Riyu hanya duduk terpekur diam dengan wajah ditekuk.
Sementara Ridwan yang duduk di depannya terlihat merasa bersalah. Sang mama ternyata tidak memercayai Riyu untuk bekerja di minimarket itu karena status dan identitasnya yang tidak jelas. Namun akhirnya Ridwan bisa meyakinkan sang mama hingga Riyu memiliki kesempatan untuk mencoba. Sang mama memberikan waktu satu bulan untuk melihat kinerja Riyu di minimarket yang ternyata memang kepunyaan keluarga Ridwan yang sudah dijalankannya secara turun temurun.
Riyu sempat cemas jika Ridwan akan memecatnya. Untungnya Riyu masih mendapatkan kesempatan, tetapi yang jadi masalah sekarang ini adalah Riyu tidak diijinkan oleh mama Ridwan untuk tinggal di minikarket itu. Alasannya sebenatnya cukup membuat perasaan Riyu tergonjang. Sang mama takut jika nantinya Riyu mencuri stok dan juga melakukan hal lainnya di dalam minimarket itu.
“Mama orangnya memang suka blak-blakkan seperti itu. Tapi sebenarnya dia baik, kok. Hanya saja Mama memang butuh waktu untuk bisa dekat dengan orang baru. Saya tahu mungkin kata-kata Mama tadi menyinggung perasaan kamu, tapi saya harap kamu tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati,” ucap Ridwan.
Riyu mengangguk pelan. “Semua yang beliau katakan itu benar, kok. Jadi saya tidak merasa tersinggung sama sekali.”
Ridwan menatap Riyu perlahan. “Tapi raut wajah kamu saat ini sepertinya malah menampilkan sebaliknya dari apa yang kamu katakan itu.”
Deg.
Riyu meneguk ludah dan menundukkan wajahnya kembali. Ya, dia memang merasa sangat tersinggung. Sejenak bahkan dia sempat berpikir untuk berhenti saja. Namun Riyu sekarang sadar akan keadaannya. Dia tidak mempunyai uang sepeserpun lagi, dia juga tidak punya teman atau pun saudara. Parahnya lagi Riyu tidak punya tempat tujuan yang lain lagi.
“Ayolah … kamu jangan memasang wajah cengeng! Kamu itu kan, laki-laki,” sergah Ridwan.
Riyu terkesiap dan langsung memperbaiki mimik wajahnya setenang mungkin.
“Siapa bilang saya cengeng? Saya hanya kelelahan saja karena kemarin sudah menempuh perjalanan yang jauh dan hari juga sudah mulai bekerja,” jawab Riyu kemudian.
Ridwan mengangguk tanda mengerti. “Okey … jadi semuanya baik-baik saja, kan? Kamu masih mau bekerja di sini, kan?”
“Tentu saja.” Riyu menjawab pelan, lalu kembali menekurkan kepala.
“Tapi sebelumnya, saya tetap ingin meminta maaf kepada kamu untuk mewakili, Mama.”
Glek.
Riyu perlahan mendongakkan wajahnya. Sedangkan Ridwan kini tersenyum lembut. Lelaki berusia 32 tahun itu benar-benar memiliki senyuman sehangat senja. Dia tidak menyeramkan seperti yang datang di dalam mimpi buruk yang dialami Riyu. Pertemuannya dengan sosok Ridwan menjadi salah satu hal yang paling Riyu syukuri hingga detik ini. Bisa dikatakan bahwa Ridwan memang adalah penyelamat hidupnya di tempat yang asing ini. Namun sayang, Riyu harus mendapatkan cobaan di hari pertamanya mulai bekerja.
Riyu pun termangu menatap wajah bosnya itu sejenak. Ridwan memiliki wajah khas indonesia dengan kulit berwarna sawo matang. Dia memiliki dua alis yang tebal, mata yang tajam, hidung yang sedang alias tidak terlalu mancung dan juga tidak terlalu pesek. Fitur paling menarik di wajahnya adalah bagian bibir yang terlihat sedikit tebal dan berisi. Semua itu pun semakin sempurna saat dibingkai oleh garis rahang wajahnya yang terlihat tegas. Rambut Ridwan terlihat sederhana dengan potongan rapi yang di sisir ke belakang. Gaya penampilannya pun terkesan mengusung model retro dengan kemaja agak kedodoran yang dimasukkan ke dalam celana yang juga terlihat longgar.
“Anda tidak perlu meminta maaf seperti itu, kok. Saya bisa memahami kekhawatiran Mamanya Mas Ridwan,” ujar Riyu.
Ridwan menghela napas panjang. “Sebenarnya saya juga tidak begitu berminat untuk mengelola tempat ini… tapi mau bagaimana lagi, saya harus melakukannya sebagai bentuk bakti kepada kedua orang tua. Walaupun kemudian saya jadi kesulitan untuk membagi waktu dengan pekerjaan utama saya.”
Riyu mulai tertarik dengan topik pembicaraan itu. “Pekerjaan utama?”
“Ya. Saya mengelola tempat ini sebenarnya hanyalah pekerjaan sampingan saya.”
Riyu sedikit terkejut mendengar penuturan Ridwan. “Lalu kalau saya boleh tahu, apa pekerjaan utama anda?”
Ridwan tersenyum pelan. Dia tidak langsung menjawab dan malah bangun dari duduknya. “Sepertinya ini akan jadi cerita yang panjang, saya akan membuat kopi instan dulu untuk kita berdua.”
Riyu pun juga segera bangun dari duduknya. “Biar saya yang membuatnya!”
“Tidak. Biar saya yang membuatnya. Lagipula jam kerja kamu sudah habis dan anggap saja ini sebagai bentuk permintaan maaf saya karena sudah membuat kamu merasa tidak nyaman.”
“T-tapi ….” tangan Riyu mengawang hendak memanggil Ridwan, tapi sosok bosnya itu sudah masuk ke dalam minimarket untuk menyeduh kopi.
Riyu menghela napas lega. Luka hatinya karena perkataan kasar Ridwan seakan menuap bersama udara malam yang terasa sejuk. Tatapannya pun kemudian beralih pada langit malam yang dipenuhi oleh taburan bintang di atas sana. Riyu memejamkan matanya sejenak sembari menghirup udara malam. Sekarang tidak ada lagi waktu untuk bersedih. Bagaimana pun juga dia harus siap dengan jalan yang sudah dia pilih saat ini. Sejenak segala lika-liku kehidupannya sebagai sosok Ayu pun kembali terkenang dan helaan napas Riyu langsung terdengar berat.
“Iya … aku tidak mau hidup seperti itu lagi,” bisiknya pelan.
“Hidup seperti apa?”
Deg.
Riyu terkejut dan hampir terjungkang dari kursinya. Secepat itu juga Ridwan memegangi kursi itu hingga Riyu tidak jadi terjatuh.
“Hati-hati dong! Kalau saya perhatikan lagi, kamu benar-benar terlihat lemah sekali sebagai seorang laki-laki.”
Sindiran itu lagi-lagi membuat Riyu kesulitan untuk menampilkan sisi maskulin dari dirinya. Semua memang terasa sulit, karena Riyu memang tidak mempunyai sisi yang seperti itu.
“Ayo di minum kopinya,” ucap Ridwan sambil meraih gelas kopinya. “Semoga itu sesuai dengan selera kamu.”
“T-terima kasih.”
Riyu menggenggam gelas kopi berukuran cukup besar itu perlahan. Ras hangat kemudian menjalari telapak tangannya dan itu membuatnya merasa tenang. Sensasi damai pun makin terasa saat dia menghirup aroma kopi yang menembus rongga hidungnya.
“Jadi anda bekerja di mana?” Riyu akhirnya kembali membuka pembicaraan setelah meneguk gelas kopi itu.
Ridwan tersenyum pelan. “Saya mengajar di sebuah Universitas Negeri dan juga beberapa Universitas Swasta.”
Glek.
Riyu hampir memuncratkan air kopi yang ada di rongga mulutnya. Dia menelannya cepat-cepat, lalu menatap Ridwan dengan tatapan yang tidak percaya.
“Anda seorang Dosen?”
“Ya. Seperti itulah.”
Riyu menatap takjub. Tiba-tiba saja sosok Ridwan jadi terlihat berbeda 180 derajat di matanya. Rasa hormatnya kepada Ridwan seakan langsung naik berlipat-lipat dan Riyu merasa semakin tersanjung bisa bekerja di minimarket milik dosen muda nan menawan itu.
Ridwan pun asyik menceritakan sedikit latar belakang kehidupannya dan Riyu juga menyimak semua informasi itu dengan seksama. Obrolan mereka malam ini berlangsung hangat. Keduanya sama-sama seperti lupa waktu dan masih saja asyik bercengkerama. Obrolan itu pun hanya terputus jika ada pelanggan yang datang dan Ridwan segera melayani pelanggan terlebih dahulu, baru kemudian kembali lanjut mengobrol bersama Riyu.
“Ngomong-ngomong dari tadi saya hanya membahas tentang diri sendiri. Bagaimana dengan kamu? Setidaknya kamu juga bisa bercerita sedikit mengenai latar belakang kamu,” tukas Ridwan.
Senyum di wajah Riyu perlahan surut dan langsung berganti dengan raut wajah cemas. Ridwan pun kini menangkupkan kedua tangannya di bawah dagu menanti Riyu untuk bercerita mengenai dirinya. Namun kemudian dia bisa menangkap kegelisahan yang tergurat di wajah Riyu. Berbagai spekulasi dan prasangka pun kini berputar putar di dalam benaknya.
“Apa dia seorang anak yang sedang melarikan diri dari rumah?” batin Ridwan.
Ridwan pun kembali memerhatikan sosok Riyu lekat-lekat. Di matanya, Riyu terlihat seperti anak lelaki yang terlihat lemah dan manja. Raut wajahnya yang lunak, postur tubuhnya yang kecil, tutur katanya yang halus dan semua tindak-tunduknya membuat Ridwan mulai menarik sebuah kesimpulan.
“Sepertinya dia memang tipikal anak rumahan yang saat ini kabur dari keluarganya,” bisik Ridwan lagi dalam hatinya.
Sementara itu Riyu masih sibuk berpikir untuk mengarang sebuah cerita tentang latar belakangnya. “J-jadi saya ….”
“Hahaha … kamu tidak perlu bercerita jika memang merasa tidak nyaman.” Ridwan langsung memotong pembicaraan.
Riyu pun menunduk malu, lalu kemudian meremas gelas kopinya kembali.
“Sekarang kita kembali lagi ke point penting pembicaraan malam ini. Jadi kalau menurut saya … sebaiknya kamu mencari kost-kost-an saja di daerah sekitar sini,” ucap Ridwan.
Riyu mengangguk tanda mengerti, tapi di sisi lain dia tentu saja cemas karena saat ini dia tidak mempunyai uang sepeserpun lagi.
Seakan bisa membaca pikiran Riyu, sosok bosnya itu pun kembali berbicara. “Untuk bulan ini saya akan memberikan gaji kamu di muka. Jadi kamu bisa menggunakannya untuk menyewa kamar kost dan juga memenuhi kebutuhan kamu sehari-hari.”
Semilir angin terasa berhembus lembut membelai leher Riyu. Entah sebuah imajinas atau bukan, dia pun juga seperti melihat sepasang sayap yang mengepak dan berkilau dari balik punggung Ridwan yang masih berbicara padanya. Sosok Ridwan benar-benar menjelma seperti sosok malaikat penyelamat dalam hidup Riyu saat ini. Riyu pun hanya menatap bosnya itu dengan binar penuh rasa syukur.
“A-apa itu tidak terlalu berlebihan. Anda belum begitu mengenal saya dan lagi saya juga baru satu hari bekerja di sini. Bagaimana bisa anda melakukan hal sejauh itu?” tanya Riyu dengan tertunduk malu.
Ridwan tersenyum tipis. “Saya melakukannya karena saya percaya kalau kamu adalah anak yang baik.”
Jawaban itu sontak membuat d**a Riyu menghangat. Dia pun tersenyum dan langsung menghaturkan terima kasih berulang-ulang kepada Ridwan.
“Sekali lagi terima masih banyak, Mas. Saya benar-benar sangat berterima kasih sekali.”
“Tidak masalah. Sekarang kita hanya perlu mencari kost-kost-an yang bisa kamu tempati,” ujar Ridwan.
“APA …? KAMU MENCARI KOST-KOST-AN …?”
Ridwan dan Riyu sama-sama tergelinjang kaget karena kemunculan mahluk asing yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana dan langsung ikut menyela pembicaraan.
“A-Abian …!” Riyu berseru kaget.
“Kamu selalu saja muncul tiba-tiba seperti itu,” sergah Ridwan sambil menyeka meja yang sudah ditumpahi air kopi miliknya.
“Hehe … maapkan aing, Pak Dosen. Tapi itu sudah menjadi ciri khas aing. Selalu mengejutkan dalam situasi apapun,” jawab Abian sambil terekeh.
Riyu pun hanya termenung melihat interaksi antara Ridwan dan juga Abian. Mereka berdua sepertinya sudah saling kenal dan juga terlihat akrab. Ridwan dan Abian asyik mengobrol sebentar, hingga kemudian Abian beralih menatap Riyu.
“Kalau kamu memang mencari kost-kost-an … lebih baik kamu bergabung di rumah kontrakan aku saja. Di sana kebetulan ada satu kamar yang kosong,” ujar Abian bersemangat.
Riyu menelan ludah. Dia tentu merasa takut harus berbaur dengan lelaki di atap yang sama.
“Di kontrakan kamu ada kamar kosong?” Ridwan juga bertanya.
“Iya, Pak. Tempatnya juga aman dan nyaman, kok. Noh … di ujung sono! Deket juga dari sini.” Abian menunjuk ke ujung jalan.
Ridwan pun kini beralih menatap Riyu.“Bagaimana? Apa kamu mau tinggal di sana?”
Riyu menatap gamang. Ditatapnya Ridwan dan Abian secara bergantian. Hatinya pun terus berbisik berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Hingga kemudian barulah Riyu memberikan jawabannya.
“B-baiklah … saya akan mencoba tinggal di sana.”
_
Bersambung …