The Wo(Man) - 12

1709 Kata
Ujian hidup yang harus dilalui Riyu dan Darrel ternyata tidak hanya berupa badai, hujan, dan terjebak dalam situasi yang canggung saja. Saat keduanya kembali berjibaku dengan bisu, tiba-tiba saja listrik pada dan keadaan menjadi gelap gulita. Mereka sama-sama terkejut dan mengembuskan napas kasar. Sedangkan desau angin badai di depan sana malah semakin menjadi-jadi. Gelap. Hening. Dan menakutkan. Riyu meraba-raba meja kasirnya mencari sebuah pematik yang biasanya dipakai oleh pelanggan yang biasa membakar rokoknya langsung setelah dibeli. Dia terus meraba-raba dalam gelap, hingga kemudian tangannya malah menyentuh tangan Darrel yang juga berada di atas meja itu. Deg. “M-maaf,” bisik Riyu pelan. Setelah mencari-cari, akhirnya Riyu menemukannya juga. Riyu tersenyum lega, mengambil sebuah lilin, lalu membakarnya dengan hati-hati. Lilin itu pun di letakkan di atas meja kasir. Cahaya kuning yang sedikit redup itu pun kini berpendar menyinari wajah Riyu dan juga Darrel. “A-apa kamu tidak kedinginan?” tanya Riyu kemudian. Darrel mendelik kesal. “Apa kamu harus menanyakan sesuatu yang sudah jelas?” Riyu mengembuskan napas pendek. Sepertinya mengajak Darrel berbicara memang bukanlah sesuatu hal yang baik. Setiap kata yang terlontar dari pemuda itu benar-benar seperti anak panah yang selalu siap untuk melukai. Hening. Riyu terlihat sibuk mengobati luka di sikutnya setelah Darrel melepaskannya begitu saja. Diam-diam Darrel pun juga melirik ke arah Riyu yang sedang meniup luka goresan di tangannya. Sejenak Darrel meremas telapak tangannya sendiri. Dia masih bisa mengingat bagaimana rasanya ketika dia menyentuh tubuh Riyu saat dia menyambutnya tadi. “Umur kamu berapa, ha?” Riyu mengerjapkan matanya berulang-ulang. Apa dia sedang berhalusinasi? Apa Darrel benar-benar sedang berbicara kepadanya? “Hey! Ditanya malah bengong!” “A-aku … umurku 20 tahun,” jawab Riyu kemudian. Darrel kembali menatapnya lekat-lekat. Tatapan Darrel di bawah cahaya lilin itu membuat Riyu sedikit salah tingkah dan dia pun memilih untuk menundukkan pandangannya. Darrel kembali membuka mulutnya, tapi kali ini dia terlihat sedikit ragu. “A-apa mungkin kamu memiliki sebuah penyakit atau sebagainya?” Riyu melotot heran. “M-maksud kamu?” “Ya, siapa tau kamu punya penyakit kronis, kurang gizi atau apa gitu?” “K-kurang gizi?” “Iya, seperti itu misalnya,” jawab Darrel santai. Riyu benar-benar mati kutu dan tidak bisa menjawab. Selain mempunyai mulut berbisa, ternyata Darrel juga sosok yang tidak berperike-mulut-an dalam berbicara. Setiap kata yang terlontar dari bibir manisnya itu seperti rem blong yang lepas landas tanpa hambatan. “A-aku sehat-sehat saja, kok. Dari kecil juga nggak pernah sakit parah,” jawab Riyu kemudian. “Oh … okey kalau begitu.” “Tapi … kenapa kamu bertanya seperti itu?” Riyu mulai berani untuk mengajak Darrel berbicara lebih jauh. “Hanya saja … kamu terlihat seperti seseorang yang tidak akan berumur lama.” Jleb. Kedua jemari Riyu mengepal menahan emosi. Bagaimana pun juga ternyata Darrel memang sosok yang menyebalkan. Riyu memilih diam dan mengatur napasnya yang memburu. Keheningan kembali menyebar sekian lamanya. Hujan dan badai di luar sana mulai mereda. Darrel pun bangun dari duduknya dan memasang hodie-nya kembali. “K-kamu mau ke mana?” tanya Riyu dengan wajah panik. “Pulang,” jawab Darrel santai. Deg. Riyu menatap nanar. Bibirnya bergerak pelan hendak meminta Darrel untuk tinggal lebih lama menemaninya, tetapi Riyu sadar bahwa keinginannya itu sama sekali tidak masuk akal. “Apa? Apa ada sesuatu yang mau kamu katakan?” tanya Darrel. Riyu menggeleng lemah. “T-tidak ada apa-apa.” “Apa jangan-jangan kamu takut?” Riyu dengan cepat mengibas-ibaskan kedua tangannya. “Takut? Nggak lah!” Darrel pun tersenyum kecut sambil memakai tudung topinya. “Ya, lelaki memang tidak boleh lemah dan jadi penakut.” Darrel pun pergi begitu saja. Dia benar-benar pergi dan sudah menghilang di balik kegelapan. Riyu pun hanya bisa menatap kepergiannya dengan bibir berkedut dan kemudian dia pun juga berbisik pelan. “Lelaki memang tidak boleh lemah dan penakut … tapi aku ini perempuan, bukan laki-laki ….” _ Suara kokok ayam jantan terdengar nyaring dan bersahutan. Riyu yang masih terlelap pun menggeliat sebentar, membuka kelopak matanya pelan, lalu tertidur pulas kembali. Raut lelah benar-benar terlihat jelas di wajahnya. Wajar saja, semalam dia harus terjebak di minimarket itu hingga pukul 02.00 dini hari. Ridwan tidak kunjung datang karena akses menuju minimarket itu tertutup oleh banjir yang cukup deras. Karena itulah Ridwan baru bisa datang setelah hujan reda dan air banjirnya juga menyusut. Sebagai kompensasi atas kejadian itu, Riyu pun diberikan jatah libur sehari untuk beristirahat. Dia pun sudah menjadwalkan hari ini sebagai hari ‘tidur seharian'. Riyu menarik selimutnya hingga menutupi Kepala, tapi kemudian selimut itu bergerak sendiri dan membuka wajahnya kembali. Dengan mata tertutup, Riyu kembali menarik selimut itu, tapi tak berselang lama, selimut itu bergerak lagi. Kali ini Riyu menariknya dengan gusar. Hening. Kali ini selimut itu tetap bertengger menutupi tubuhnya, sampai kemudian dia merasakan selimut itu kembali bergerak dan Riyu dengan cepat menahannya. Deg. Kenapa selimut itu terasa keras dan menegang. Riyu menelan ludah. Bersamaan dengan itu dia pun mulai membuka matanya. Perlahan Riyu mendengar suara helaan napas di belakangnya. Kedua bola matanya melotot dengan napas tertahan. Tak lama kemudian dia juga merasakan kasur itu bergoncang pelan. Riyu baru saja hendak menoleh ke belakang, tapi secepat itu juga sebuah tangan yang kekar dan dipenuhi tato langsung memeluk tubuhnya. “AAAAAA ….!!!!” _ Hening. Riyu duduk menekur di tepi ranjang sambil meremas tangannya sendiri. Kedua lututnya masih menggigil ketakutan. Riyu benar-benar syok dan masih belum bisa berkata-kata. Sementara lelaki berambut gondrong, dengan banyak tato di sekujur badannya itu masih berdiri sambil berkacak pinggang menatap keluar jendela. Riyu pun menatap sosok itu perlahan. Sudah bisa ditebak lelaki itu adalah Raymon, teman sekamarnya. Karena teriakannya yang maha dahsyat, Raymon jadi sangat terkejut hingga kepalanya membentur tembok. Sekilas penampilan lelaki itu terlihat seperti preman yang menyeramkan. Saat ini dia berdiri dengan hanya memakai celana jeans yang robek di sana-sini. Tindikan di telinganya terlihat cukup banyak. Rambutnya yang panjang dan mengembang juga membuat penampilannya terlihat semakin garang. “S-sekali lagi maafkan aku,” ucap Riyu dengan suara bergetar. Raymon berbalik, lalu menatap Riyu perlahan. “Gue cuma nggak ngerti kenapa lo berteriak seperti itu!” Deg. Riyu menekur lebih dalam lagi. “Kalo ditanya itu dijawab, woy!” bentak Raymon. “A-aku hanya terkejut karena ….” Raymon berdecak pelan. Bagian belakang kepalanya kini masih terasa nyeri. Lelaki yang mempunyai bekas luka di wajah sebelah kirinya itu kemudian menggeleng-geleng pelan. “Gila! Pagi-pagi udah bikin mood gue ancur! umpatnya kemudian. Riyu tidak bisa berkata-kata lagi. Semua memang murni kesalahannya. Saking lelahnya, Riyu malah berbaring di kasur bawah dan tidak naik ke ranjang atas miliknya. Riyu mengira jika kamar itu masih kosong seperti sebelumnya. “Siapa nama lo, ha?” sergah Raymon lagi. “R-Riyu, Bang.” Raymon langsung menatap sadis. “Jangan panggil Abang! Gue bukan abang lo!” Deg. Keringat dingin sudah mengucur di sekujur tubuh Riyu. Dia berharap situasi mengerikan itu secepatnya berakhir. Awalnya dia sempat mengira bahwa sosok Edwin adalah yang paling menakutkan, tapi ternyata sosok Raymon jauh lebih menyeramkan lagi. Raymon mengembuskan napas gusar, lalu meyulut sebatang rokok dengan santai. Di hirupnya rokok itu dalam-dalam sambil menatap Riyu, lalu di hembuskannya asap itu sambil mendekatkan wajahnya pada Riyu. “Untuk selanjutnya lo harus hati-hati kalo mau selamat tinggal di rumah ini! PAHAM, LO …!” ancam Raymon dengan nada kasar. Riyu mengangguk pelan dan Raymon pun langsung pergi keluar kamar itu. “Uhuk … uhuk … uhuk ….” Riyu langsung terbatuk karena asap rokok yang masih menggerayangi wajahnya. Dia pun lalu menatap ke arah pintu dengan mata sendu. “Sepertinya hari-hari damaiku dikamar ini sudah berakhir,” bisiknya kemudian. _ Benar saja. Hari-hari damai Riyu memang sudah berakhir. Kemunculan sosok Raymon bagaikan seperti sebuah petaka. Kehadirannya membuat Riyu tidak lagi betah berada di dalam kamar. Sosok Raymon selalu saja menghabiskan waktunya di kamar hampir seharian penuh jika dia tidak mempunyai agenda untuk keluar. Lelaki berambut gondrong itu juga selalu memetik gitarnya tanpa henti, bahkan di tengah malam sekalipun. Ujian pun datang bertubi-tubi pada kehidupan Riyu. Asap rokok yang selalu mengepul, suara gitar dan nyanyian Raymon yang menusuk gendang telinga, sosok Raymon yang sedikit jorok. Semua benar-benar seperti paket lengkap yang memuakkan. Hari-hari tenang itu telah usai dan berganti dengan hati yang selalu terasa penat. Riyu benar-benar merasa tidak nyaman. Hal itu juga berdampak pada pekerjaannya. Belakangan ini dia menjadi mudah lesu dan sering mengantuk saat bekerja. Saat ini ada banyak sekali hal yang mengganjal di hatinya. Saat ini ada banyak sekali keluhan yang ingin dia limpahkan. Tetapi kepada siapa dia bisa mengadu? Riyu mengembuskan napas pelan sambil menatap jalanan aspal yang berdebu. Siang ini terasa lebih terik dan panas dari biasanya. Riyu duduk termangu di bawah teras depan minimarket itu. Dia merasa lelah sekali. Tadi malam Riyu begitu kesulitan untuk memejamkan mata. Semua karena Raymon lagi-lagi membuat ulah. Kali ini bukan lagi dengan nyanyian yang memekakkan telinga. Malam tadi Raymon membuat kegaduhan dengan berbicara sangat keras dengan kekasihnya melalui panggilan telepon. “Apa sebaiknya aku pindah saja? Tapi ….” Riyu larut dalam nestapa. Keuangannya sudah menipis karena gaji dimuka yang diberikan oleh Ridwan sudah digunakannya untuk membeli berbagai perlengkapan yang dia butuhkan. Riyu pun tidak punya pilihan lain selain bertahan hingga dia bisa mendapatkan tempat yang lebih aman dan nyaman. “Ah … bagaimana pun juga hidup harus terus berlanjut. Mari kita kembali bekerja.” Riyu kembali masuk ke dalam minimarket sambil meregangkan kedua tangannya. Ketika baru menyentuh setumpuk barang yang masih belum dimasukkan ke dalam gudang, tiba-tiba seorang pelanggan datang, namun Riyu langsung menatap cemas. “Eh … lo ternyata kerja di sini!” Raymon berteriak girang menampilkan deretan giginya yang menguning karena asap rokok. “I-iya.” Riyu tersenyum canggung. “Sampoerna-nya sebungkus dong,” pinta Raymon kemudian. Riyu mengambilkan rokok itu dengan jemari bergetar dan memberikannya tanpa berani menatap mata teman sekamarnya itu. “Gue bon dulu, yak! Ntar kalo udah ada duit, baru gue bayar.” Raymon berkata santai dan kemudian langsung melenggang pergi dari sana dengan langkah ringan. JEBLAAAAR. DUAAAAAR. Gemuruh kilat dan petir pun langsung bergejolak di dalam pikiran Riyu. Dia menatap Raymon dengan bola mata yang sudah terasa panas. Sedetik kemudian dia melangkah gusar mengejar sosok preman tukang palak itu. “Ada apa?” Raymon tiba-tiba berbalik saat dia mendengar suara derap langkah Riyu. Deg. Langkah Riyu terhenti. Raymon pun kini menatapnya dengan tatapan sengit nan menakutkan. “Ada apa, woy!” sergah Raymon lagi. Riyu menelan ludah. Segenap amaran dan keberaniannya seakan menguap dan sirna. Dia pun hanya tersenyum tipis, lalu mengambil sapu yang ada di sudut pintu. “T-tidak ada apa-apa. Aku hanya mau mengambil sapu ini,” ucap Riyu kemudian. _ Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN