The Wo(Man) - 08

1550 Kata
Pagi ini Ridwan mengijinkan Riyu untuk bolos bekerja guna melihat rumah kontrakan yang kemarin diceritakan oleh Abian. Padahal ini baru hari kedua, tapi sosok Ridwan semakin mengukuhkan dirinya sebagai sosok malaikat tak bersayap di mata Riyu. Setelah selesai membantu merapikan minimarket, Ridwan pun menyuruh Riyu untuk segera melihat tempat itu. “T-tapi saya tidak tahu di mana tempatnya,” ucap Riyu saat hendak keluar dari minimarket. Ridwan tertawa pelan. “Ah iya, saya lupa. Tunggu sebentar … saya akan mencoba menghubungi Abian.” Riyu hanya mengangguk, sedangkan Ridwan langsung cepat-cepat menelepon Abian. Dia terlihat berbicara sebentar sembari mengangguk-angguk pelan. Tak lama setelah itu Ridwan kembali menatap Riyu yang masih menunggu. “Kebetulan hari ini Bian tidak masuk kuliah, jadi hari ini dia akan ke sini untuk menjemput kamu,” ucap Ridwan. Riyu tersenyum lega. Sembari menunggu, dia kembali membantu Ridwan menata beberapa barang di rak yang tinggi menjulang. Diam-diam Riyu melirik sosok Ridwan perlahan. Pagi ini bosnya itu terlihat sangat tampan dalam setelan baju kaos berwarna putih yang dipadukan dengan celana jeans berwarna biru terang. Rambut Ridwan yang biasanya disisir rapi ke belekang kini dibiarkan terlihat acak-acakan dan menutupi keningnya. “Kenapa kamu melihat saya seperti itu?” sergah Ridwan. Deg. Riyu tersadar dan langsung mengalihkan pandangannya. “T-tidak apa-apa. Hanya saja penampilan anda hari ini terlihat lebih santai daripada biasanya.” Ridwan tersenyum tipis. “Itu karena hari ini saya tidak datang ke kampus untuk mengajar. “Oh, apakah itu berarti hari ini anda libur?” tanya Riyu. “Hmmm … lebih tepatnya saya meliburkan diri. Karena kan, hari ini kamu pasti akan sibuk karena pindahannya,” jawab Ridwan. Riyu tertegun sejenak. Ada rasa malu dan juga rasa bersalah yang kini merambat di hatinya. “Kenapa kamu malah jadi murung seperti itu?” sergah Ridwan. “T-tidak. Hanya saja saya merasa sedikit tidak enak, padahal ini baru hari kedua saya bekerja dan sudah sangat merepotkan anda dalam banyak hak,” jawab Riyu. Ridwan meletakkan kardus di pangkuannya ke lantai, lalu beralih menatap Riyu. “Sudah jangan terlalu dipikirkan. Yang penting nanti kamu mendapatkan tempat tinggal yang layak dan setelah itu … kamu harus bekerja dengan giat, Mengerti!?” “Mengerti, Mas!” jawab Riyu dengan nada bersemangat. Setelah sekitar 10 menit, akhirnya sosok Abian datang juga. Dia datang dengan rambut kusut dan sisa air liur yang sudah mengering di sudut bibirnya. Penampilannya benar-benar terlihat mengerikan. Abian hanya mengenakan pakaian dalam dengan celana boxer yang warna kuning terang yang terlihat kekecilan untuk ukuran tubuhnya. “Maaf ya. Semalam begadang mabar mobile legend ama anak kompleks sebelah, jadi baru bangun, deh,” ucap Abian sambil menguap lebar. “Apa kamu harus keluar seperti itu, ha?” sergah Ridwan. “Orak masalah. Tetep tampan, kok.” Abian menggerak-gerakkan alisnya naik turun. “Ngaca dulu sana!” sergah Ridwan sambil menoyor jidat Abian dengan ujung jari telunjuknya. Riyu pun hanya menyaksikan interaksi kedua orang itu dengan tersenyum canggung. Sampai kemudian Ridwan menepuk pundak Abian perlahan. “Udah, sekarang kamu bawa Riyu sana! Titip dia, ya!” “Ahsiaaap.” Abian memasan posisi hormat dan menampilkan bulu ketiaknya yang sudah selebat hutan Nusantara. “Ayo kita pergi!” Abian tiba-tiba saja merangkul Riyu. Deg. Riyu tertegun kaget dengan mata melotot. Dia benar-benar syok dan terkejut. Abian pun tersadar dan menarik tangannya kembali. “S-sorry … ketek aku asem banget, ya?” tanya Abian dengan wajah sendu. “B-bukan. B-bukan begitu ….” Riyu menjadi gugup dan juga bingung. “Sudah ayo buruan pergi sana!” usir Ridwa kemudian. “Hayuk, Riyu!” ajak Abian. “Saya pamit dulu, ya, Mas.” Riyu pun ijin pamit dulu pada Ridwan dan langsung bergegas menyusul Abia yang sudah berjalan di depan sana. _ Cuaca pagi ini sangat cerah dan tenang. Abian melangkah santai sambil sesekali meregangkan tangan dan juga lehernya hingga menimbulkan bunyi seperti patah tulang yang membuat Riyu bergidik ngeri. Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan perumahan yang sepi. Hanya terlihat beberapa anak kecil yang berlarian ke sana ke mari sambil tertawa riang. Riyu pun memerhatikan suasana kompleks perumahan itu. Keadaanya terlihat tenang dan damai. Lokasinya yang terletak cukup jauh dari jalan raya utama juga membuat situasinya menjadi tenang dan damai. “Riyu … nama lengkap kamu siapa, sih?” tanya Abian. “N-nama lengkap?” “Iya, nama lengkap?” Riyu memutar bola matanya memikirkan sebuah nama lengkap. “N-nama lengkap aku itu … ooo … Riyu Putra. Ya, nama lengkap aku Riyu Putra.” “Hahaha … perpaduan namanya aneh banget, sih! Aku pikir nama kamu akan mengusung nama-nama ala Jepang gitu. Misalkan Saburo Riyu, Sasuke Riyu, atau Takeshi Riyu. Tapi nama kamu malah Riyu Putra! Sungguh nama yang unik dan langka,” ledek Abian. “Memangnya nama lengkap kamu sendiri siapa?” Riyu balik bertanya. “Aku?” Raut wajah Abian mendadak berubah. “Kenapa diem?” sergah Riyu. “Nama lengkap kamu siapa?” Abian meneguk ludah. “N-nama lengkap ….” “Iya, nama lengkap kamu! Aku juga ingin tahu siapa nama lengkap kamu,” desak Riyu. Abian terlihat semakin gelisah. “Oh iya, kamu berasal dari mana?” “Kamu belum menjawab pertanyaan aku,” ucap Riyu dengan suara lirih. “A-aku…. nama lengkap aku ….” Abian berucap terpatah-patah. “Jangan-jangan nama lengkap kamu juga jelek, ya!” tuding Riyu. Abian langsung melotot. “Nggak lah! Enak aja! Pokoknya nama lengkap aku itu keren dan rahasia.” Riyu pun tertawa pelan. Lama kelamaan dia mulai merasa nyaman dengan sosok Abian. Walaupun pemuda itu terlihat sedikit aneh, tapi sepertinya dia bisa dijadikan teman yang baik. “Pokoknya nanti aku akan mencari tahu siapa nama lengkap kamu,” ancam Riyu. Abian meneguk ludah. “Udah jangan banyak bacot. Kita sudah sampai di rumahnya!” Tatapan Riyu pun beralih pada sebuah rumah mode minimalis dengan cat dinding berwarna cokelat s**u. Rumah itu memiliki gaya atap modern dan juga sedikit teras beratapkan baja ringan yang sudah dirambati oleh tumbuhan jalar di depannya. Halamannya pun juga cukup luas dan bisa memuat dua buah mobil di sisi kiri dan kanannya. “Gimana? Rumahnya bersih, kan?” tanya Abian. Riyu mengangguk senang. “Ayo kita masuk ke dalam,” ajaknya lagi. Riyu pun melangkah canggung mengikuti Abian memasuki rumah itu. Tidak seperti bagian luarnya yang rapi dan bersih, bagian dalam rumah itu sukses membuat Riyu tercengang. Ruang tamu dengan sofa berwarna abu-abu itu terlihat sesak dipenuhi oleh tumpukan pakaian dan juga berbagai benda langka lainnya seperti bola volly, sepatu olahraga, botol air mineral yang sudah kosong, bahkan piring bekas makan pun juga ada di sana. Lantainya terlihat kotor sekali dan dipenuhi oleh sampah yang bertebaran. Ukuran ruang tamu itu cukup sempit. Di sana juga terdapat sebuah televisi kecil ukuran 14 inci yang sudah terlihat usang. Riyu pun masih sibuk memerhatikan keadaan rumah itu dengan seksama. Di sisi sebelah kanan ruang tamu terdapat dua kamar dengan posisi pintu yang saling berdekatan. Sedangkan satu kamar yang lain terletak di sisi tenggara, tepat di sebelah dapur yang berukuran kecil. “Nah, jadi rumah ini mempunyai tiga buah kamar,” jelas Abian. Riyu mengangguk sambil menatap pintu kamar itu satu persatu. Dia masih menerka-nerka kamar manakah yang nanti akan dihuninya. “Dapurnya ada di sana! Kamar mandi di rumah ini ada tiga. Dua kamar mandi terletak di sana!” Abian menunjuk ke pojokan dapur. “Lalu yang satu lagi mana?” tanya Riyu. Abian tersenyum tipis. “Yang satu lagi terletak di dalam kamar VIP di rumah ini. Itu di dalam kamar yang itu.” Riyu pun menatap pintu kamar yang terletak di sisi tenggara itu, lalu mengangguk tanda mengerti. Sepertinya kamar itu juga terlihat lebih luas. Riyu menduga harga sewanya pun juga lumayan mahal. “Nah, jadi … kamar kamu adalah yang itu!” Abian memutar tubuh Riyu menghadap ke pintu kamar yang terlihat usang. “I-ini?” “Iya, ini!” Riyu meneguk ludah dan mulai membuka pintu kamar itu perlahan. Seketika Riyu pun terbatuk saat semerbak aroma tembakau memenuhi rongga hidungnya. Suasana kamar itu begitu gelap gulita hingga kemudian Abian menyalakan lampu dan barulan Riyu bisa melihat dengan jelas suasana kamar itu. Glek. Pupil mata Riyu bergetar saat dia melihat sebuah ranjang bertingkat yang ada di dalam kamar itu. Kasur bagian bawah terlihat sangat berantakan sekali. Ada banyak tumpukan buku, pakaian dan juga sampah bekas makanan instan. Di samping tempat tidur itu juga terletak sebuah gitar, asbak yang sudah dipenuhi oleh puntung rokok dan yang paling membuat Riyu bergidik ngeri adalah saat dia melihat ada banyak botol kaca bekas tepat minuman beralkohol. “A-apa kamar ini dihuni oleh dua orang?” tanya Riyu. “Tentu saja,” jawab Abian santai. Deg. Ransel yang sedari tadi bertengger di pundak Riyu lengser begitu saja. Dia mulai menebak-nebak seperti apa teman sekamarnya nanti. Puntung rokok yang berserakan, botol minuman keras, gitar yang dipenuhi stiker menyeramkan, semua itu benar-benar membuat Riyu merasa takut. “Kenapa kamu bengong?” sergah Abian. “K-kalau boleh tahu, seperti apa penghuni yang menempati kamar ini?” tanya Riyu. Abian memutar bola matanya sebentar, lalu mengingat-ingat. “Sebenarnya anaknya jarang pulang ke sini, sih. Kadang dalam seminggu dia hanya mampir satu atau dua kali untuk mengambil barang-barangnya. Dia bahkan juga jarang tidur di sini.” “Benarkah?” Riyu merasa seperti mendapatkan angin segar mendengar penuturan Abian. “Iya. Jadi kamu tenang saja! Sekarang sebaiknya kamu beres-beres dan kamu juga bisa membersihkan kamar ini,” ucap Abian lagi. Riyu mengangguk pelan. Ya, bagaimana pun dia memang harus membersihkan kamar yang terlihat seperti kapal pecah itu. “Kalau begitu aku tinggal dulu, ya! Aku mau lanjut tidur lagi, nih … masih ngantuk soalnya.” Abian kembali menguap lebar. “Iya. Sekali lagi terima kasih banyak,” ucap Riyu. Abian hanya tersenyum menaikkan satu sudut bibirnya. “Nanti malam traktir aku bakso Mas Tono yang ada di depan sana, Ok!” Riyu pun tertawa pelan. “Hahaha … oke. Tenang saja.” Sepeninggal Abian, Riyu pun langsung berkacak pinggang sambil menatap setiap sudut kamar yang terlihat sempit itu. “Baiklah … ayo kita bereskan kekacauan ini terlebih dahulu,” bisiknya kemudian. _ Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN