman Ansell yang berbeda dengan ciuman Exel, kekasih Maria.  "Aku ingin memilikimu jika kamu membuka dirimu untukku, Maria. Kamu gadis yang sangat spesial, matamu sangat indah. Aku akan menjadi pria yang paling beruntung di dunia ini, jika bisa menjadikanmu pendamping hidupku."  Namun, Maria hanya terdiam. Ia mencoba mencari kebohongan dimata Ansell, tapi tak menemukannya. Pria itu benar-benar berkata dengan jujur dan tatapan matanya terlihat tulus.  Pipi Maria bersemu merah. Ia merasa tersanjung mendengar perkataan Ansell. Exel tidak pernah berkata seperti itu padanya dan baru pertama kali ada pria yang begitu memujanya. "Cantik kenapa diam aja? Apa kamu tau kalau kamu itu bertambah cantiknya jika pipimu merona seperti itu?"  Mendengar perkataan Ansell semakin membuat Maria malu. Laki-laki itu benar-benar tahu cara memperlakukan wanita.  "Dari pada kamu cuman diam dan malu-malu kucing begitu. Ayoo kita jalan lagi, jangan ciuman terus nanti bisa keterusan. Tapi kalau kamu mau yang lebih lanjut aku selalu siap sedia untukmu."  "Iih, dasar genit." Maria tertawa mendengar perkataan Ansell, lelaki ini benar-benar mempesonanya. Setelah beberapa saat mereka pun kembali ke restoran. Sudah ada Liana dan Eliza yang menunggu mereka berdua dengan tersenyum penuh arti.  "Maaf Ma, tante Eliza kami terlambat," ujar Ansell dengan sopan. "Ooh... ga apa-apa Ansell, kami berdua juga baru sampai kok," ujar Eliza sambil senyum-senyum melihat Ansell dan Maria saling berpegangan tangan. Maria menyadari tatapan Mama nya lalu melepaskan tangan Ansell. Ia jadi salah tingkah dihadapan Liana dan Eliza. "Liana sepertinya berhasil," bisik Eliza. "Iya Liza," balas Liana. "Yaa udah deh kalau gitu aku mau pulang dulu yaa Liana. Sampai ketemu besok malam, say," ucap Eliza. "Ok, Liza. Sampai ketemu lagi." Maria dan Ansell berpamitan, Ansell berbisik pada Maria, "Jangan lupakan aku." Maria hanya tersenyum, terbesit perasaan bersalah pada Exel.  Maria dan Eliza sudah berada dirumah mereka. Saat berada dirumah Eliza menanyakan tentang Ansell pada Maria. "Gimana Ansell?" tanya Eliza. "Baik Ma." "Sopan ga?" "Hmm... sopan kok Ma." Sopan banget sampe suka cium aku, tapi enak sih ciumannya. "Akh, senengnya. Ansell itu mandiri banget loh Mar, dia sering diperlakukan ga adil oleh om nya sendiri. Mama ingin sekali mempunyai menantu yang hebat dan mandiri seperti Ansell." "Yaa udah kawinin aja sama kak Mario." "Hust, sembarangan aja kamu ini. Mama ingin menjodohkan kamu dengan Ansell." "Apa? Waah jangan gitu dong Ma. Papa pasti ga setuju loh." "Udah nurut aja, papamu juga udah tau dan ga keberatan. Mama dan papa paling tau kebahagiaan kamu. Mama yakin kamu akan lebih baik lagi dengan Ansell." "Ma, tapi aku–" "Kamu anak yang baik sayang, kalau kamu memiliki kekasih akhiri hubunganmu. Ansell pria yang berbeda dan mama yakin kalian akan hidup bahagia." Maria hanya diam, ia tau maksud Mamanya baik. Ia juga yakin Ansell dan tante Liana juga orang yang baik, tapi bagaimana dengan perasaannya. Ia memang tertarik pada Ansell, ia juga memiliki kekasih. Maria bingung sendiri harus bagaimana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN