Bab 7 - Acara Makan Malam

1791 Kata
“Masuk dulu yuk, ketemu orang tuaku. Mama katanya kangen banget sama kamu. Wira juga ada di rumah,” ajak Sasmita ketika motor Barra sampai di depan gerbang sebuah rumah megah bercat putih dengan halaman luas. Sasmita turun dari motor Barra dan mengembalikan helm putih yang khusus laki-laki itu siapkan untuk Sasmita, terutama kalau mereka sedang pergi berdua seperti ini. “Nggak apa-apa? Tadi kan Wira nyuruh kamu pulang cepat,” tanya Barra memastikan, karena—selama mereka menjalin hubungan hingga sekarang ini—apabila Wira meminta Sasmita untuk cepat pulang, biasanya akan ada sesuatu hal atau acara penting. “Iya, nggak apa-apa. Ayo masuk. Motor kamu juga dibawa masuk aja, nanti parkir di depan garasi,” ujar Sasmita seraya meminta Pak Marto untuk membuka gerbang. Barra mengangguk dan menuntun motornya masuk setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Marto. “Wah, Mas Barra apa kabar? Udah lama nggak main ke sini, sibuk ya, Mas?” tanya Pak Marto. “Kabar saya baik, Pak. Bapak sendiri bagaimana kabarnya? Sehat kan, Pak? Iya nih, Pak saya lagi sibuk ngurusin kafe soalnya makanya jarang main ke sini,” jawab Barra. Sifatnya yang ramah membuat laki-laki itu bisa cepat akrab dengan para pekerja di rumah Sasmita. “Papa ada di rumah kan, Pak?” tanya Sasmita. “Ada, Mbak. Pak Roy baru saja pulang ngantarin Bu Sekar belanja,” jawab Pak Marto. “Oh, kalau gitu kami permisi masuk dulu ya, Pak.” Sasmita menarik lengan Barra, melewati jalan setapak kecil yang ada di halaman menuju rumah. Namun, Barra tiba-tiba menahan tangan Sasmita. “Sebentar, ini penampilanku gimana? Udah rapi, belum? Udah—” “Astaga, Barra kamu ini kebiasaan setiap ke rumahku pasti nanya gini. Kamu itu udah rapi, Bar, udah ganteng juga. Udah ah ayo masuk,” ujar Sasmita seraya melingkarkan tangannya pada lengan Barra. Ruang tamu bernuansa putih dengan perabotan-perabotan berharga fantastis menyambut sepasang kekasih itu tepat setelah Sasmita membuka pintu. Sebuah foto keluarga berukuran besar terpajang di salah satu sisi dinding. Sasmita meminta kekasihnya duduk di ruang tamu, sedangkan ia masuk dan mencari ibunya. Ia menemukan Sekar di dapur bersama Asisten Rumah Tangga mereka. Ada Wira juga di sana. “Ma, ada Barra di depan,” ujar Sasmita saat sudah berdiri di samping Wira. Sekar yang semula sibuk dengan masakannya pun seketika menoleh, begitu juga dengan Wira. Raut bahagia terpancar jelas di wajah wanita yang memakai apron bermotif bunga-bunga. “Wah, calon mantu Mama di depan? Sebentar, Mama buatkan minum dulu. Eh, kalian sudah makan, kan?” Sasmita mengangguk cepat. “Kalau gitu, itu di sana tadi Mama habis bikin cookies, sekalian kamu suguhkan juga ke Barra,” perintah Sekar. Begitulah Sekar setiap kali Barra datang ke rumah. Wanita itu pasti selalu antusias dan menjamu Barra selayaknya tamu kehormatan. Semua suguhan pasti akan disajikan untuk laki-laki yang beliau sebut sebagai calon mantu itu. “Papa di mana, Ma?” “Papa kayaknya masih di ruang kerja, coba kamu panggil.” Sasmita mengangguk dan bergegas mencari sang ayah. Takut Barra kelamaan menunggu juga. Namun, begitu Sasmita sampai di ruang kerja ayahnya, ruangan tersebut kosong. Di atas meja hanya ada sebuah cangkir berisi ampas kopi yang pria itu minum. Tak mau menunggu lama, Sasmita segera keluar dan dugaannya benar kalau Roy ada di halaman belakang sedang bermain dengan burung-burungnya. “Pa!” Panggilan Sasmita sontak membuat pria itu menoleh. Burung mungil berwarna hijau muda dengan sedikit warna merah yang sedang dipegangnya pun dimasukkan kembali ke sangkar. “Oh, kamu sudah pulang? Sini bantuin Papa mandiin Leo,” ujar Roy seraya mengangkat sebuah alat semprot berwarna putih ke hadapan Sasmita. Roy kemudian menyemprotkannya pada burung hijau dengan corak merah, bernama Leo tadi. Sasmita mengambil alih semprotan tersebut dan menyemprotkannya pada Leo, burung tadi. “Pa, ada Barra di depan,” ucap Sasmita yang sukses menghentikan kegiatan mereka. “Ngapain laki-laki itu ke sini? Mau ngajakin kamu keluyuran lagi?” “Pa, bisa nggak sih jangan mikir yang negatif terus sama Barra? Barra nggak pernah ngajakin aku keluyuran, malah akunya yang sering ngajak dia pergi, jalan-jalan, segala macam.” “Ya itu karena kamu sudah terkena pengaruh buruk dari laki-laki itu. Padahal Papa tahu dulu kamu itu penurut, nggak pernah membangkang ucapan Papa, tapi apa buktinya sekarang, kamu lebih suka keluyuran nggak jelas daripada di perpustakaan kayak dulu.” Ini yang Sasmita tidak suka dari ayahnya. Ayah selalu mengungkit ini itu segala macam dan suka membanding-bandingkannya. Dulu begini, sekarang begini. Sasmita tidak suka dibanding-bandingkan. Apalagi jika semua berhubungan dengan Barra. Sikap Roy kepada Barra sangat berbanding terbalik dengan sikap Sekar pada Barra. Jika Sekar dengan sangat antusias menyambut kedatangan laki-laki yang seumuran dengan kakaknya itu, Roy justru secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Barra. Roy selalu menunjukkan raut wajah tidak bersahabat setiap kali berhadapan dengan Barra. “Pa, udah ya aku lagi nggak mau debat sama Papa. Sekarang kalau Papa mau ke depan menemui Barra, ya silakan. Kalau nggak mau, ya nggak apa-apa, lagian udah ada Mama sama Wira yang di depan,” jawab Sasmita akhirnya. Alat semprotnya tadi hanya diletakkan asal di lantai dan ia beranjak pergi. Sesaat Sasmita tersenyum lega ketika mendapati Barra sedang mengobrol dengan Wira dan ibunya. Beberapa kali terlihat ibunya tertawa karena—mungkin—lelucon yang Barra lontarkan, atau bisa jadi ibunya menertawakan hal lucu dalam obrolan Barra dan Wira. Mereka selalu seperti itu. “Maaf ya, Bar, Papa lagi sibuk. Jadi nggak bisa nemuin kamu,” ujar Sasmita seraya mendaratkan tubuhnya di samping Sekar. “Oh, ya udah nggak apa-apa. Mungkin kerjaan Om Roy lagi banyak dan nggak bisa ditinggal. Jadi, ya nggak apa-apa. Lagi pula, aku udah mau pamit kok.” “Eh, kok buru-buru banget, kamu kan udah jarang banget main ke sini. Pulang nanti-nanti aja,” sahut Sekar. “Maaf, Tante, tapi coffee shop lagi ramai soalnya. Jadi, ya mau nggak mau saya juga ikut bantuin,” jawab Barra. Sekar mengangguk paham lalu menepuk bahu Barra. “Ya sudah nggak apa-apa, tapi kamu hati-hati, ya. Jangan ngebut di jalan. Oh ya, kamu juga harus sering-sering main ke sini. Nggak perlu pakai acara nungguin Sasmita yang ngajak. Kamu boleh ke sini kapan saja.” “Siap, Tante. Kalau begitu saya pamit dulu. Salam buat Om Roy. Sekali lagi saya minta maaf ya, Tan. Bro, gue balik dulu ya. Ta, aku pamit dulu ya. Nurut kamu kalau dibilangin sama Tante Sekar dan Wira.” “Lah, emang si Sasa ngapain, Bar?” “Biasa, ngeyel minta espresso, padahal tahu sendiri dia nggak bisa minum itu.” “Sasmita!” “Barra ih ngapain ngadu ke Maung, sih!” Tiga orang lainnya itu sontak tertawa melihat ekspresi kesal Sasmita. Tawa itu baru berhenti ketika Barra berpamitan lagi. Mereka bertiga mengantar Barra sampai ke depan dan baru masuk ketika motor yang dikendarai laki-laki itu keluar dari pekarangan rumahnya. Setelahnya Sasmita segera membereskan gelas dan piring yang tadi digunakan untuk suguhan dan membawanya ke dapur. Wanita itu juga menyempatkan diri membantu ibunya memasak untuk acara makan malam nanti. *** Sleeveless dress warna hitam menjadi pilihan Sasmita untuk acara malam ini. Wanita itu terlihat cantik meski dengan riasan yang ia buat senatural mungkin. Bagi Sasmita, ini hanya acara makan malam biasa saja. Jadi, untuk apa ia berdandan menor? Lagi pula tamunya kan hanya Sakti dan keluarganya saja, bukan tamu penting seperti menteri atau Barra, kekasihnya. “Sayang, keluarganya Sakti udah datang. Ayo turun,” ujar Sekar dari ambang pintu kamar Sasmita. “Iya, Ma,” jawab Sasmita. “Mama tunggu di bawah, ya. Kamu jangan lama-lama,” ujar Sekar yang langsung dibalas anggukan oleh Sasmita. Sasmita mengecek lagi penampilannya. Setelah dirasa semuanya sudah sesuai, wanita itu segera turun. Tepat di empat anak tangga terbawah, semua pandangan mengarah padanya. Bahkan ia bisa melihat Sakti yang menatapnya tanpa kedip. Sasmita menghela napas pelan lalu melangkah menghampiri keluarga Sakti dan mengulas senyum yang semakin memikat Sakti. “Selamat malam semuanya. Selamat malam, Oom, Tante. Maaf menunggu lama,” sapa Sasmita pada pasangan suami istri yang duduk tepat di samping ayahnya dan tepat di hadapan ibunya dan Wira. Pasangan suami istri itu tidak lain adalah orang tua Sakti, namanya Nugroho Rahadi dan Riris Safira. “Selamat malam, Sasmita. Kamu cantik sekali malam ini. Tante jadi pangling lho,” ujar Riris. “Terima kasih, Tante. Tante juga nggak kalah cantik,” jawab Sasmita seraya mengulas senyum. “Ah, kamu bisa saja, Sas. Oh ya, maaf sekali ya, Dhana, adiknya Sakti tidak bisa hadir di acara makan malam ini karena sedang menjalani KKN di luar kota.” “Sayang sekali, ya. Ya sudah tidak apa-apa, lain waktu kita bisa adakan makan malam lagi dengan personil lengkap,” Sekar menyahut. Wanita itu kemudian mempersilakan semua orang untuk menikmati hidangan yang tersedia. Semua orang di meja itu terlibat pembicaraan. Para ibu membicarakan tentang masakan, dan sedikit menyinggung tentang anak-anak mereka dan suaminya. Sedangkan para bapak sibuk membicarakan tentang perusahaan, proyek terbaru, dan entah apa pun itu yang membuat Sasmita malas mendengarnya. Sasmita hanya sesekali menanggapi pembicaraan mereka, selebihnya ia malas dan lebih memilih menikmati makanan di hadapannya. Sakti yang sejak tadi mengamati pergerakan Sasmita pun sadar kalau wanita itu tidak nyaman dengan suasana sekarang, karena sejujurnya dia sendiri juga merasa tidak nyaman. “Bagaimana pekerjaanmu, Sas? Saya perhatikan kamu terlihat lelah,” tanya Sakti seraya menatap lurus pada Sasmita. Wanita itu mendongak dan mendapati Sakti menatapnya intens. Sasmita menghela napas pelan lalu mengangguk. “Lancar, hanya sedang banyak pekerjaan saja. Kamu sendiri?” “Oh pekerjaanku tentu saja lancar,” jawab Sakti. Dan perkataan Sakti setelahnya tidak Sasmita hiraukan. Yang ingin Sasmita lakukan sekarang hanyalah pergi dari acara makan ini dan kembali ke kamarnya. Hingga ucapan Roy membuatnya mendongak seketika. “Aku akan lebih senang kalau kita bisa jadi besan. Sasmita dan Sakti sangat cocok sebagai pasangan.” “Pa, tapi aku kan udah punya pacar. Sakti juga tahu itu. Benar kan, Sak?” sahut Sasmita. “Ya, saya tahu kalau Sasmita sudah punya pacar, tapi bukankah selama janur kuning belum melengkung, Sasmita masih bisa saya perjuangkan?” Kalau saja di ruangan ini hanya ada Sasmita dan Sakti saja, tentu Sasmita akan menyumpal mulut laki-laki itu dengan heels-nya. Sakti benar-benar menguji kesabarannya. “Kamu benar, Sak dan Om sangat setuju jika kamu ingin memperjuangkan Sasmita,” jawab Roy. Sasmita baru akan protes ketika dering ponselnya menyela pembicaraan. Sebuah nomor asing tertera di layar. “Maaf, saya permisi angkat telepon sebentar.” Tak lama kemudian Sasmita kembali dengan terburu-buru. Wajahnya terlihat panik. “Ada apa, Sas?” tanya Wira yang jadi ikutan panik melihat adiknya. “Barra kecelakaan, Kak. Aku mau ke rumah sakit. Maaf semuanya, saya harus pergi,” ujar Sasmita. “Biar aku yang antar, Sas,” ucap Sakti tiba-tiba, yang membuat semua orang menatapnya bingung. Sasmita yang semula kaget pun kemudian mengangguk. “Baiklah. Ayo.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN