Hingga pukul 5 sore, Maggy baru terjaga. Saat pertama kali membuka mata, Maggy sempat terkejut dan merasa asing dengan suasana di sekitar yang bukan kamarnya. Namun beberapa saat kemudian dia baru menyadari jika saat ini sedang berada dimana.
"Ya ampun, kenapa aku sampai lupa," ucapnya tertawa sambil mengacak-ngacak rambut. "Hm, pukul berapa sekarang?" Maggy memeriksa jam di ponselnya. "Sudah sore ternyata? Sudah berapa jam aku tidur?" badannya langsung terasa enak setelah tidur sekian lama.
Hal pertama yang Maggy lakukan setelah turun dari ranjang adalah mencari keberadaan Aland, bukan menuju kamar mandi. Setelah pintu kamar terbuka, seketika wajahnya cemberut saat melihat Zaya yang sedang duduk si sofa, bukan wajah Aland.
Menyadari ada yang membuka pintu, Zaya menoleh dan segera menutup laptopnya, lantas dia pun segera berdiri.
"Selamat sore, Nona Maggy, anda sudah bangun?" sapanya dengan senyum yang sangat ramah. "Apa anda butuh sesuatu?" tanyanya tulus.
"Di mana, Aland?" tanya Maggy dengan muka masam sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Bahkan Maggy tidak mengindahkan pertanyaan Zaya yang menurutnya tidak penting.
"Bos baru saja keluar, mungkin sebentar lagi akan kembali."
"Apa? Aland pergi?!" teriak Maggy, dia benar-benar merasa kesal. Namun lebih kesal lagi saat melihat wajah Zaya dengan ekspresi yang tidak jelas. "Sial, kemana Aland? Kenapa dia meninggalkan bersama gadis ini?" batin Maggy.
Kemudian Maggy menyandarkan badan sampingnya di daun pintu dan melipat tangannya ke d**a.
"Lantas kau sedang apa di sini, Zaya? Bukankah ini sudah waktunya untuk pulang? Harusnya kamu tidak di sini, apalagi berada dalam ruangan, Aland. Bagaimana jika bukan aku yang ada di sini, tapi Aland. Bagaimana jika dia yang keluar dari kamar ini? Apa kamu juga akan menyambutnya seperti tadi, iya?" Maggy menuding Zaya dengan banyak sekali pertanyaan.
"Zaya, ingat! Kamu hanya Sekretarisnya saat bekerja, bukan dalam hal yang lain. Jadi aku minta untuk fokus saja di jam kerja," kata Maggy menatap Zaya dengan tatapan yang tajam.
Zaya tidak terkejut mendengar hal tersebut, karena ini bukan untuk pertama kalinya Maggy mengatakan seperti itu padanya.
"Nona Maggy, anda boleh saja memerintah saya. Namun satu hal yang harus anda tahu, saya bukanlah wanita yang berani melakukan hal yang tidak diperintahkan bos. Jadi sadarlah, apapun yang ada dalam pikiran anda saat ini, sangat berbeda jauh dengan realita yang saya kerjakan!" tegas Zaya tanpa rasa takut. "dan satu lagi, saya hanya bekerja untuk Tuan Aland, bukan untuk anda! Jadi jangan seenak hati memerintah saya ini itu, apalagi meminta saya untuk pergi."
Maggy tambah murka saat Zaya dengan penuh keberanian menyahutinya seperti itu.
"Wah, wah, Zaya. Seberani apa kamu sekarang menentang kata-kataku, hah? Apa kamu selalu seperti ini semenjak aku pergi, iya!?" teriak Maggy dengan bola mata yang hampir keluar dari tempatnya.
Zaya tidak menanggapi, dari dulu hingga sekarang Maggy masih sama saja, belum berubah. Hanya saja, Zaya sangat menyesal berada di sini sekarang, harusnya dia sudah pulang sejak tadi dan istirahat di rumah. Bukan malah mendengar omelan Maggy yang sama sekali tidak menarik di telinganya.
Jika bukan Aland yang meminta, maka Zaya tidak akan duduk di sini dan menunggu Maggy hingga bangun.
Tadinya Aland berpesan pada Zaya untuk tetap berada di sini, karena dia ada keperluan mendadak yang mengharuskannya untuk segera pergi. Aland hanya tidak ingin Maggy sendiri saat bangun nanti dan bingung mencarinya ke mana, karenanya Aland meninggalkan teman untuk Maggy.
Namun lagi-lagi Aland lupa, jika Maggy dan Zaya adalah dua wanita yang bagaikan langit dan bumi. Susah untuk menyatu seperti minyak dan air.
"Kemana bos, kenapa lama sekali," batin Zaya mulai resah.
"Ayo, Zaya. Tunggu apa lagi, cepat keluar!" usir Maggy dengan suara yang lantang.
"Nona Maggy, saya tidak akan pergi hingga bos kembali," kata Zaya masih berusaha setegar mungkin untuk tidak terkecoh dengan Maggy.
"Berani sekali kamu membantahku, apa kamu lupa siapa aku?"
Kali ini Zaya tidak tahan, jika Maggy menyebut dirinya sebagai apa, maka Zaya pun demikian. Karena mereka berdua sama-sama orang penting bagi Aland, yang membedakan hanyalah status mereka saja.
"Tentu saya ingat anda siapa, Nona Maggy. Namun anda juga jangan melupakan siapa saya." Setelah berkata seperti itu, Zaya duduk kembali dan membuka laptopnya. Membuat Maggy semakin marah.
"Dasar sialan! Akan ku hubungi Aland untuk menyuruhmu segera pergi." Setelah berkata seperti itu, Maggy kembali masuk dan membanting pintu kamar.
"Astaga!" Zaya terperanjat karena terkejut, hampir saja jantungnya copot.
Di dalam kamar Maggy mencari ponselnya.
"Ah, sial! Aku lupa mengganti sim card lagi," umpatnya kesal. Kemudian Maggy membanting benda yang tidak bersalah tersebut ke atas kasur dengan kasar, untung saja bukan ke tembok.
***
Malam harinya, Aland baru bisa mengantar Maggy pulang. Sebelumnya Aland juga sudah meminta pada Herry untuk megantar Zaya pulang. Meskipun Maggy tetap menolak dan masih ingin bersamanya, namun Aland tetap memaksa Maggy untuk pulang. Dia sendiri juga merasa sangat lelah dan ingin segera istirahat.
"Sayang, sejak tadi mamamu terus menghubungiku. Tidak enak rasanya jika aku tidak mengantarmu pulang sekarang, tolong mengertilah!" pinta Aland segenap hati.
"Tapi, Aland. Kapan kita punya waktu untuk berdua saja. Tadi kamu malah meninggalkan aku sendirian, dan setelah kembali kamu malah mengajakku langsung pulang," kata Maggy menggerutu kesal.
"Tapi, Sayang, ada keluarga yang sedang menunggumu di rumah. Mereka sudah menunggu sejak tadi siang, lalu aku harus apa? Kita masih punya waktu besok dan seterusnya, jangan khawatir, banyak waktu yang kita punya hingga tua nanti." Aland terus membujuk Maggy dengan segala cara.
Akhirnya Maggy luluh juga, namun tetap saja dia merasa kesal. "Tapi kamu harus janji, besok akan bersama dan menemaniku seharian penuh."
"Iya, sayang, aku janji. Apapun untukmu," kata Aland tersenyum, begitu juga dengan Maggy.
***
Keesokan harinya, Aland tidak ke kantor, dia benar-benar menghabiskan waktu bersama Maggy. Membuat Zaya kewalahan karena banyak pekerjaan yang menumpuk. Belum lagi Zaya harus mengecek beberapa laporan yang baru masuk.
"Tau gini mending, aku minta aja sama bos untuk cari Sekretaris satu lagi. Gini aja udah capek, bagaimana kalau jadi bos ya?" Zaya berbicara sendiri sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. "Tapi lebih enak jadi bos deh kayanya, kan semua pekerjaan tinggal nyuruh sama asisten. Sama tuh, kaya Bos Aland. Dikit-dikit nyuruh aku, dikit-dikit nyuruh aku. Kenapa nggak sekalian aja nyuruh aku jadi istrinya, kan gampang itu. Lagian semuanya juga aku yang urus." Zaya berbicara panjang lebar, dan tiba-tiba ponselnya bergetar.
"Ah, siapa lagi itu?" Zaya bangun dengan malas.
"Iya, hallo!" sapanya.
[Bu Zaya, kami telah selesai mendesain semuanya seperti yang anda minta. Jika anda punya waktu, anda boleh mengunjunginya sekarang]
"Benarkah? Em, baiklah, saya akan segera ke sana."
Zaya membereskan berkas-berkas yang ada di hadapannya dengan buru-buru. "Ya ampun, ini belum kelar, tapi yang lain udah mesti dikejar. Ah, betapa susahnya jadi seorang, Zaya," keluhnya dengan hembusan nafas yang berat.
Zaya menuju lokasi dengan diantar Herry, untung saja Aland menyisakan Herry untuknya. Karena Zaya tidak bisa mengemudi. Mereka memasuki sebuah tempat yang jauh dari pemukiman penduduk dan sunyi dari hiruk pikuk kota. Zaya ingin mengunjungi bangunan yang baru-baru ini dibangun, namun bangunan tersebut bukanlah perusahaan baru, melainkan lebih mirip sebuah apartemen. Namun bukan juga apartemen. Zaya sendiri juga tidak tahu untuk apa bangunan berlantai dua itu dibuat oleh Aland.
Banyak yang mengira, jika itu adalah sebuah rumah. Mungkin saja Aland sedang mempersiapkan tempat tinggalnya bersama Maggy nanti. Namun menurut sebagian orang, itu bukanlah rumah yang akan ditempati Aland nantinya. Karena bangunan tersebut kelihatan sangat sederhana, tidak mungkin Aland akan tinggal di sana.
"Selamat siang, Bu Zaya!" sapa kepala tukang setelah Zaya sampai.
"Selamat siang, Pak. Bagaimana hasilnya?"
"Mari silakan ikut saya untuk melihatnya, Bu."
Zaya dan Herry segera masuk. Zaya memperhatikan semuanya dengan teliti, mulai dari lantai yang ia injak dan setiap tiang yang dia lewati. Semua tak luput dari pandangannya, hingga Zaya menyentuh dinding dengan tangannya sendiri. Memastikan jika cat yang digunakan adalah kualitas yang terbaik.
"Ini sempurna!" ujar Zaya takjup manakala hasilnya sesuai yang dia inginkan. Meskipun bangunan tersebut belum seutuhnya jadi, namun kini ruangan utama sudah siap dengan sempurna.
"Bagaimana, Bu Zaya, apa ada yang kurang?" tanya kepala tukang mendekati.
"Tidak ada."
Zaya memutari ruang tersebut hingga beberapa kali. Setelah melihat dan merasa puas, Zaya ingin menuju ruangan lainnya.
"Saya akan melihat yang lain."
"Tentu saja, Bu Zaya. Mari saya antar."
Namun tiba-tiba langkahnya harus terhenti saat Nyonya Azzela meneleponnya.
"Selamat siang, Nyonya!"
[Siang, Zaya. Apa kamu sedang sibuk?]
"Sedikit sibuk, Nyonya. Apa ada sesuatu?" tanya Zaya mulai curiga jika Nyonya Azzela sedang membutuhkannya. Biasanya jika menanyakan kesibukan Zaya, Azzela pasti sedang membutuhkan dirinya.
[Begini, Zaya. Bisakah kamu menemani saya sebentar?]
"Tuh kan, dugaan ku benar," batinnya. Zaya berpikir sejenak sebelum menjawab, jadwalnya hari ini begitu padat. Namun, jika menolak dia sendiri merasa tidak enak pada mamanya Aland.
[Bagaimana, Zaya?] kembali Nyonya Azzela bertanya.
"Bagaimana jika setengah jam lagi, Nyonya. Kebetulan saya sedang jauh dengan kantor, butuh waktu untuk sampai ke sana."
[Baiklah, tidak apa-apa. Saya tunggu kamu di rumah, ya.]
"Baik, Nyonya."
Zaya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam ruangan lain. "Maaf, Pak. Saya bisa datang lain kali saja, dan untuk ruangan utamanya saya rasa sudah sangat bagus. Akan saya kabari jika ada penambahan nantinya," ucap Zaya yang terpaksa harus kembali sekarang.
"Baik, Bu Zaya. Hati-hati di jalan."
"Baik, Pak. Saya permisi."
Sesuai yang dijanjikan, Zaya sampai di rumah Aland dalam waktu 35 menit. Itu pun, Zaya harus memaki Herry yang membawa mobil dengan kecepatan tinggi.
"Herry, apa kamu ingin membunuh saya!?"
"Maaf, Nona Zaya, saya buru-buru agar anda cepat sampai."
"Tapi bukan gini, Herry. Bagaimana jika saya tidak sampai ke rumah Nyonya, bagaimana jika saya malah masuk rumah sakit atau ke pemakaman? Apa kamu siap untuk bertanggung jawab jika itu terjadi."
"Saya mengerti, Nona."
Hingga sampai di rumah Aland, Zaya tidak berhenti mengomel. "Kenapa nggak sekalian aja kamu jadi pembalap," ujarnya sambil berlalu dan menutup pintu mobil dengan keras.
"Ya ampun, jika lagi ngambek sama aja galaknya seperti Nona Maggy," Herry geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Zaya. Namun tetaplah Zaya tidak sebanding dengan Maggy.
"Zaya, kamu sudah tiba?" Nyonya Azzela datang menyambut Zaya di depan pintu.
"Maaf, Nyonya, saya sedikit terlambat." Zaya mencoba untuk tersenyum dan menghilangkan kekesalannya tadi pada Herry.
"Ah, tidak apa-apa, Zaya. Kamu datang saja sudah membuat saya senang, ayo masuk!" Nyonya Azzela mengapit tangan Zaya.
Nyonya Azzela sangat mengerti kesibukan Zaya, apalagi dia tahu jika hari ini Aland meninggalkan dia sendirian di kantor. Harusnya dia tidak meminta gadis itu untuk datang, namun apa boleh buat, saat ini Nyonya Azzela sendiri sangat membutuhkannya.
"Bagaimana pekerjaanmu di kantor, pasti sibuk ya. Apa Aland meninggalkan banyak tugas untukmu?" tanya Nyonya Azzela sebelum duduk.
"Begitulah, Nyonya," jawab Zaya duduk di sofa.
"Sesekali kamu proteslah pada, Aland. Jangan seenaknya menyuruh ini itu, bagaimana jika kamu kelelahan? Harusnya dia juga menjaga kesehatanmu dan mengerti keadaanmu. Jangan membebani kamu seperti ini," kata Nyonya Azzela jadi iba pada Zaya.
Zaya tersentuh dengan perhatian Nyonya Azzela, meskipun itu terkesan biasa saja dan sederhana. Namun bagi Zaya yang tidak mempunyai seorang ibu, dia seperti menemukan sosok ibu yang perhatian lewat sikap Nyonya Azzela barusan.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Saya tidak merasa terbebani, ini sudah tanggung jawab saya. Dan saya juga sudah terbiasa dengan ini semua, semoga saja tidak ada hal buruk dalam kesehatan saya, agar saya bisa selalu bekerja dengan baik."
"Semoga saja seperti itu," kata Nyonya Azzela berharap dengan tulus.
"Amin, Nyonya."
Nyonya Azzela tersenyum senang melihat kegigihan Zaya dalam bekerja, juga merasa bangga pada gadis itu.
"Nyonya, jika boleh saya tahu, untuk apa anda memanggil saya kemari?" tanya Zaya.
"Oh, iya, saya hampir lupa," Nyonya Azzela terkekeh saat melupakan tujuannya, tapi dia malah terkesan pada Zaya. "Jadi begini, Zaya, saya meminta kamu kemari untuk-"
Tiba-tiba kalimat Nyonya Azzela harus terhenti saat ponsel Zaya berdering.
"Ya Tuhan, apalagi ini?" keluh Zaya dalam hati. "Sebentar, Nyonya. Ini panggilan dari, bos."
"Iya tidak apa-apa, bicaralah."
"Iya, Bos?"
[Zaya, kau di mana?] nada suara Aland terdengar buru-buru seperti orang yang dikejar sesuatu.
"Saya sedang bersama Nyonya Besar di rumah anda, Bos."
[Kenapa kau ada di sana? Bukankah aku menyuruhmu agar tetap di kantor!?]
"Maaf, Bos. Tadi Nyonya yang meminta saya untuk datang kemari."
[Ah, sudahlah. Jangan katakan apapun soal itu. Sekarang cepatlah kembali ke kantor, dalam waktu 15 menit kamu harus sudah tiba!]
"Apa, Bos? 15 menit?" Zaya terkejut. "Apa begitu mendesak, Bos? Maksud saya, bahkan saya belum berbicara apapun dengan Nyonya." Zaya menatap Nyonya Azzela sekilas yang kini sedang memasang wajah seribu tanya dibenaknya.
[Kamu bisa kembali ke sana nanti. Sekarang kembali dulu ke kantor, akan ku jelaskan di sana nanti.]
Aland langsung memutuskan panggilan agar Zaya tidak banyak protes lagi.
"Bos... bos. Hallo, Bos!" tapi Aland tidak mendengarnya lagi.
"Ada apa, Zaya? Apa itu panggilan dari, Aland? Ada apa dengannya?" tanya Nyonya Azzela cemas.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Bos hanya meminta saya untuk kembali ke kantor sekarang," jawab Zaya memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Apa? Sekarang? Apa itu harus?" Nyonya Azzela sedikit kecewa jika Zaya pergi sekarang. Padahal mereka belum membahas apa-apa.
"Iya, Nyonya. Sepertinya ini sangat penting sekali."
"Jika begitu, maka kembalilah sekarang!"
"Namun bagaimana dengan anda, Nyonya. Bahkan anda belum menyampaikan apa-apa pada saya." Zaya jadi tidak enak pada mamanya Aland.
"Kita bisa membicarakan ini lain waktu, Zaya. Yang terpenting sekarang kamu harus kembali ke kantor, jangan biarkan Aland menunggu terlalu lama di sana. Atau dia akan marah nanti," kata Nyonya Azzela mencoba untuk mengerti Zaya, tidak ingin menempati Zaya dalam posisi kebimbangan antara kembali ke kantor dan menemaninya di sini. Nyonya Azzela mengerti, jika Zaya adalah Sekretaris putranya. Jadi, sudah seharusnya Zaya mementingkan perintah Aland daripada perintahnya.
"Baik, Nyonya. Saya janji akan kesini lagi jika urusan saya di kantor sudah selesai." Janjinya sebelum pergi.
"Iya, Zaya. Hati-hati, ya." Nyonya Azzela mengantar Zaya hingga ke mobil.
"Saya permisi, Nyonya," kata Zaya tersenyum sebelum masuk ke dalam mobil.
"Herry, kita harus sampai di kantor dalam waktu 15 menit."
"Baik, Nona. Pasang sabuk pengaman anda."