Chapter 3

3100 Kata
Vivian POV Saat aku keluar dari ruanganku, sudah ada Kak Prima yang berdiri di samping pintu ruang kerjaku. Ia menunggu sambil memainkan smartphone-nya. Aku terkejut jujur saja, tidak menyangka kalau dia benar-benar berniat mengajakku makan siang bersama. "Yuk cabut!! Gue tahu tempat yang asyik buat makan seru-seruan!" ucapnya, tanpa basa-basi sambil menarik tanganku. "Maksud Kak Prima apa? Makan seru-seruan?" Aku bingung, tidak paham maksudnya. Makan ya makan saja, kan? Apanya yang seru-seruan? "Rahasia! Pokoknya seru aja!!" Dia tersenyum penuh arti, menjawab dengan asal. Ya sudah, aku pasrah saja. Membiarkannya menarikku mengikutinya hingga ke parkiran. Kak Prima langsung menyodorkan sebuah helm padaku, memasangnya tanpa kuminta. "Kak, bisa kita pakai mobil saja? Saya pakai rok soalnya," pintaku saat menatap motor ninjanya, terlihat sulit untuk dinaiki. Bukan karena aku manja atau apa, tapi karena aku memang tidak pernah naik motor besar yang tempat duduknya kecil seperti itu. Dia langsung melirik rok pensi yang aku kenakan, lalu terkekeh jahil. "Gampang itu." Kak Prima tertawa, lalu mengangkat tubuhku tanpa peringatan. Aku hampir saja berteriak, tapi tidak jadi saat ia meletakkanku di atas jok motornya dengan posisi duduk menyamping. "Nah! Gini, kan cakep! Gue bawa pelan-pelan kok. Lo nggak bakal jatuh deh! Kalau takut pegangan aja," jelasnya santai, sambil naik. Aku tidak takut sih, tapi tetap memeluk pinggangnya, memanfaatkan kesempatan. Walau sebenarnya naik motor dengan posisi seperti ini dianggap berbahaya dan tidak pantas menurut ajaran Ayah, tapi untuk kali ini saja aku abaikan. Memilih untuk menikmati kesempatan yang kumiliki, aku diam saja sambil menyandarkan kepala di punggungnya. Mendengarkan detak jantungnya yang teratur, terdengar merdu bagai alunan musik yang biasanya kumainkan. Hingga kami tiba di sebuah tempat makan pinggir jalan, tepat sebuah ruko yang menjual mie. "Namanya nyamien lempar, sebelum dihidangkan. Nanti bakal ada atraksi, penjualnya bakal lempar-lempar mienya dulu. Kita bisa rekam lalu buat story IG!" terang Kak Prima. Aku mengangguk saja, walaupun tidak paham maksudnya. Lagi pula aku tidak main sosial media seperti itu. Waktuku habis untuk pekerjaan, mengurus Daddy, Triplet dan memastikan tidak ada 'serangga' yang mendekati Kak Lexie milikku dan Abang. "Oh ... menunya cuma satu jenis?" tanyaku saat Kak Prima memesan. "Yap! Tapi gue jamin enak deh! Lo gak bakal nyesal makan di sini," jawabnya antusias. Sambil membantu melepaskan helmku. Kemudian kami memilih meja yang paling dekat dengan dapur mini tempat mie itu disajikan. Soalnya Kak Prima serius mau rekam atraksi lempar mienya. "Kak Prima, minumnya apa?" tanyaku, saat pelayan menghampiri meja kami. Kak Prima yang sedang sibuk cuap-cuap mengomentari pertunjukan itu, hanya melambaikan tangannya asal. Benar-benar bikin sebal, apa artinya makan bersama kalau dia sibuk sendiri? Ya sudah, aku kerjai saja. Salahnya sibuk sendiri. "Bir dingin Mbak, dua pakai es." Aku memesan dan Kak Prima masih saja sibuk, tidak mendengarkan pesananku sama sekali. Biar saja dia terkejut, saat meminumnya nanti. Kalau ditanya pesan apa, aku jawab saja teh es. Kan warnanya mirip-mirip, lagi pula aku sudah terlatih minum alkohol kok, tidak bakal mabuk atau apa. "Wuiiih!! Keren!! Vi, IG lo apa? Biar gue follow, sekalian ngetag," serunya bersemangat saat atraksi itu usai. Mie dan minuman pesanan kami juga sudah diantarkan, sementara aku pura-pura menikmati es teh 'bir dingin' itu. "Saya tidak punya sosial media selain WA untuk urusan pekerjaan," jawabku jujur. Mata Kak Prima langsung melotot tajam, berseru dengan alaynya. "What!? Lo manusia zaman apa? Gak gaul banget!! Malah cara ngomongnya kayak nenek-nenek!!" Kubalas dengan tatapan datar, tetap duduk dengan tenang. "Jika berbicara dengan menjaga etika dianggap tidak gaul, maka saya memilih menjadi seorang yang memang tidak gaul. Sebab saya dibesarkan dengan etika dan sopan santun tinggi. Bagi saya menjaga tata krama lebih penting daripada mengikuti tren saat ini. Karena Ayah dan Daddy mengajarkan semua itu pada saya, dengan kesabaran dan kasih sayang agar saya bisa menjadi wanita terhormat yang mereka harapkan." Memberi penjelasan panjang lebar secara rinci agar Prima bisa sedikit memahami pola pikirku. "Oh ... gitu ...." Kak Prima terdiam, tampak kikuk. Terlihat tidak enak dengan kata-kata yang ia lontarkan barusan. "Sorry, Vi. Gue gak bermaksud ngejek lo atau apa. Jangan tersinggung ya?" ujarnya, menyesal. Meraih bir dingin pesananku itu. "Tidak masalah. Saya sama sekali tidak tersinggung, Kak Prima." Refleks mataku melirik gerakan tangannya yang mengambil sedotan. Menanti dengan sabar saat ia memasukkan sedotan itu ke dalam mulutnya. "Uhuk ... ufuk ... Wtf!? Apaan nih!?" seru Kak Prima dengan mata melotot, sedikit menyemburkan minumnya. Aku tersenyum. "Apanya Kak? Es teh, kan? Terlalu manis?" Berucap dengan lembut dan polos. Dia langsung protes ke pelayanannya. "Mbak!! Ini minuman apaan? Kok rasanya pahit aneh gini? Es teh gaul ya?" Ups!! Apa aku sudah boleh tertawa? Es teh gaul!? Apa yang salah dengan otaknya? Mbak pelayan itu langsung tergopoh-gopoh menghampiri kami. "Itu bir dingin Mas, pesanan Mbaknya," jawab pelayan itu sambil menunjukku. "Hihihi ... maaf Kak, tadi saya sedikit iseng." Aku terkikik saat Kak Prima memberiku sebuah pelototan tidak percaya. "Gila lo, Vi. Gue gak kuat minum alkohol tahu! Tuker-tuker!!" Gerutunya, lalu merampas gelasku. Aku ingin mengatakan kalau itu isinya sama, tapi sebelum kata-kata itu sempat aku dan Mbak pelayan itu ucapkan, Kak Prima sudah meneguk setengah dari isinya. "Maaf Mbak, tolong bawakan dua gelas es teh." Akhirnya aku hanya bisa memesan ulang, sambil memberi tatapan menyesal ke Kak Prima yang terlihat bad mood. "Gak lucu, Vi! Lo masih terlalu kecil buat minum ginian!" Malah aku ditegur lagi. "Maaf, saya hanya berniat bercanda," sesalku, sungguh-sungguh. Karena Kak Prima tampak agak mual. Apalagi kayaknya dia benar-benar tidak terbiasa dengan alkohol, bahkan dalam kadar serendah itu. Bukan karena merasa aku terlalu kecil buat minum minuman beralkohol. Soalnya Ayah sudah merecokiku minuman seperti itu, sejak masih balita dengan alasan membangun kekebalan tubuh terhadap alkohol. "Ya udah, sekarang kita makan," balasnya agak ketus. Membuat aku benar-benar merasa tidak enak. Diam-diam aku meliriknya, memastikan kalau dia baik-baik saja. Pada akhirnya kami makan dalam diam, bahkan sampai pulang kembali ke kantor. Kak Prima masih saja ngambek, sepertinya candaanku memang sudah kelewatan. Kami saling diam di dalam lift, suasana yang bikin waktu terasa amat sangat lambat. Lantai empat yang menjadi tujuanku, terasa seperti lantai empat puluh. Berkali-kali aku menghela napas, kembali meliriknya. "Maaf," mengucapkan kata itu untuk ke sekian kalinya. Dia diam. Tidak merespons sama sekali. Akhirnya aku menyerah, memilih keluar di lantai tiga, saking tidak kuatnya dengan suasana canggung ini, tapi baru selangkah kakiku menginjak keluar dari lift, Vance sudah dengan seenaknya mendorong tubuhku kembali masuk ke dalam lift, bersama dengannya. Ia lantas seenaknya menutup pintu dan menekan lantai tiga puluh. Ditambah dengan isi lift ini hanya kami bertiga, kecanggungan itu makin menjadi. "Kamu kenapa, Vance?" tanyaku lelah. Berusaha meyakinkan diri bahkan di dalam lift ini hanya ada aku dan Vance. "Vivi!? Sejak kapan kamu ada di sini!?" Eh? Vance malah balik bertanya? Kenapa dengannya. "Kan kamu yang dorong aku masuk waktu mau keluar lift tadi! Lagi pula untuk apa ke lantai tiga puluh? Itu bukan wewenangmu!" tegurku. Vance mendengus. "Si jalang! Dia ke sini dan main-main di rooftop dan lift bodoh ini hanya sampai lantai tiga puluh! Terpaksa aku harus naik tangga lewat sana kalau mau menyusul si jalang!" Ia menjawab dengan kasarnya. Aku menamparnya lagi. "Berhenti memanggil Marvella seperti itu!" Lalu memarahinya. Soalnya kata Uncle Dean, Vance itu harus banyak-banyak ditampar agar mulutnya bisa lebih sopan. Ini tidak termasuk penganiayaan kok, bagi keluarga kami walau dilempar ke dalam ruang penuh jebakan juga masih terhitung latihan, jadi sebuah tamparan masih dianggap sesuatu yang wajar. "Dasar cerewet!! Suka-suka aku mau menyebut jalang junior itu apa!" balas Vance kasar seperti biasanya, dia berniat memukulku. Tentu saja aku sudah siap dengan serangannya dan berniat menyerang balik, tapi Kak Prima yang kami lupakan keberadaannya, berdiri di antara kami. "Stop! Lo berdua kenapa sih?" tanyanya, berusaha menjauhkan tubuh Vance dari ku. Walaupun usahanya berakhir gagal, mengingat sesempit apa sebuah lift itu. "Bukan urusanmu!!" Bentak Vance kasar, sambil mengeluarkan pisaunya. Aku langsung melotot dan menendang perutnya, bersamaan dengan terbukanya pintu tepat di lantai tiga puluh. Lalu ikut keluar menyusul Vance sambil mengeluarkan sebuah pedang super tipis mirip meteran bergulung, yang selama ini melingkar di pergelangan tanganku, berkedok sebuah gelang. Kuarahkan tepat di leher Vance. "Peraturan nomor lima keluarga Angelo. Jangan pernah mengeluarkan senjata di hadapan warga sipil dan peraturan nomor delapan, hargai anggota keluarga yang lebih tua. Kamu telah melanggar kedua aturan itu, Vance. Minta maaf atau kuseret ke ruang hukuman," ancamku dingin dan bengis. Kehilangan ke sabaran karena perbuatan Vance yang berniat melukai Kak Prima. Padahal selama ini, aku tidak pernah semarah ini selain saat melihat Daddy atau Kak Lexie dilukai. Tampaknya Kak Prima memang sudah berhasil masuk ke dalam salah satu bagian khusus dalam hatiku. "Kau berniat menghabisi adikmu demi laki-laki itu? s**t!! Kau sama saja dengan si jalang!! Menjadi buta demi seorang laki-laki yang bahkan tidak cukup baik untuk kalian!" Vance kembali membentak tanpa rasa takut, ia langsung bangun bersiap melawanku. "Cukup Vance! Hargai kakakmu! Aku tidak mau mendengar kata jalang keluar dari mulutmu lagi!" Aku membalasnya dengan mengancam. "Aku tidak sudi!!" Vance malah terpancing emosi, dan kami pun berakhir saling serang membabi buta, layaknya tengah berlatih simulasi pertarungan hidup dan mati. Aku mengelak, menghindari sabetan pisau panjang milik Vance. Sementara ia kembali menyerangku dengan sebuah tendangan mengarah ke pinggangku. Refleks aku melompat, menghindari tendangan itu, membalas dengan sebuah tendangan mengarah ke kepalanya. Namun, sayangnya Vance berhasil menangkap kakiku, melemparkan tubuhku hingga menubruk sebuah meja. Si pemilik meja langsung menyingkir, memberi ruang untuk perkelahian kami. Begitu juga karyawan lain penghuni lantai ini. Bersamaan dengan aku yang kembali bangkit berdiri, menyerang Vance dengan tebasan pedangku. "s**t!" umpatnya, saat bilah tajam pedangku berhasil menggores tangannya, tapi itu tidak membuatnya berhenti. Mengabaikan lukanya, Vance kembali menyerangku, mengarahkan pisaunya ke sisi kanan betisku yang lengah. Meninggalkan luka gores cukup dalam di sana. Dia tersenyum culas, "Kemampuanku lebih baik dari mu, kan?" mengejek dengan ekspresi wajah yang begitu sombong. Benar-benar adik durhaka. "Jangan meremehkanku, Vance." Aku kembali membalas, seraya melepaskan sepatu hak tinggi yang menghalangi pergerakanku dari tadi, melemparkan benda itu ke arahnya. "Kamu akan kuseret ke ruang hukuman!" ancamku, serius. Ia mendengus setelah berhasil mengelak dari lemparanku. "Cih! Mengalahkanku saja tidak bisa, mau menyeretku? Makan ini, Vivi!!" Berdecak dengan kasar, kemudian melemparkan pisaunya ke arah dadaku, sambil mengeluarkan dua buah pistol. Aku melompat maju, menghindari pisau itu dan menebas pedangku ke arah kedua tangannya yang telah berada dalam posisi siap menembak. BRAK!! Bersamaan dengan serangan pertaruhan kami, seseorang muncul di antara kami berdua, memukul perut kami bersamaan hingga aku dan Vance terpental ke lantai berlawanan arah. "HENTIKAN KEKACAUAN INI SEKARANG! SIAPA YANG MEMBERI IZIN MELAKUKAN PETARUNG BERBAHAYA DI DEPAN KARYAWAN, HAH? DI MANA WIBAWA KALIAN SEBAGAI DIREKTUR!!!" bentak Ayah. Aku langsung duduk bersimpuh di depannya, menundukkan kepala hormat. Melupakan begitu saja emosi yang sempat menguasaiku. "Maafkan saya, Ayah. Silakan hukum saya," ucapku. PLAK! Ayah menamparku sebagai hukuman, kemudian menarik lenganku hingga berdiri tegap. Kemudian  ia memberikan perintah, "Jangan ulangi lagi, Vivian! Ayah tidak pernah mendidikmu menjadi perempuan seliar ini. Pakai kembali sepatumu dan ganti pakaian robek itu. Seorang wanita terhormat tidak akan tampak seberantakan ini." Tentu saja langsung aku jalankan, tidak berani membantah sama sekali. "Baik Ayah," jawabku. Bersikap setenang dan sedatar mungkin. Pergi mengambil sepatu yang tadi kulempar. Sedangkan Vance malah dengan bodohnya membantah, sama sekali tidak merasa bersalah pula. "Tapi Uncle Vian, Vivi yang mulai! Dia yang lebih dulu menyerangku." BRAK!! Ia langsung dipukul Ayah, hingga tubuhnya terlempar menabrak dinding lift yang dingin. "Jangan membantah, Vance dan hormati perintah saudarimu. Kamu pikir aku tidak tahu apa masalah yang kalian ributkan? Masih mau membantah? Kalau tidak bisa menuruti kebijaksanaanku, maka kemasi barang-barangmu dan kembali ke pelukan Tyler." Kemudian diancam lagi. Herannya Vance masih saja berani, atau mungkin bodoh. "Aku tidak mau!! Aku akan tetap tinggal di rumah utama selama si jalang masih tinggal di sana!" Adikku itu, malah membalas dengan kalimat kasar. BRAK!! Kali ini tubuhnya kembali dilemparkan Ayah ke atas meja, membuat sebuah monitor pecah tertindih tubuh Vance. Kerah bajunya dicengkeram dengan erat. "Jika demikian, maka jaga sikapmu. Jangan permalukan keluarga kita dan jangan panggil kakakmu dengan sebutan 'jalang'! Paham, Dempster Vance Angelo?" Ayah serius kali ini, di sekelilingnya penuh dengan aura siap membunuh. Vance mendadak kehilangan nyali. Ia menelan ludah gugup, mengangguk patuh tanpa berani mengucapkan satu kata pun. Di saat itulah, Marvella datang dari arah tangga rooftop. Ia memeluk lengan Ayah dengan mata berkaca-kaca. "Uncle, jangan pukul Vance lagi. Dia sudah menyesal kok, Marvella mohon." Memohon dengan ekspresi wajah memelas. Ayah yang tidak tega menghadapi Marvella yang sedang hamil tua itu, menyerah. Sambil menghela napas lelah, ia melepaskan Vance begitu saja. "Ajari adikmu sopan santun, Marvella," perintahnya, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami. "Iya, Uncle!!" seru Marvella bersemangat, terlihat akrab dengan Ayah. Hubungan aneh, yang entah bagaimana mana bisa terjalin di antara mereka. Yang kuketahui hanyalah, entah sejak kapan Ayah dan Marvella menjadi sangat akrab. Bahkan Ayah bisa cukup menoleransi kedekatannya dengan Daddy. Lebih sabar dan perhatian pada Marvella. Kata Daddy sih karena Ayah merasa bahagia menantikan cucu pertamanya, tapi menurutku, mereka punya sesuatu yang dirahasiakan. Oke, lupakan soal rahasia antara Ayah dan Marvella. Begitu Ayah memasuki lift, aku langsung menghampiri Vance, membantunya bangun dari posisi menyedihkan itu. Sama sekali tidak membiarkan Marvella yang membantunya dan membiarkan Jouis yang membereskan kekacauan akibat perbuatan kami. Melupakan begitu saja perselisihan kami. "Berikan lenganmu Vance." Aku mengulurkan tanganku. Mencoba memapah Vance yang kakinya memar, atau mungkin retak. Vance berniat menolak dengan label 'harga diri', tapi dia urungkan saat Marvella nyaris menangis melihat keadaannya. Ia akhirnya menyerah dan membiarkanku memapahnya. Biar menyebut 'jalang' sejuta kali pun. Aku yakin bahwa sebenarnya, Vance sangat mencintai Marvella lebih dari kedua orang tuanya. Dia hanya terlalu angkuh untuk mengakuinya, dan aku juga yakin bahwa Marvella memiliki perasaan yang sama dengannya. Ya, meskipun dalam keadaan normal mereka selalu saling membentak, tapi lihatlah sikap manis mereka saat ini, saling mencemaskan satu sama lainnya. Namun di sisi lain, harga diri membuat kedua membuang muka dan tidak mau mengakui perasaan cemas itu. Sementara aku tersenyum memperhatikan interaksi si kembar, seseorang mengambil Vance dari papahanku. "Biar gue yang mapah. Kaki lo, kan juga luka." Orang itu Kak Prima. Aku langsung terdiam kikuk, baru sadar kalau dari tadi dia melihat sisi gelapku. Jiwa psychopath yang kusembunyikan. Juga anehnya hubungan antara keluargaku. "Te-terima kasih, Kak," ujarku, gugup. Otakku langsung blank, tidak mendengarkan sama sekali percakapannya dengan Vance dan Marvella. Tahu-tahu kami sudah tiba di lantai lima belas, ruang kesehatan lebih tepatnya. Jiwaku baru kembali saat Dr. Jimmy, dokter pribadi perusahaan kami berteriak dengan panik. Bingung mau mengurusi betisku yang terus mengeluarkan darah atau Vance yang kaki dan tangannya terluka parah. "Kenapa denganmu, Vance? Vivian juga? Dean akan membunuhku, kalau tidak mengurusmu dengan benar, bocah sialan. Ah, tapi Vivian juga, tubuh seorang gadis tidak boleh ada bekas luka!!" Jimmy menjerit dengan lebay, khas orang kepercayaan Uncle Dean yang selalu mempunyai kepribadian kekanakan. Soalnya Dr. Jimmy itu sahabat dekat Greg yang menjadi salah asisten kepercayaan Uncle Dean. Lebih tepatnya sebenarnya dia itu asisten terlatih milik Vance, tapi ya ... Vance saja yang seenaknya menempatkannya sebagai dokter kantor. "Urus Vance duluan," jawabku. "Urusi Vivi dulu sana!" Serempak dengan perintah Vance. Kami kemudian saling tatap dalam diam, tidak ada yang mau mengalah, sampai Jouis datang menyusul kami. "Biarkan aku yang mengurus Vivian, kamu periksa saja keadaan tuan mudamu, Jimmy," kata Jouis datar, tanpa niat apa-apa. Hanya berniat memberi solusi, tapi Vance yang masih sensian karena kembarannya diambil Jouis, mengumpat kasar. "SIALAN KAU PEMBUNUH!! JANGAN MENGHINAKU, YA!! AKU BUKAN TUAN MUDA MANJA!!" "DIAM KAU SEME DENIAL!! MULUTMU MINTA AKU SUMPAL PAKAI p****t UKE YA!!" Dibalas oleh Marvella tidak kalah sensian. Dan tentunya tak disensor. Kami