Kehidupan terus berlanjut. Ternyata memang benar bahwa seseorang pasti akan bisa jika sudah terbiasa. Tanpa terasa sudah hampir seminggu Riyu menjalani kehidupan barunya. Dia mulai nyaman dengan pekerjaannya, dengan tempat tinggalnya, juga dengan identitas barunya. Walau kesedihan sesekali masih datang menyapa, tetapi Riyu mencoba tetap tegar dan terus bertahan.
Kehidupannya sebagai seorang laki-laki memang terasa sulit. Dunianya terasa sesak dan dipenuhi oleh rasa was-was yang selalu mengintai. Setiap harinya Riyu sengaja bangun paling awal agar dia bisa menggunakan kamar mandi dengan leluasa. Di malam hari pun dia juga baru akan mandi saat semua penghuni rumah itu sudah terlelap. Pokoknya Riyu hanya bergerak saat suasana rumah itu terlihat lengang.
Riyu mulai bekerja pukul 09.00 pagi setiap harinya, namun dia tetap keluar rumah pada jam 07.00 pagi. Lagi-lagi dia melakukan hal itu untuk menghindari penghuni rumah yang lain. Riyu akan bermain-main terlebih dahulu selama kurang lebih dua jam setiap paginya. Kadang dia menghabiskan waktu itu untuk berjalan-jalan sambil menghirup udara pagi yang segar. Kadang dia memilih duduk di warung tukang bubur menunggu jam 09.00 tiba. Di lain waktu dia lebih memilih untuk duduk saja menanti Ridwan datang membuka minimarket.
Kadang memang terasa melelahkan, tapi bagi Riyu semua itu terasa lebih baik dari pada dia harus berinteraksi dengan sekumpulan lelaki yang masih terasa asing baginya. Satu-satunya penghuni rumah yang membuat Riyu nyaman hanyalah Abian. Tetapi sosok yang pecicilan itu juga tampak sibuk belakangan ini dan mereka pun juga jarang bertemu.
Fakta lain yang mengejutkan adalah ... Ternyata teman sekamar Riyu bukanlah Tovani dan juga bukan Edwin. Usut punya usut, ternyata total penghuni rumah itu ada enam orang termasuk Riyu. Awalnya Tovani adalah teman sekamar Darrel, tapi kemudian mereka bertengkar hebat dan Tovani akhirnya mengungsi ke kamar yang di tempati oleh Edwin dan juga Abian.
Riyu baru mengetahui hal itu saat malam pertamanya menetap di sana. Awalnya Riyu gelisah menantikan siapa yang akan masuk ke kamarnya. Ternyata tidak ada satu orang pun yang datang. Keesokan paginya barulah dia mengetahui tentang hal itu. Namun masalahnya adalah hingga detik ini Riyu masih belum tahu bagaimana sosok yang menjadi teman sekamarnya itu. Satu-satunya yang Riyu tahu hanyalah, teman sekamarnya itu bernama Raymon.
Menurut cerita Abian, saat ini Raymon sedang mudik ke kampung halamannya. Jauh di lubuk hatinya Riyu sangat mensyukuri hal itu. Malahan diam-diam dia berharap sosok Raymon tidak pernah kembali agar dia bisa tetap menggunakan kamar itu seorang diri.
Terkesan jahat memang, tapi yah ... Memang begitulah perkara sebuah keinginan. Terkadang manusia memang bisa jadi sangat egois dan tamak untuk kepentingannya sendiri. Alasan lainnya tentu adalah rasa kekhawatiran Riyu. Memiliki teman sekamar berarti dia harus menjaga lebih ekstra tentang kebenaran identitasnya.
"Kenapa hari ini, Mas Ridwan datangnya telat?"
Riyu menatap jarum jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore lewat sepuluh menit. Biasanya sosok bosnya itu sudah menampakkan diri pada jam setengah lima.
"Tapi nggak apa-apa ... Lebih baik aku berada di sini dari pada berada di rumah," bisik Riyu kemudian.
Riyu kembali sibuk bekerja melayani pembeli. Ketika minimarket agak sedikit sepi, dia juga langsung merapikan segala sesuatu yang harus dibersihkan. Riyu benar-benar melakoni pekerjaannya itu dengan sepenuh hati. Ada kesenangan tersendiri yang dia rasakan dan Riyu mulai mencintai pekerjaannya itu.
Jarum jam terus berputar. Waktu kini sudah menunjukkan pukul 18.00 sore, tapi sosok Ridwan masih belum juga muncul dan Riyu kini sedikit merasa cemas.
“Kenapa Mas Ridwan belum datang juga?” desisnya.
Riyu terus menunggu. Langit di luar sana mulai menggelap. Tidak lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya.
Deg.
“Yah, pake acara hujan segala lagi,” dengkus Riyu sambil menatap keluar kaca jendela.
Semilir angin dingin pun langsung terasa menusuk tulang dan Riyu memilih untuk menutup pintu kaca minimarket itu. Dia pun mengusap-usap kedua lengannya mengusir hawa dingin yang menghadang. Riyu juga tidak membawa baju hangat atau pun jaket. Dia hanya mengenakan baju kemeja kedodoran warna biru yang dipadukan dengan celana jeans hitam yang juga longgar.
Suara desau angin dan hujan di luar sana membuat Riyu larut dalam lamunan panjang. Kesepian dengan cepat menyerang hatinya dan mulai membuat gadis itu terombang-ambing dalam gejolak rasa.
“Sebenarnya kenapa aku melakukan ini semua?” bisiknya lirih.
Riyu beralih duduk di belakang meja kasir, lalu merebahkan wajahnya di atas meja itu dengan beralaskan lengannya sendiri. Ingatannya kini kembali diipenuhi oleh berbagai kenangan tentang kehidupannya sebagai Ayu. Meskipun hidup dibawah tekanan dan juga penderitaan, tapi akan selalu ada hal-hal yang dia rindukan. Riyu bahkan rindu kamarnya yang bocor dikala hujan. Dia rindu aroma daun teh yang segar saat berjalan pulang ke rumah pamannya.
Tiba-tiba telepon berdering keras. Riyu pun cepat-cepat mengangkat panggilan itu.
“H-halo,” sapa Riyu.
“Halo … ini saya, Ridwan. Maaf ya, Ri … sepertinya saya akan datang terlambat malam ini. Soalnya tadi mendadak ada acara seminar yang harus saya hadiri.”
Riyu meneguk ludah. “T-tidak apa-apa, Mas. Santai saja. Urusan minimarket biar saya yang handle.”
“Sekali lagi maafkan saya, ya … oh, iya sekarang lagi hujan juga. Sebaiknya kamu tutup saja pintunya. Kalau kemau merasa tidak aman, kamu juga bisa menguncinya saja. Karena hujan-hujan begini biasanya juga sepi, kok,” tambah Ridwan lagi.
“Baik, Mas … saya mengerti,” jawab Riyu.
“Kalau ada apa-apa kamu bisa telepon saya saja ke nomor ini.”
“Baik, Mas.”
Tut … tut …
Panggilan telepon itu terputus seiring dengan suara helaan napas Riyu yang terdengar berat. Dia menatap sayu pada hujan yang semakin deras. Rasa sepi semakin terasa mengganggu saja. Riyu mencoba mengusir sepi dengan menyalakan radio, tapi suara yang dikeluarkan radio itu seperti ditelan oleh suara hujan dan akhirnya dia pun memilih untuk mematikannya kembali.
Tidak lama berselang. Dari kejauhan Riyu melihat ada seseorang yang mendekat. Sosok itu memakai payung berwarna merah yang menutupi bagian wajahnya. Riyu pun bersiap-siap untuk menyambut pelanggan yang sudah berdiri di depan pintu minimarket itu.
“Selamat da--”
Kata-kata Riyu terhenti saat dia mengetahui siapa sosok dibalik payung merah itu.
Darrel melangkah pelan sambil menyeka percikan hujan yang mengenai hodie warna hitam yang dikenakannya.
Riyu pun hanya diam dan mendadak gugup. Dia berpura-pura sibuk dengan mesin kasirnya dan diam-diam memerhatikan gerak-gerik Darrel yang sedak sibuk mengitari rak yang berisi aneka cemilan.
Hujan di luar sana semakin deras saja. Desau angin bahkan semakin menjadi-jadi. Riyu pun sontak melotot saat melihat payung milik Darrel yang diletakkan di teras diterbangkan oleh angin.
“P-PAYUNGNYA …!” teriak Riyu sambil menunjuk-nunjuk histeris.
Darrel berbalik dan melihat keluar. Secepat itu juga dia segera berlari untuk mengejar payungnya. Riyu pun juga ikut mengejar hingga keluar teras. Terpaan angin yang disertai hujan membuatnya cepat-cepat masuk kembali ke dalam.
“Ah … lagian tau angin kenceng seperti itu malah naro payungnya di luar,” bisik Riyu sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit basah.
Tidak lama kemudian Darrel pun kembali masuk dengan sekujur badan yang sudah basah kuyup. Riyu tidak bertanya, tapi dari penglihatannya dia tahu kalau Darrel sepertinya gagal mendapatkan payungnya kembali.
“Di sini ada jualan payung nggak?” tanya Darrel.
Riyu mengedarkan pandangannya ke tempat payung yang kosong. “Payungnya habis.”
Darrel berdecak pelan. “Payung yang dipake juga nggak ada?”
Riyu menggeleng. “Nggak ada.”
Hening.
Darrel tampak sangat jengkel. Dia kembali menatap badai di luar sana, lalu mengembuskan napas gusar. Padahal dia hanya ingin membeli beberapa cemilan sebagai temannya begadang untuk mengerjakan tugas kampus. Dia bahkan tidak membawa handphone.
“Kamu punya nomor handphone-nya Abian?” tanya Darrel lagi.
Riyu lekas menggeleng. “A-aku nggak punya handphone.”
Deg.
Darrel terlihat syok mendengar pengakuan itu. “K-kamu nggak punya handphone?”
Riyu mengangguk santai.
Darrel pun kembali meneliti sosok Riyu yang notabene juga teman serumahnya. Seminggu terakhir ini dia sangat jarang melihat lelaki berbadan mungil itu. Bahkan Darrel sempat berpikir bahwa Riyu sudah pindah dan tidak tinggal di rumah itu lagi.
“Dia benar-benar terlihat menyedihkan,” batin Darrel.
Darrel beralih menatap hujan dan angin yang masih awet. Sedangkan Riyu juga bingung harus berbuat apa sekarang. Cuaca dan keadaan sepertinya sedang mengajak mereka bercanda. Keduanya terjebak dalam situasi canggung lagi membingungkan.
Riyu pun beranjak ke belakang meja kasirnya. Sedangkan Darrel mengambil sebuah kursi plastik dan juga duduk di hadapan Riyu.
“K-kenapa dia duduk di sana, sih?” Riyu menatap heran.
Tak lama kemudian Darrel mengambil sebuah minuman kaleng dan kembali duduk di kursinya. Mereka berdua tidak lagi bersuara. Hanya suara desir hujan dan desau angin saja yang terdengar jelas.
Keadaan itu baik-baik saja sampai kemudian tiba-tiba Darrel melepaskan hodie-nya yag sudah basah. Gawatnya lagi dia tidak mengenakan pakaian dalam sama sekali. Otot-otot perut dan d**a Darrel yang bidang kini terpampang nyata layaknya sebuah lukisan yang indah.
Glek.
Riyu menelan ludah dan langsung menundukkan pandangannya. Sementara itu Darrel tampak santai dan meneguk kaleng minumannya berulang-ulang.
“K-kamu akan masuk angin jika membiarkan tubuh kamu terbuka seperti itu,” ucap Riyu kemudian.
Darrel menatap sengit. “Aku justru akan masuk angin kalau terus-terusan memakai pakaian yang sudah basah.”
Jawaban itu membuat Riyu kembali membisu. Diam-diam dia memerhatikan Darrel dengan sudut matanya. Rambutnya yang basah kini sudah tidak tertata lagi dan terlihat berantakan menutupi keningnya.
Di satu sisi Riyu merasa resah karena kehadiran sosok yang super jutek itu. Namun di sisi lain Riyu juga bersyukur karena setidaknya dia memiliki teman di tengah amukan badai yang mengerikan.
Sunyi.
Dalam hati Riyu terus bertanya-tanya. Apakah Darrel memang pelit bicara? Atau memang dia tidak suka berinteraksi dengan manusia?
Jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul 22.00 malam. Hujan badai belum juga reda, sosok Ridwan pun juga belum muncul. Kebosanan mulai kembali terasa melanda. Darrel kini sibuk membaca komposisi minuman yang tertera di belakang kaleng minumannya. Sedangkan Riyu mulai bergerak untuk mengusir rasa kantuk dan bosan yang sudah menyerang.
Riyu mengambil sebuah tangga dan mulai menata bagian atas rak yang berisikan berbagai jenis s**u formula untuk bayi. Dia mulai sibuk mengisi barisan stok yang sudah kosong dan juga merapikan letak posisinya kembali.
Darrel pun diam-diam memerhatikan apa yang sedang dilakukan oleh Riyu.
Walaupun sudah menggunakan tangga, tetapi Riyu masih saja terlihat kesulitan saat menata barisan kotak s**u formula itu. Riyu terus berjinjit. Tangannya terus mengggapai-gapai di udara untuk meraih rak yang paling tinggi. Lama kelamaan tangga besi itu mulai terlihat oleng. Bersamaan dengan itu posisi kaki Riyu mulai terpeleset dan akhirnya terjatuh.
“O … huaaaaaa …!”
Buk.
Riyu memejamkan matanya rapat-rapat. Namun dia terkejut karena ternyata tubuhnya tidak mendarat di lantai, melainkan dalam dekapan Darrel yang bertelanjang d**a.
Deg.
Riyu pun melotot dan membeku dalam dekapan tangan kekar itu. Sejenak mereka sama-sama membeku dan saling pandang. Hingga kemudian Darrel tersadar dan melepaskan Riyu begitu saja hingga tubuhnya terguling ke lantai.
“AAA …!”
Riyu meringis kesakitan. Sedangkan Darrel langsung bergegas kembali duduk ke tempatnya. Namun ada yang berbeda degan raut wajah lelaki itu. Darrel terus menatap nanar dengan tanda tanya besar yang kini bergelayut di benaknya.
“K-kenapa … kenapa tubuhnya terasa lunak sekali?” bisik Darrel dalam hatinya.
_
Bersambung …