Aroma obat-obatan bercampur cairan pembersih lantai yang menguar tajam, menyambut indra penciuman Sasmita. Namun, wanita itu mengacuhkannya dan tetap berlari menuju ruang Unit Gawat Darurat, sesuai informasi dari pihak rumah sakit tadi di telepon. Di belakangnya, Sakti berlari menyusul Sasmita.
Tepat saat keduanya sampai di depan UGD, seorang pria paruh baya berkacamata dengan jas putih serta stetoskop yang terkalung di lehernya keluar dari ruangan bersama seorang perawat.
“Dokter! Bagaimana keadaan Barra, Dok?” tanya Sasmita beruntun. Wanita itu sangat panik begitu mendengar kabar kalau kekasihnya kecelakaan.
“Apakah kalian keluarganya?” Dokter dengan tag nama Rahmad Sasono itu balik melontarkan pertanyaan.
Sasmita dengan cepat mengiakan pertanyaan tersebut. “Iya, kami keluarganya. Jadi, bagaimana keadaan Barra, Dokter? Apakah lukanya parah? Apa dia harus dirawat inap juga?”
“Sas, kamu tenang dulu biarkan Dokter menjelaskan dulu. Maaf, Dok, silakan dilanjutkan,” ujar Sakti menengahi.
“Begini, Pak, Bu, kecelakaan yang tadi dialami pasien menyebabkan pasien terjatuh dari motor hingga membentur aspal jalan dan pasien pingsan. Syukurlah pasien segera dilarikan ke rumah sakit sehingga cepat mendapat perawatan intensif, tapi Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir. Kami sudah mengecek kondisinya melalui X-Ray dan tidak ditemukan cedera serius. Pasien hanya lecet-lecet di beberapa bagian dan sedikit memar di tangannya. Setelah ini saya akan buatkan resep yang nanti bisa ditebus di apotek. Kalau begitu, kami permisi dulu. Mari.”
Setelah dokter tersebut pergi, Sasmita segera membuka pintu ruang UGD dan menemukan Barra yang sedang berusaha bangkit dari posisi tidurannya. Sasmita segera menghampiri laki-laki itu dan membantunya duduk. Wanita itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya memeluk Barra erat.
“Aku takut,” bisiknya tepat di telinga Barra. Sasmita terisak. “Aku takut kamu kenapa-kenapa, Bar.”
Barra melonggarkan pelukannya. Meski tangannya terasa sedikit ngilu, ia menuntun Sasmita duduk di tepi bed. Lalu Barra mengusap air mata di pipi Sasmita. “Aku baik-baik aja, Ta. Cuma lecet dikit doang ini, besok juga sembuh.”
Mendengar itu, Sasmita lalu memukul bahu sebelah kiri Barra, yang langsung membuatnya meringis kesakitan. “Eh, maaf, Bar aku nggak sengaja. Lagian kamu kenapa bisa kecelakaan kayak gini, sih? Setahuku Barra adalah orang yang hati-hati.”
“Emangnya kalau orang hati-hati, udah pasti dia nggak akan kecelakaan gitu? Enggak kayak gitu, Ta. Di jalan raya itu kan risikonya besar, kalau terjadi kecelakaan itu kemungkinannya hanya ada dua. Kita yang salah atau orang lain yang salah.”
“Terus kecelakaan yang kamu alami itu salah siapa? Salah orang lain, kan? Dia pasti yang nabrak kamu, kan?”
“Kalau menurut kepolisian, ya, kamu benar. Polisi menetapkan dia sebagai tersangka karena mengemudi dalam keadaan mabuk dan menerobos lampu merah.” Barra menjeda ucapannya. “Tapi, kalau menurutku, di sini aku juga salah karena kebut-kebutan di jalan raya.”
“Kamu ngapain kebut-kebutan di jalan?” Itu adalah respons pertama Sasmita setelah Barra menyelesaikan ucapannya.
“Aku sebenarnya harus ke panti malam ini karena ada urusan, tapi malah kecelakaan begini,” ucap Barra.
“Urusannya penting banget, nggak? Kalau iya, biar aku antar ke sana.”
“Enggak perlu, Ta. Urusannya nggak terlalu penting kok. Nanti aja biar aku yang telepon pihak panti pas udah sampai di rumah.”
“Oke. Kalau gitu mending sekarang kita pulang supaya kamu bisa istirahat. Aku sekalian mau tebus resep kamu,” ajak Sasmita seraya beranjak bangkit.
Namun, Barra malah menahan lengan Sasmita.
“Kamu kabur dari pesta?” tanyanya seraya meneliti penampilan Sasmita. Wanita itu memakai sleeveless dress warna hitam yang panjangnya hanya beberapa senti di bawah lutut.
“Dan leather jacket itu kayaknya aku baru pertama kali lihat kamu memakainya. Itu style baru untuk seorang Sasmita,” lanjutnya.
Sasmita tersentak lalu menunduk melihat penampilannya sekarang. Dalam hati ia merutuki kesalahannya ini. Bagaimana bisa, ia pergi menemui kekasihnya, tapi memakai jaket dari laki-laki lain?
Wanita itu bergerak melepas jaket yang dikenakannya, tapi suara Barra menahannya.
“Ngapain dilepas? Dress kamu tanpa lengan, kan? Udah dipakai aja nggak apa-apa. Nggak baik perempuan mengekspos anggota tubuhnya,” ujar Barra seraya menyunggingkan seulas senyum.
“Halo! Oh, maaf apakah saya mengganggu obrolan kalian? Saya hanya ingin menjenguk Barra saja.”
Suara Sakti seketika membuat sepasang kekasih itu menoleh ke arah pintu. Sasmita meringis, bisa-bisanya ia lupa kalau ke sini bersama laki-laki itu.
“Oh, Sakti. Terima kasih sudah menjenguk saya. Tenang saja, Anda tidak mengganggu kami. Tunggu, apa kalian datang bersama?”
Sakti baru akan buka mulut ketika suara Sasmita lebih dulu menyela.
“Barra, maaf. Aku tadi lagi ada acara makan malam dengan kolega Papa dan ada Sakti juga di sana. Sakti juga yang mengantarku ke sini dan meminjamkan jaket ini,” jelas Sasmita was-was. Ia tidak ingin Barra mengira yang tidak-tidak atau menuduhnya selingkuh. Sasmita tidak mau itu terjadi.
“Iya, tadi Sasmita panik setelah mengetahui kabar kalau Anda kecelakaan. Makanya saya berinisiatif mengantarnya sekaligus menjenguk Anda,” imbuh Sakti.
Di luar dugaan, Barra justru tersenyum. “Terima kasih sudah mengantar Sasmita dan menjenguk saya. Maaf, jadi merepotkan.”
“Tidak perlu minta maaf, saya senang bisa membantu orang lain.”
“Lebih baik kita pulang sekarang, biar kamu bisa langsung istirahat. Sakti, bisa antar kami ke apartemen Barra?”
“Bisa.”
Setelah mengurus biaya administrasi, Sakti membantu memapah Barra—laki-laki itu menolak saat Sasmita berniat mengambilkan kursi roda untuknya—ke lobi lalu pergi ke tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Tak lama kemudian, Sakti kembali dan mobil yang Sakti kemudikan melaju meninggalkan pelataran rumah sakit.
Butuh waktu lima puluh menit untuk sampai di apartemen Barra karena jalanan yang ramai dan macet di beberapa ruas. Barra mengajak Sakti untuk ikut masuk, tapi laki-laki itu menolak. Sakti memilih menunggu di parkiran apartemen dan membiarkan wanita yang dicintainya mengantar kekasihnya ke unit laki-laki itu. Meskipun dalam hati ia merasa sakit hati luar biasa.
“Makasih ya, Ta. Harusnya kamu nggak perlu lakuin ini lho. Aku jadi nggak enak sama orang tua kamu. Besok aku ke rumah kamu, ya.”
“Enggak! Aku nggak akan ngebiarin kamu keluyuran lagi dengan kondisi seperti ini. Nggak ada ke rumahku dulu, biar besok aku yang ke sini.”
“Oke-oke terserah kamu aja. Sekarang mending kamu pulang, kasihan Sakti di bawah nanti kelamaan nungguin kamu. Aku udah nggak apa-apa. Makasih, ya.”
“Ya udah aku pulang dulu. Kamu kalau ada apa-apa langsung kabarin aku. Bye, Sayang. Good night,” pamit Sasmita lalu mencium pipi kanan Barra.
“Bye. Good night too, My Little Girl,” balas Barra seraya merengkuh Sasmita dan mencium keningnya. Ia juga mengacak rambut Sasmita. “Hati-hati, Sayang.”
Sasmita mengangguk. Ia melambaikan tangannya dan berbelok ke lift untuk kembali ke turun. Sampai di bawah, Sasmita segera masuk ke mobil Sakti setelah sebelum itu, ia mengetuk kaca mobilnya.
“Terima kasih,” ucap Sasmita seraya memasang sabuk pengamannya.
Sakti yang baru saja menyalakan mesin mobil pun menoleh pada wanita itu. “Untuk?”
“Sudah mengantarku ke rumah sakit dan mengantar Barra pulang,” jawab Sasmita. “Oh, dan terima kasih sudah mau mengantarku pulang.”
“Kita bahkan masih di apartemen Barra, kamu yakin saya benar-benar akan mengantarmu pulang?”
“Jangan macam-macam, Sak. Aku akan melaporkanmu pada Wira dan Papa.”
“Memangnya saya akan melakukan apa, Sas?”
“Kamu ...” Sasmita berdecak. “... Antar aku pulang sekarang!” perintahnya.
Sakti tertawa. “Baiklah, saya akan antar kamu pulang.” Laki-laki itu segera mengemudikan mobilnya keluar dari area parkir apartemen dan menuju jalan raya dengan kecepatan sedang.
“Kamu tahu, Sas seharusnya saya senang karena orang tua kita berencana menjodohkan kita, tapi itu tidak berlaku untuk saya.”
Sasmita yang semula fokus menatap suasana di luar melalui kaca mobil seketika menoleh. “Maksudnya kamu menolak perjodohan itu?” tanyanya dengan alis terangkat.
Namun, laki-laki itu menggeleng dan membuat Sasmita semakin bingung. “Saya tidak bilang menolaknya. Saya bilang seharusnya saya senang karena bisa dijodohkan dengan orang yang saya cintai, tapi saya tidak, Sas. Karena wanita yang dijodohkan dengan saya, wanita yang saya cintai justru menolak saya terang-terangan dan fakta utamanya dia sudah memiliki kekasih.”
“Baguslah kalau kamu tahu aku menolakmu. Kamu bisa berhenti mengharapkanku dan segera mencari wanita lain di luar sana,” balas Sasmita.
“Saya tidak akan mencari wanita lain, Sas. Saya tetap akan berusaha mendapatkan hati kamu.”
Sasmita berdecak. “Kamu ini benar-benar nggak waras ya, Sak? Ingat ya, sampai kapan pun aku nggak akan pernah mau menikah dengan kamu. Kalaupun mi-sal-nya itu benaran terjadi—aku nikah dengan kamu—berarti saat itu aku stres dan mengambil keputusan tanpa berpikir.”
“Bagi saya itu tidak jadi masalah, mau kamu sehat atau sedang stres pun, asal kamu menikah dengan saya. Itu sudah sangat membahagiakan untuk saya.”
Kalau saja tidak ada hukum di negara ini, Sasmita sudah pasti akan menghajar Sakti habis-habisan dan membuangnya ke Segitiga Bermuda. Sayangnya, Sasmita masih cukup waras untuk tidak melakukan tindakan gila itu.
“Kamu ... benar-benar sudah nggak waras, Sak!”
***
Orang tua adalah sebaik-baiknya tempat paling nyaman untuk anak-anaknya. Bersama orang tua, anak bisa merasakan kasih sayang mereka yang tidak pernah selesai. Orang tua merupakan rumah terbaik bagi anak-anaknya.
Namun, Sasmita sudah tidak pernah lagi merasakan kehangatan ketika ia bersama orang tuanya—terutama ketika bersama ayahnya. Sasmita tidak ubahnya seperti anak kecil yang masih harus disetir orang tuanya ketika akan melakukan suatu hal. Bahkan hingga usia Sasmita menginjak usia 24 tahun, ayah masih memperlakukannya seperti anak kecil dan itu yang tidak Sasmita sukai.
Seperti sekarang ini misalnya. Sasmita baru pulang dari tempat Barra dan ia sudah disuguhkan pemandangan orang tua dan kakaknya sedang di ruang tengah.
“Kamu lihat sendiri, kan Sasmita bagaimana Sakti begitu mencintai kamu tadi? Dia sampai rela mengantar kamu bertemu pacar sialanmu itu daripada melanjutkan makan malamnya. Apakah kamu tidak menghargai itu, Sas?”
“Pa ....”
“Papa tahu kamu dan Sakti baru kenal sebentar, tapi Papa bisa melihat kesungguhannya untuk memperjuangkan kamu, Sas. Dan Papa yakin Sakti jauh lebih baik daripada pacarmu itu.”
“Jangan banding-bandingkan Barra dengan Sakti, Pa. Mereka berbeda,” protes Sasmita.
“Oh, jelas mereka berdua berbeda. Pacar kamu itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Sakti. Sakti, sudah ganteng, mapan, anak baik-baik, dari keluarga baik-baik pula. Sedangkan Barra? Kerjanya cuma dari kafenya itu. Kamu nggak akan bisa hidup enak kalau sama dia.”
“Pa, bukan berarti seorang yang yatim piatu seperti Barra tidak baik-baik ya. Barra itu baik. Justru karena Barra, aku bisa mandiri seperti ini. Kalau bukan karena Barra, aku nggak akan pernah mau masuk perusahaan Papa. Aku lebih memilih melanjutkan studi kelautan daripada terjebak di perusahaan Papa. Aku—”
“Dasar anak kurang ajar!”
Plak!
“Kakak!”
“Apa-apaan kamu Wira? Kenapa kamu melindungi adikmu?!” bentak Roy. Ya, tamparan tadi yang seharusnya untuk Sasmita, justru mendarat di pipi anak pertamanya, Wira. Laki-laki itu tiba-tiba saja berdiri di depan Sasmita sehingga tamparan tersebut mengenainya.
“Kalau Papa mau marah karena Sasmita menjalin hubungan dengan Barra, silakan. Silakan salahkan juga aku karena aku yang memperkenalkan mereka berdua, tapi tolong jangan pernah ringan tangan sama perempuan. Papa yang aku kenal nggak pernah mengajarkan itu bersikap kasar pada perempuan,” ujar Wira dengan tatapan lurus pada sang ayah.
“Dasar kalian berdua sama saja, tidak tahu diuntung!”
Setelah mengatakan itu, Roy berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut. Sekar langsung menghampiri kedua anaknya dan memeluk mereka erat. Terlalu erat hingga Sasmita dan Wira bisa merasakan bahu wanita itu bergetar.
“Mama sayang kalian.”