abaikan si kembar liar itu, memilih fokus untuk menyelesaikan pengobatan ini secepatnya. Aku diam saja membiarkan Jouis menjahit kakiku yang ternyata cukup parah dan kehilangan cukup banyak darah. ∞ Saat semuanya selesai, tahu-tahu aku terbangun di ruang kesehatan yang sudah kosong. "Sejak kapan aku tertidur?" gumamku bingung. Kedua adikku sudah tidak ada di sini, begitu juga dengan Jouis dan Jimmy. Hanya ada Kak Prima yang menungguiku sambil duduk terkantuk-kantuk. "Oh ... mu ... udah bangun, Vi. Sakit?" Wajah terlihat linglung dan imut. "Iya, tidak sakit kok. Adik-adik saya ke mana?" tanyaku penasaran, sedikit mencemaskan mereka. Melupakan begitu saja kekhawatiranku akan reaksi Kak Prima. Sebab, dia ada di sini sekarang, menemaniku dengan ekspresi wajah yang seperti biasanya. Juga tidak ngambek lagi. "Mereka udah pulang, kantor juga udah tutup kayaknya. Yuk, gue antarin lo pulang!" Kak Prima mengajak pulang. Ia menyodorkan punggungnya untuk menggendongku. Sebenarnya aku masih bisa berjalan, tapi aku tidak mau melepaskan kesempatan memeluknya. Jadi pasrah saja membiarkannya menggendongku. "Iya, nanti singgah ke ruangan saya dulu ya, Kak. Mau ambil tas," kataku. "Um, oke. Oh ya, tadi adik lo yang hamil itu bilang sebaiknya lo jangan pulang ke rumah dulu. Takut Auntie Mika shock katanya. Jadi sekarang lo mau gue antar ke mana?" Prima lalu bertanya dengan serius, raut wajahnya jelas terlihat bingung. Betapa lucunya. Oh iya! Benar juga! Nanti Daddy pasti shock, lalu pingsan waktu lihat lukaku. Daddy, kan suka lebay. Waktu lututku lecet sedikit dua tahun lalu saja, Daddy sampai jerit-jerit menyalahkan Ayah karena tidak bisa menjagaku. Kakak Lexie juga begitu, nanti dia nangis berjam-jam. Ugh! Aku, kan jadi tidak tega. Hati uke itu super rapuh sih. Memang lebih baik aku tidak pulang ke rumah dulu, Ayah juga pasti sudah menipu Daddy sekarang. Bilang kalau aku dinas ke luar kota. "Ke apartemen saya saja, tepat di seberang kantor ini," jawabku. Kak Prima mengangguk paham, lalu mengantarkan aku setelah mengambil tas di ruanganku. Dia menggendongku sampai masuk ke dalam kamar tidur di apartemenku, menurunkan aku dengan hati-hati sekali. "Terima kasih, Kak Prima. Sebaiknya Kakak langsung pulang saja. Sepertinya Kak Prima ngantuk sekali, lagi pula ini sudah jam sebelas malam." Aku meminta dengan tulus. Akan tetapi, Kak Prima tidak pulang. Dia malah duduk di sampingku, mengedarkan pandangan keseluruhan ruangan yang agak gelap. "Lo tinggal sendirian di sini?" Ia bertanya sambil berkeliling menyalakan semua lampu. "Iya, kenapa Kak?" "What!? Lalu yang ngurus luka lo siapa dong!?" Kak Prima langsung menjerit alay lagi, agak mirip Mama yang aneh. "Saya bisa sendiri." Aku tidak sok kuat kok, kalau cuma luka seperti ini sih tidak sulit kuurus. Soalnya waktu latihan sama Ayah, aku sudah sering terluka lebih parah dan Ayah sudah melatihku cara mengurus diri sendiri dalam kondisi apa pun, tapi Kak Prima tidak percaya. Dia menjerit alay lagi, "Nooo!! Big no!! Luka lo enggak bakal sembuh-sembuh kalau gak dirawat dengan benar! Gue bakal nginep sini jagaiin lo!!" Menginap!? Tidak. Aku tidak akan bisa menahan diri, untuk tidak menyerangnya, tidak mengikat dan mengucapkan kata-kata seperti memintanya menjadi submisif-ku. "Tidak usah Kak, tidak pantas kalau – " tapi sebelum aku selesai menolaknya, Kak Prima sudah berlari ke arah pintu. "Gue ambil tas sama laptop gue dulu di kantor!! Gak lama kok!" Pergi begitu saja, kembali ke kantor. Sekarang apa yang harus kulakukan!?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN